(Business Lounge Journal – Human Resources)
Di banyak organisasi modern, KPI (Key Performance Indicators) diperlakukan seperti kompas utama pengambilan keputusan. Dashboard dipenuhi grafik hijau, laporan mingguan terasa rapi, dan manajemen merasa yakin bahwa bisnis berjalan sesuai rencana. Namun, di balik ketertiban angka-angka tersebut, sering kali tersembunyi realitas yang jauh lebih kompleks—bahkan berbahaya.
Kimberly DeCarrera, seorang fractional CFO dan general counsel, memahami betul pentingnya pengukuran kinerja. Tetapi pengalamannya juga menunjukkan bahwa tidak semua yang terukur benar-benar mencerminkan kinerja nyata. Ia pernah bekerja dengan sebuah perusahaan logistik yang mengukur produktivitas broker berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan untuk menelepon. Logikanya sederhana: semakin lama menelepon, semakin banyak pekerjaan yang dilakukan.
Masalahnya baru terlihat kemudian. Beberapa broker ternyata menelepon diri sendiri, teman, atau anggota keluarga hanya untuk “mengisi waktu” agar KPI mereka terlihat tinggi. Angkanya bagus, tetapi bisnis tidak bergerak maju. Akhirnya, perusahaan harus merombak total definisi KPI tersebut, memastikan bahwa yang dihitung adalah panggilan yang relevan dan berdampak langsung pada klien dan vendor.
Kasus ini menegaskan satu hal penting: angka bisa bercerita, tetapi tidak selalu jujur.
Hukum Goodhart dan Ilusi Kinerja
Fenomena ini dikenal luas sebagai Goodhart’s Law, yang dirumuskan oleh ekonom Charles Goodhart: “Ketika sebuah ukuran dijadikan target, ukuran tersebut berhenti menjadi ukuran yang baik.” Begitu sebuah metrik dijadikan tujuan kinerja atau dasar insentif, perilaku manusia akan berubah. Orang tidak lagi fokus pada tujuan awal, melainkan pada cara mengoptimalkan angka, meskipun itu merusak makna sebenarnya dari pengukuran tersebut.
Aditya Nagpal, pendiri dan CEO Wisemonk, menyebut sebagian besar KPI sebagai “autopsi bisnis”. Menurutnya, KPI seperti churn atau tingkat kepuasan pelanggan baru “berteriak” ketika masalah sudah terjadi berbulan-bulan sebelumnya. “Ketika dashboard menunjukkan pelanggan tidak bahagia, sebenarnya ketidakpuasan itu sudah lama terjadi,” ujarnya. “Pemimpin sering bersembunyi di balik angka karena terasa aman. Padahal, intuisi tim garis depan justru merupakan indikator awal. Dashboard hanyalah tanda terima dari masa lalu.”
KPI Finansial dan Jarak Waktu yang Menipu
Masalah semakin rumit ketika kita bicara KPI finansial. Banyak indikator keuangan hari ini sebenarnya mencerminkan keputusan enam bulan hingga dua tahun lalu. Penurunan budaya kerja, kelelahan karyawan, dan menipisnya kesabaran pelanggan sering kali terjadi jauh sebelum grafik pendapatan atau laba menunjukkan penurunan.
Artinya, dashboard bisa terlihat hijau, sementara fondasi organisasi mulai retak.
Enam Prinsip KPI yang Lebih Sehat
Kyle Tucker, mantan bankir investasi yang kini memimpin Tucker’s Farm Corp., memandang KPI secara lebih realistis. Baginya, KPI tetap penting, tetapi harus dikelola dengan prinsip yang tepat:
- Apa yang diukur akan dikelola. Klise ini memang benar.
- KPI harus terhubung dengan insentif. Tanpa itu, metrik hanya jadi angka pasif.
