(Business Lounge – Human Resources) Ada saat dalam hidup ketika belajar bukan lagi tentang menambah, melainkan mengurangi. Kita menghabiskan begitu banyak waktu untuk mengumpulkan pengetahuan, kebiasaan, keyakinan, dan cara berpikir, tetapi jarang bertanya apakah semuanya masih berguna. Kita terus memikul masa lalu seperti tas yang semakin berat, sampai akhirnya kita menyadari bahwa yang menghambat langkah kita bukan kekurangan ilmu, melainkan kelebihan beban. Dalam momen seperti itulah muncul kebutuhan untuk unlearning — seni melepas apa yang dulu dianggap benar, tetapi kini justru membatasi.
Unlearning bukan tentang melupakan. Ia bukan usaha menghapus masa lalu, karena masa lalu selalu menjadi bagian dari diri kita. Unlearning adalah kemampuan untuk melihat kembali keyakinan lama dengan jernih dan berkata: “Mungkin sudah waktunya aku berhenti menggunakannya.” Ia seperti menyangrai ulang hidup kita, memisahkan butir yang masih berguna dari yang sudah mengeras menjadi kerikil. Proses ini sering menyakitkan, tetapi tanpa itu, pertumbuhan tidak mungkin terjadi.
Banyak hal yang kita pegang erat bukan karena benar, tetapi karena familiar. Otak mencintai kebiasaan; ia mencintai pola yang mudah ditebak. Apa pun yang pernah memberi rasa aman akan terus dipertahankan meskipun sudah tidak lagi relevan. Seorang dewasa mungkin terus bekerja dengan cara lama di perusahaan yang telah berubah, atau seseorang mempertahankan pola komunikasi yang merusak karena pernah berhasil di masa lalu. Kita sering terjebak dalam bayang-bayang diri sendiri, disandera oleh strategi yang dulu efektif tetapi kini menjadi penghalang.
Unlearning membutuhkan keberanian untuk memeriksa ulang siapa diri kita. Banyak orang mengira mereka berpikir berdasarkan logika, padahal sebenarnya berdasarkan kebiasaan emosional. Kita tidak menolak ide baru karena ia salah, tetapi karena ia mengancam identitas. Ketika sebuah keyakinan melekat terlalu dalam, menantangnya terasa seperti menantang diri sendiri. Dalam titik itu, belajar berhenti — bukan karena kita tidak mampu, tetapi karena kita takut kehilangan rasa siapa kita.
Proses unlearning sering dimulai oleh ketidaksesuaian. Ada momen ketika kenyataan tidak lagi cocok dengan peta lama yang kita gunakan. Kita merasa frustrasi, gelisah, atau bingung. Inilah tanda bahwa peta itu perlu diperbarui. Ketidaknyamanan itu adalah undangan untuk tumbuh. Tetapi banyak orang menolak undangan itu. Alih-alih mempertanyakan peta, mereka mencoba memaksa dunia kembali ke bentuk lamanya. Mereka bertahan pada cara lama meskipun cara itu jelas tidak lagi bekerja. Inilah paradoks manusia, kita berpegang pada sesuatu bukan karena itu benar, tetapi karena kita takut tanpa itu, kita tidak tahu harus menjadi siapa.
Dalam konteks pendidikan dan kerja, unlearning sama pentingnya dengan belajar. Sistem yang sukses di masa lalu bisa menjadi beban di masa kini. Cara berpikir yang dulu membantu bisa menjadi penghalang untuk inovasi. Organisasi yang maju adalah organisasi yang berani mengakui bahwa sebagian dari apa yang mereka lakukan perlu ditinggalkan. Begitu pula manusia.
Namun unlearning bukan proses instan. Ia tidak terjadi hanya karena kita memutuskan. Ia memerlukan ruang untuk mempertanyakan, keberanian untuk jujur, dan kesediaan untuk hidup sebentar dalam ketidakpastian. Kita harus rela tidak tahu, meski sudah lama merasa harus tahu. Sebagian besar orang gagal di sini. Mereka lebih memilih kepastian yang salah daripada ambiguitas yang benar. Padahal kejelasan sering datang setelah kita melewati kabut, bukan sebelum.
Unlearning juga merupakan proses emosional. Ada rasa berkabung ketika kita meninggalkan cara berpikir lama — seolah-olah kita ditinggalkan oleh versi diri kita yang dulu menemani. Kadang kita merasakan nostalgia terhadap keyakinan lama, seperti melihat foto masa kecil yang sudah tidak lagi mencerminkan siapa kita sekarang. Namun perubahan justru terjadi ketika kita mau melepaskan nostalgia itu dan merangkul kenyataan baru.
