Gajah Gallery di Art Jakarta 2025: Suara Asia Tenggara dalam Dialog Global

(Business Lounge Journal – Art)

Di tengah geliat seni kontemporer yang kian berdenyut di Asia Tenggara, Gajah Gallery kembali menegaskan perannya sebagai jembatan antara kawasan ini dan dunia internasional. Tahun ini, galeri yang berakar kuat di Singapura, Yogyakarta, dan Jakarta tersebut akan menghadirkan salah satu presentasi paling ambisiusnya di Art Jakarta 2025, yang berlangsung pada 3–5 Oktober di JIExpo Kemayoran.

Menempati stan terbesar di area B3, Gajah Gallery siap memikat publik seni dengan kurasi yang menggabungkan kekuatan nama besar dan energi baru dari generasi muda. Bagi galeri yang didirikan pada 1996 ini, keikutsertaan di Art Jakarta bukan sekadar partisipasi rutin, tetapi pernyataan artistik tentang posisi Asia Tenggara dalam percakapan seni global.

Pohon Buah: Fantasi dan Refleksi dari Yunizar

Di jantung presentasi Gajah Gallery tahun ini berdiri karya patung terbaru dari Yunizar berjudul Pohon Buah — sebuah representasi jenaka namun mendalam tentang fantasi yang tumbuh dari realitas sehari-hari.

Melalui bentuk pohon dengan buah-buahan tropis yang tersusun unik di setiap edisinya, Yunizar menciptakan lanskap simbolik yang mengundang penonton untuk membaca ulang hubungan antara manusia dan imajinasinya. Karya ini menandai debutnya di Indonesia setelah lebih dulu memikat publik di luar negeri, menjadi pusat perhatian bagi pecinta seni yang mengenal Yunizar sebagai salah satu figur penting dalam seni kontemporer Indonesia.

Pohon Buah seolah merepresentasikan ide besar yang juga dipegang Gajah Gallery selama hampir tiga dekade: bahwa seni adalah ruang hidup bagi ide-ide yang terus tumbuh dan berbuah, melintasi batas generasi maupun geografi.

MUMOTOMO: Warisan Empat Seniman Abadi

Salah satu persembahan paling emosional dari Gajah Gallery tahun ini adalah MUMOTOMO—sebuah proyek penghormatan bagi empat sosok seniman yang telah berpulang: I Gusti Ayu Kadek Murniasih (Murni), Dewa Putu Mokoh, Edmondo Zanolini, dan OoTotol (Dewa Raram).

Keempatnya merupakan bagian dari jaringan seniman yang berproses secara organik dalam komunitas Bali dan Yogyakarta, dengan gaya dan latar belakang berbeda, namun terikat oleh semangat yang sama: kebebasan berekspresi tanpa kompromi. Melalui MUMOTOMO, Gajah Gallery tidak hanya mengenang karya mereka, tetapi juga merangkai kembali nilai-nilai spiritual, emosional, dan eksperimental yang mereka wariskan.

Dalam konteks Art Jakarta, persembahan ini menjadi refleksi yang indah tentang bagaimana seni mampu mengabadikan kehidupan—bahwa meski para senimannya telah tiada, karya mereka tetap berbicara, melampaui waktu dan ruang.

Eksperimen dan Evolusi dari Generasi Baru

Selain dua highlight utama tersebut, stan Gajah Gallery tahun ini juga menjadi arena eksplorasi bagi sejumlah seniman muda yang tengah menapaki evolusi kreatif.

Jemana Murti, Ridho Rizki, dan Tantin Udiantara menampilkan karya yang menandai fase baru dalam perjalanan artistik mereka, memperlihatkan keberanian untuk bereksperimen dengan bentuk dan ide. Sementara itu, Rosit Mulyadi—yang saat ini tengah menggelar pameran tunggal di Gajah Gallery Jakarta—membawa perspektif introspektif yang menggabungkan teknik kuat dengan narasi personal.