- Utamakan indikator awal (leading indicators). Pendapatan dan laba penting, tetapi bersifat tertinggal. Respons pelanggan, kecepatan layanan, atau kualitas interaksi sering lebih relevan untuk tindakan cepat.
- KPI penting sering kali sulit diukur. Ketika pengukuran “abu-abu” atau berbasis laporan mandiri, ruang manipulasi terbuka lebar. Dashboard hijau justru perlu dicurigai.
- Jika semua diukur, tidak ada yang benar-benar penting. Terlalu banyak KPI membuat fokus hilang. Satu angka utama yang dipahami semua orang sering kali lebih efektif.
- Idealnya, satu KPI dimiliki lebih dari satu orang. Ini menciptakan pembanding dan ketegangan kompetitif yang sehat.
Tucker juga mengingatkan bahwa kinerja tinggi yang didorong oleh kerja berlebihan dan burnout bisa menghasilkan dashboard yang tampak sempurna. Pemimpin kerap keliru mengira intensitas sebagai tanda kesehatan organisasi.
Seni Menghentikan, Bukan Menambah
Nell Derick Debevoise Dewey, penasihat kepemimpinan, bahkan mendorong kliennya untuk secara aktif menghapus metrik yang tidak lagi relevan. Ia memperkenalkan konsep “To-Don’t List”—daftar hal yang sengaja dihentikan agar waktu, energi, dan perhatian bisa dialihkan ke hal yang lebih berdampak. “Pemimpin bermasalah ketika memperlakukan indikator sebagai bukti mutlak,” ujarnya. “Angkanya rapi, tetapi dampak nyata—yang benar-benar mengubah hidup atau pelanggan—tersingkir karena sulit diukur.”
Menurut Dewey, perubahan paradigma yang dibutuhkan sederhana namun radikal: gunakan data untuk mendorong pengurangan, bukan penambahan. Bukan lagi bertanya, “Apa lagi yang harus kita lakukan?”, tetapi “Apa yang bisa kita hentikan, sederhanakan, atau lepaskan karena tidak lagi melayani pelanggan, tim, atau misi?”
Ketika organisasi mulai mengukur apa yang berhasil mereka hilangkan, barulah angka mencerminkan “nyawa bisnis” yang terselamatkan.
KPI dan Hal-Hal yang Tak Pernah Masuk Dashboard
Profesor Harvard Business School, Amy Edmondson, melalui risetnya tentang psychological safety, menunjukkan bahwa faktor-faktor paling krusial bagi kinerja tim justru hampir tidak pernah muncul di dashboard KPI, antara lain:
- Kepercayaan
- Retaknya hubungan internal
- Kualitas pengambilan keputusan
- Kesabaran pelanggan
- Kegagalan inovasi tahap awal
- Shadow processes yang diciptakan karyawan agar pekerjaan tetap berjalan
Semua ini sulit diukur, tetapi dampaknya sangat nyata.
Masalah Kepemimpinan, Bukan Angka
Jordan Grenadier Murphy, konsultan komunikasi dan pemasaran, menegaskan bahwa kesalahan penggunaan KPI hampir selalu bermula dari pimpinan puncak. Bukan karena datanya salah, tetapi karena cara membaca dan menyajikannya bias kepentingan.
Dalam konteks pemasaran, hal ini sangat berbahaya. Anggaran marketing sering jadi target pemangkasan pertama, sementara metrik seperti impresi, jangkauan, dan klik dipoles agar terlihat mengesankan—meskipun tidak berkontribusi langsung pada tujuan bisnis. “Data tidak pernah berbicara sendiri. Selalu ada narasi di baliknya,” ujar Murphy. “Jika pemimpin tidak cukup paham, mereka mudah terpukau oleh cerita yang terlihat hebat tetapi tidak nyata.”
Ketika KPI Menyesatkan: Contoh Nyata di Dunia Kerja
Dalam praktik sehari-hari, distorsi KPI bukanlah konsep abstrak—ia terjadi sangat dekat dengan realitas organisasi.
