General Motors GM

Laba General Motors Menyusut di Tengah Tekanan Tarif Impor

(Business Lounge-Automotive) Ketika General Motors mengumumkan laporan keuangan kuartal kedua 2025, sebuah angka mencolok langsung menyita perhatian pasar: laba bersih perusahaan anjlok 35% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, meskipun penjualan kendaraan justru mencatat pertumbuhan yang sehat. Dalam pernyataan resminya yang dikutip oleh Reuters, GM menyebut bahwa penyusutan laba tersebut sebagian besar disebabkan oleh dampak kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap komponen kendaraan yang berasal dari luar negeri, terutama dari Meksiko dan Tiongkok.

Total beban tarif yang ditanggung General Motors selama kuartal April hingga Juni 2025 mencapai 1,1 miliar dolar AS. Ini adalah konsekuensi langsung dari kebijakan dagang baru pemerintahan AS yang memperluas cakupan tarif atas barang-barang manufaktur asing, termasuk komponen otomotif. Menurut laporan dari The Wall Street Journal, GM memperkirakan tekanan tarif akan terus berlanjut dan bahkan bisa mencapai total 5 miliar dolar AS untuk keseluruhan tahun buku 2025.

Pukulan ini terjadi meskipun GM sebenarnya mencatatkan pertumbuhan penjualan kendaraan sebesar 7% di pasar domestik AS. CEO Mary Barra dalam wawancaranya dengan Bloomberg menyatakan bahwa permintaan konsumen tetap kuat untuk kendaraan pickup, SUV, dan mobil mewah buatan GM. “Fundamental bisnis kami tetap solid, tetapi lingkungan eksternal saat ini menuntut kami mengambil langkah penyesuaian,” katanya.

Langkah-langkah tersebut termasuk upaya mitigasi untuk mengurangi beban tarif, mulai dari relokasi produksi, renegosiasi kontrak pasokan, hingga penyesuaian harga jual kendaraan. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Axios, manajemen GM menyebut bahwa perusahaan berupaya mengalihkan sebagian proses manufaktur kembali ke dalam negeri, khususnya untuk komponen yang sebelumnya sangat tergantung pada pasokan dari Asia Timur.

Namun, transisi tersebut tidak instan dan menimbulkan tantangan struktural. Salah satu upaya GM yang disebut oleh Supply Chain Brain adalah investasi baru senilai 4 miliar dolar AS dalam perluasan fasilitas produksi di Michigan, Kansas, dan Tennessee. Pembangunan pabrik-pabrik ini ditujukan untuk merakit lebih banyak kendaraan listrik dan kendaraan berbasis mesin bakar dengan tingkat kandungan lokal yang lebih tinggi. Tapi investasi ini masih akan memakan waktu hingga 2026 sebelum berdampak signifikan.

Pada sisi keuangan, laporan kuartal kedua GM menunjukkan laba bersih sebesar 1,9 miliar dolar AS, turun dari 2,9 miliar dolar pada periode yang sama tahun 2024. Pendapatan perusahaan secara keseluruhan tercatat sekitar 47,1 miliar dolar AS, sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya. Namun, pendapatan per saham yang disesuaikan tetap mencatatkan angka 2,53 dolar, sedikit lebih tinggi dari perkiraan analis yang dihimpun oleh Reuters, yang berada pada kisaran 2,44 dolar.

Dalam rapat pemegang saham yang digelar secara virtual, beberapa investor mempertanyakan langkah GM dalam mempertahankan program pembelian kembali saham (buyback) di tengah tekanan tarif. CFO Paul Jacobson menyatakan bahwa perusahaan sementara menunda pelaksanaan sebagian dari rencana buyback senilai 2 miliar dolar AS hingga ada kejelasan lebih lanjut tentang arah kebijakan perdagangan. “Kehati-hatian fiskal adalah hal yang krusial saat volatilitas geopolitik tinggi,” ujarnya.

Meski menghadapi tekanan biaya yang besar, GM tidak merevisi panduan keuangan tahunannya. Perusahaan tetap optimistis bisa mencapai laba operasional sebelum bunga dan pajak (EBIT) antara 10 hingga 12,5 miliar dolar AS untuk tahun fiskal penuh. Namun, dalam wawancara dengan CNBC, analis otomotif memperingatkan bahwa target tersebut mungkin terlalu ambisius jika tarif diperluas atau diperpanjang hingga paruh kedua tahun ini.