Banyak dari yang perlu dilepas tidak terlihat seperti pengetahuan; mereka lebih terlihat seperti cerita. Kita sering memikul narasi tentang diri sendiri: “Aku tidak pandai matematika,” “Aku tidak cocok menjadi pemimpin,” “Aku selalu gagal,” “Orang seperti aku tidak bisa berubah.” Cerita-cerita itu bukan fakta, tetapi keyakinan yang tumbuh dari pengalaman terbatas. Unlearning berarti menguji cerita-cerita itu dengan mata baru. Apakah cerita itu masih benar? Atau hanya bagian dari masa lalu yang pernah kita percayai karena kita belum punya pilihan lain?
Proses melepas narasi lama adalah salah satu bentuk unlearning yang paling sulit. Cerita lama memberi identitas, meski identitas itu menyakitkan. Ketika kita melepaskannya, kita menjadi kosong sejenak. Tapi kekosongan itu penting — ia memberi ruang bagi cerita baru untuk tumbuh, cerita yang lebih selaras dengan siapa kita hari ini, bukan siapa kita dulu.
Unlearning tidak selalu berarti meninggalkan sesuatu sepenuhnya; kadang ia berarti mengubah cara kita menggunakannya. Ide atau keterampilan lama mungkin masih berguna, tapi dengan cara baru. Seorang musisi yang terbiasa memainkan satu genre mungkin menemukan bahwa jika ia berhenti mengikuti aturan lama sejenak, ia justru menciptakan suara baru. Seorang pemimpin yang dulu mengandalkan kekuatan mungkin kini menemukan nilai kerendahan hati. Unlearning bukan penghapusan, tetapi transformasi.
Dunia berubah lebih cepat daripada generasi sebelumnya, dan unlearning telah menjadi keterampilan penting. Cara bekerja berubah, cara berkomunikasi berubah, bahkan makna sukses ikut berubah. Mereka yang bertahan bukan yang paling tahu, tetapi yang paling bersedia melepaskan apa yang tak lagi relevan. Fleksibilitas mental menjadi bentuk kecerdasan baru. Di masa lalu, orang pintar adalah mereka yang tahu banyak; kini orang bijak adalah mereka yang berani mengosongkan gelasnya.
Namun unlearning juga membutuhkan kasih terhadap diri sendiri. Melepas berarti mengakui bahwa kita dulu tidak sepenuhnya benar, dan itu tidak mudah. Kita cenderung menghakimi diri sendiri atas pilihan masa lalu. Tapi unlearning mengajarkan bahwa tidak ada keputusan yang salah; setiap keputusan adalah langkah yang diperlukan untuk membawa kita ke titik ini. Masa lalu bukan musuh; ia adalah batu pijakan. Yang perlu kita lepaskan bukan masa lalu, tetapi keterikatan kita pada versi lama dari diri kita.
Proses unlearning sering tampak seperti langkah mundur: bingung, ragu, atau bahkan hancur. Namun dari bingung itulah kemudian muncul kejernihan baru. Dari ragu muncul kebijaksanaan. Dari hancur muncul kesempatan untuk membangun diri dari dasar yang lebih kokoh. Dalam arti tertentu, unlearning adalah bentuk kelahiran kembali.
Unlearning juga membutuhkan kehadiran orang lain. Kita butuh cermin untuk melihat pola lama yang tak disadari. Kita perlu dialog yang jujur, kritik yang lembut, atau kehadiran seseorang yang memancing kita bertanya: “Apakah ini masih cara terbaik untuk hidup?” Pertemuan manusia sering menjadi katalis perubahan. Tanpa hubungan, kita mudah terjebak di dalam versi lama dari diri kita sendiri.
Unlearning mengajarkan bahwa hidup bukan tentang mengumpulkan, tetapi tentang menata ulang. Kita datang ke dunia ini tanpa apa-apa, lalu mengumpulkan segala macam hal — pengetahuan, kebiasaan, rasa takut, mimpi, keyakinan. Kemudian tiba waktunya kita memilah mana yang akan dibawa, mana yang harus dilepas. Di titik inilah kita menemukan kebebasan. Karena kebebasan sejati bukan memiliki segalanya, tetapi tidak terikat pada apa pun yang menghalangi pertumbuhan.
Setiap kali kita berani melepaskan satu cara lama melihat dunia, kita memberi diri sendiri kesempatan untuk melihat dunia dengan mata baru. Setiap kali kita melepaskan satu bagian dari diri yang sudah tidak relevan, kita memberi ruang bagi versi yang lebih bijak untuk muncul.
Dan mungkin itulah inti dari unlearning, keberanian untuk menjadi baru.