Di banyak perusahaan penjualan di Indonesia, misalnya, jumlah kunjungan sales masih menjadi KPI utama. Semakin banyak kunjungan, semakin dianggap produktif. Akibatnya, tenaga penjualan mengejar kuantitas: datang sebentar, formalitas tanda tangan, lalu pindah ke klien berikutnya. Hubungan jangka panjang, pemahaman kebutuhan klien, dan peluang upselling justru terabaikan. Angka tercapai, tetapi nilai bisnis stagnan.
Contoh lain terlihat pada KPI jam kerja atau kehadiran. Di sejumlah organisasi, karyawan yang pulang paling malam dianggap paling berdedikasi. Hasilnya? Budaya “asal terlihat sibuk”, rapat berlarut-larut, dan pekerjaan yang sebenarnya bisa selesai lebih cepat malah diperlambat. Produktivitas menurun, burnout meningkat, namun dashboard tetap hijau.
Di sektor digital dan media, KPI seperti traffic, impressions, atau followers sering menjadi bintang utama. Konten dibuat sensasional agar angka naik, meskipun tidak relevan dengan target audiens atau tujuan bisnis. Dalam jangka pendek terlihat sukses, tetapi dalam jangka panjang brand kehilangan kepercayaan dan arah.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa KPI tidak selalu salah—yang bermasalah adalah apa yang dipilih untuk diukur dan bagaimana hasilnya dimaknai.
Membangun KPI yang Lebih Sehat: Aplikasi untuk Organisasi Indonesia
Agar KPI benar-benar menjadi alat manajemen yang membantu, bukan jebakan, organisasi di Indonesia perlu mulai menggeser pendekatannya.
Pertama, imbangi KPI kuantitatif dengan indikator kualitatif. Survei singkat kepuasan karyawan, diskusi rutin dengan tim frontline, atau feedback pelanggan terbuka sering kali memberi sinyal lebih awal dibanding laporan bulanan. Dalam budaya kerja Indonesia yang relasional, percakapan langsung justru sering lebih jujur daripada angka.
Kedua, fokus pada indikator awal (leading indicators). Alih-alih hanya mengejar omzet, ukur kecepatan respons pelanggan, kualitas follow-up, atau jumlah masalah yang diselesaikan di kontak pertama. Di UMKM maupun korporasi besar, indikator-indikator ini lebih cepat memberi peringatan dini.
Ketiga, sederhanakan dashboard. Banyak perusahaan Indonesia terjebak pada terlalu banyak KPI karena ingin terlihat profesional. Padahal, memilih 5–7 metrik yang benar-benar berdampak sering jauh lebih efektif dibanding 30 grafik yang jarang dibaca.
Keempat, ukur apa yang dihentikan, bukan hanya apa yang ditambahkan. Contohnya: berapa proses yang berhasil dipangkas, berapa rapat yang dihilangkan, atau berapa laporan yang tidak lagi wajib dibuat. Ini sangat relevan di birokrasi perusahaan yang cenderung gemuk secara prosedural.
Terakhir, bangun literasi data di level pimpinan. Direksi dan manajer tidak harus menjadi analis, tetapi perlu cukup paham untuk bertanya: “Apakah angka ini masuk akal?” dan “Perilaku apa yang sedang kita dorong dengan KPI ini?”
KPI sebagai Alat, Bukan Kebenaran
Pada akhirnya, KPI seharusnya menjadi alat bantu berpikir, bukan pengganti penilaian. Angka penting, tetapi konteks jauh lebih penting. Dashboard bisa memberi sinyal, tetapi percakapan dengan tim, intuisi lapangan, dan keberanian untuk mempertanyakan angka hijau adalah kunci kepemimpinan yang sehat.
Karena dalam bisnis, seperti dalam hidup, tidak semua hal yang bernilai bisa diukur—dan tidak semua yang terukur benar-benar bernilai.