Dampak dari tarif juga menciptakan tekanan lain di sektor harga. Menurut riset Morgan Stanley, jika GM ingin mempertahankan margin keuntungan yang stabil, maka kemungkinan akan menaikkan harga jual kendaraan dalam beberapa bulan ke depan. Namun, hal ini tidak mudah dilakukan karena pesaing seperti Toyota dan Hyundai, yang memiliki jejak produksi domestik lebih besar, bisa mempertahankan harga lebih kompetitif. Kenaikan harga dapat berdampak pada permintaan, terutama di segmen kendaraan listrik yang saat ini masih berada dalam tahap pembentukan pasar.

Ironisnya, penjualan kendaraan listrik GM justru menunjukkan pertumbuhan yang baik di awal 2025, didorong oleh peluncuran versi terbaru dari Chevrolet Bolt dan Cadillac Lyriq. Namun, seperti dilaporkan oleh Financial Times, profitabilitas kendaraan listrik GM masih berada jauh di bawah kendaraan mesin bakar. Dengan struktur biaya yang lebih tinggi dan ketergantungan pada baterai impor, kendaraan listrik menjadi bagian yang paling rentan terhadap kebijakan tarif saat ini.

Di luar Amerika Serikat, GM juga mencatat pemulihan di pasar Tiongkok setelah beberapa kuartal mengalami penurunan. Unit usaha patungan GM di Tiongkok, termasuk dengan SAIC Motor, berhasil mencatatkan laba kecil, menunjukkan tanda-tanda stabilisasi pasar. Namun, Mary Barra memperingatkan bahwa ketegangan dagang AS–Tiongkok tetap menjadi risiko besar ke depan, terutama jika pembalasan tarif muncul dari Beijing.

Sementara itu, tekanan internal dalam perusahaan turut meningkat. Serikat pekerja otomotif UAW telah menyuarakan kekhawatiran atas pemindahan produksi dan dampaknya terhadap tenaga kerja domestik. Dalam wawancara dengan Detroit Free Press, perwakilan serikat menyebut bahwa strategi mitigasi tarif tidak boleh mengorbankan keamanan kerja buruh lokal. GM menanggapi bahwa perluasan pabrik domestik justru akan menciptakan ribuan lapangan kerja baru pada 2026, meski tidak langsung menggantikan kapasitas produksi luar negeri.

Dari sisi pasar keuangan, saham GM mengalami penurunan sekitar 8% pada hari laporan laba diumumkan. Penurunan ini lebih karena kekhawatiran jangka panjang terhadap tekanan margin dan ketidakpastian regulasi perdagangan. Beberapa analis seperti yang dikutip oleh Barron’s menyebut bahwa pasar belum sepenuhnya menghargai risiko struktural yang dihadapi industri otomotif dalam iklim proteksionisme baru yang semakin menguat di banyak negara.

Namun, ada juga sisi optimistis. GM, menurut analis dari Morningstar, memiliki fleksibilitas operasional dan posisi kas yang kuat untuk bertahan dalam tekanan jangka pendek. Dengan strategi diversifikasi lini produk dan ekspansi kendaraan listrik yang terus berlangsung, GM tetap memiliki peluang untuk pulih dan bahkan memperluas pangsa pasar dalam jangka menengah.

Pertanyaannya kini bukan hanya bagaimana GM akan menanggulangi tarif, tetapi apakah perusahaan bisa mempercepat transformasi struktural dalam rantai pasoknya agar lebih tahan terhadap guncangan eksternal. Dalam beberapa bulan mendatang, mata investor akan tertuju pada efektivitas langkah-langkah mitigasi dan seberapa cepat GM bisa menyesuaikan struktur biayanya.

Dalam dunia otomotif global yang semakin kompleks dan terdampak oleh politik dagang, keberhasilan GM bukan hanya soal menjual mobil, tetapi juga soal bagaimana menavigasi ketegangan geopolitik, menjaga efisiensi operasional, dan tetap relevan di pasar yang berubah cepat. Seperti yang dikatakan Mary Barra dalam nada tenang tetapi tegas kepada para analis: “Kami tidak mengendalikan tarif, tapi kami bisa mengendalikan bagaimana kami meresponsnya.”