(Business Lounge Journal – Entrepreneurial News) Feronica Kristoofer, seorang designer muda yang dikenal dengan design gaunnya yang serba simpel nana elegan. Ia memutuskan untuk menggunakan nama belakangnya sebagai brand untuk semua hasil karyanya.
Memulai dengan Gaun Pengantinnya Sendiri
Fero, demikian dia dipanggil memulai karirnya sebagai seorang designer ketika ia merancang gaun pengantinnya sendiri. Awalnya ia mencoba mencari gaun pengantin yang sesuai dengan impiannya sendiri, sebuah gaun yang simple namun elegant. Tetapi ia tidak kunjung menemukannya hingga akhirnya ia memutuskan untuk merancangnya sendiri. Sukses dengan rancangan pertamanya, ia pun diminta untuk merancang pakaian para kerabat dan orang terdekatnya, baik itu busana pengantian atau pun gaun pesta.
Bagi Fero, awal berjalannya sebuah bisnis memanglah yang terberat dikarenakan nama brand-nya yang belum lagi dikenal sehingga membuat beberapa pihak memandangnya sebelah mata terutama dari pihak pembeli. Namun Fero tidak pantang menyerah. Ia selalu berupaya untuk mengedukasi para pelanggannya untuk mengetahui apa yang menjadi konsep pemikirannya. Ia pun berhasil meraih kepercayaan satu per satu pelanggannya hingga bisnisnya semakin berkembang seperti sekarang ini.
Hobi Masa Kecil
Tanpa disadari, Fero telah memulai sebuah bisnis dari hobi masa kecilnya untuk mengumpulkan kain-kain perca sisa tantenya menjahit. Perca-perca tersebut ia rangkaikan menjadi pakaian baru untuk boneka barbienya yang sering ia mainkan. Hobi ini membuatnya merasa ketagihan untuk menggonta-ganti baju Barbie-nya dari satu model ke model lainnya. Ditambah dengan hobinya melukis juga memadupadankan warna maka lengkaplah modal dasar baginya untuk memulai karir sebagai seorang fashion designer.
Mempertahankan Karakter Kristoofer
Bagi Fero, Kristoofer tidak dapat disamakan dengan yang lain, itulah sebabnya ia selalu mempertahankan karakteristik yang selalu dimilikinya dalam setiap desain yang dihasilkannya. Hal ini juga yang membuatnya yakin ketika harus memasuki persaingan dalam dunia fashion.
Salah satu yang terus dilakukannya dalam setiap diskusi dengan pelanggan, ia akan selalu berupaya memenuhi impian sang pelanggan sambil terus memberikan edukasi desain yang seperti apa yang sebenarnya cocok bagi pelanggannya sambil terus mempertahankan karakter yang dimilikinya.
Fero menyadari benar bagaimana ia harus berinovasi di dalam bisnisnya dan tidak dapat hanya mengandalkan bisnis pakaian pengantin dan pakaian pesta. Karena itu dengan merencanakan matang-matang, ia pun membawa Kristoofer memasuki dunia ready to wear.
FK: Feronica Kristoofer
BL: Business Lounge Journal
FK: Sebenarnya sih sudah dari tahun kemarin ingin mewujudkan ready to wear tetapi terpotong dengan masa kehamilan dan melahirkan sehingga mulai merealisasikannya di tahun ini. Mengapa ready to wear? Karena saya melihat wanita Indonesia ini sekarang sudah mengerti fashion. Kalau untuk baju pesta sifatnya occasionally, mereka akan pesan jika membutuhkan. Paling tidak satu tahun bisa sekali atau dua kali. Beda halnya dengan artis yang mereka memang menyanyi di panggung, mereka akan lebih sering. Tetapi bagaimana dengan orang kebanyakan, mereka lebih banyak membutuhkan ready to wear yang dipakai sehari-hari seperti ke kantor, acara arisan, berkumpul keluarga. Nah dari situ saya mengembangkan bisnis tidak hanya dari baju pesta yang occasionally tapi ke ready to wear yang dapat langsung dipakai.
BL: Berarti Kristoofer memiliki strategi untuk mengembangkan bisnis lebih besar lagi ya?
FK: Sekarang begini, kalau baju pesta saya membuatnya customize. Sebagai designer saya tidak mungkin membuat baju pesta satu design sebanyak sepuluh buah, itu sama dengan ready to wear. Kalau saya buat satu dalam satu bulan maka saya hanya membuat beberapa, terhitung oleh jari. Semuanya handmade, dijahitnya satu-satu, polanya satu-satu sesuai dengan lekuk tubuh si pemakai. Secara bisnis tidak bisa memiliki volume yang banyak. Jika kita bicara bisnis, keuntungan membuat desain yang customize maka marginnya akan lebih tinggi, tetapi jumlahnya hanya satu. Dalam satu bulan saya paling banyak hanya bisa buat 20. Tetapi kalau ready to wear saya dapat membuat lusinan. Satu pola dapat dibuat lusinan dan saya dapat membuat misalnya 20 model, 20 tipe baju, sehingga 20 dikalikan satu bajunya misalkan 2 lusin, saya sudah dapat 40 lusin. Meskipun marginnya lebih kecil tapi volumenya lebih banyak. Mungkin sama susah membuatnya tapi kesusahannya beda karena ini diperbanyak jadi kesusahannya di awal. Begitu diperbanyak akan lebih di quality control. Berbeda dengan yang customize, akan lebih sulit dari awal sampai akhir. Memerlukan waktu lebih lama, fitting bisa sampai 3 kali. Memang kesusahannya sangat berbeda, tetapi dari segi bisnis lebih enak ready to wear. Sebagai businessman pasti kita berpikir lebih enak ready to wear dan itu investasi di masa tua. Nanti kalau saya sudah berumur, tidak punya energi seperti sekarang, ready to wear bisa jalan terus.
nancy/VMN/BL/Journalist
Editor: Ruth Berliana
Image : Kristoofer