Nama-nama lain seperti Erizal As, Ibrahim, Fadilah Karim, Fika Ria Santika, Kayleigh Goh, Satya Cipta, dan Mahalakshmi Kannappan turut memperkaya pameran melalui karya-karya monumental yang secara khusus diciptakan untuk Art Jakarta 2025. Dengan karakter visual yang beragam—dari abstraksi ekspresif hingga representasi figuratif yang meditatif—presentasi ini memperlihatkan keberagaman bahasa visual Asia Tenggara yang dinamis dan progresif.

Debut dan Kehadiran Internasional

Kejutan lain datang dari debut seniman Loi Cai Xiang asal Singapura serta kehadiran karya perunggu Stride milik seniman Filipina ternama Mark Justiniani, yang untuk pertama kalinya dipamerkan di Indonesia.

Tak kalah menarik, karya mendiang Made Wianta dari Bali juga turut dihadirkan—sebuah pengingat akan akar yang kuat dari tradisi dan spiritualitas dalam seni Nusantara. Melalui kehadiran lintas generasi dan lintas negara ini, Gajah Gallery mempertegas misinya untuk memperluas percakapan tentang seni Asia Tenggara, bukan sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari lanskap seni global.

Gajah Gallery: Dari Regional ke Global

Didirikan hampir tiga dekade lalu, Gajah Gallery telah tumbuh menjadi institusi seni yang berperan penting dalam memetakan arah seni Asia Tenggara. Dengan ruang di Singapura, Yogyakarta, dan Jakarta, galeri ini tidak hanya menjadi tempat pameran, tetapi juga pusat riset, kolaborasi, dan penerbitan seni.

Gajah Gallery dikenal karena keberanian kurasinya yang selalu menggabungkan kekuatan riset akademik dengan kepekaan terhadap isu-isu kontemporer. Selama bertahun-tahun, galeri ini telah mengadakan sejumlah pameran penting, seperti 5th Passage: In Search of Lost Time, I GAK Murniasih: Shards of My Dreams That Remain in My Consciousness, Heresy or Codswallop (pameran tunggal Ashley Bickerton), hingga Semsar Siahaan: Art, Liberation.

Selain itu, kolaborasi lintas negara dengan institusi seperti National University of Singapore Museum dan Singapore Art Museum menjadi bukti konsistensi Gajah Gallery dalam mengangkat seniman-seniman kawasan ke panggung internasional. Melalui publikasi dan dokumentasi yang serius—termasuk buku Yunizar: New Perspective—galeri ini juga ikut memperkaya catatan sejarah seni Asia Tenggara.

Semangat inilah yang kembali dihidupkan di Art Jakarta 2025. Bagi Gajah Gallery, pameran ini bukan hanya ajang pamer karya, tetapi juga laboratorium gagasan—tempat di mana seniman, kurator, dan penikmat seni dapat berdialog dalam bahasa visual yang melintasi batas budaya.

Seni Sebagai Dialog dan Jembatan

Dalam lanskap seni global yang kian saling terhubung, Gajah Gallery hadir sebagai pengingat bahwa kekuatan Asia Tenggara terletak pada keberagamannya. Dari energi eksperimental seniman muda hingga refleksi spiritual para maestro, setiap karya yang dipamerkan mencerminkan denyut kehidupan masyarakatnya.

Seni adalah bahasa yang melintasi batas,” demikian filosofi yang terus dipegang oleh Gajah Gallery sejak awal berdirinya. Di Art Jakarta 2025, bahasa itu berbicara lebih lantang—mengajak publik untuk melihat Asia Tenggara bukan sekadar sebagai latar, tetapi sebagai pusat wacana baru tentang kreativitas, keberanian, dan kemanusiaan.

Menatap Masa Depan

Bagi Gajah Gallery, langkah ke depan selalu dimulai dari refleksi atas warisan yang telah dibangun. Setelah hampir tiga dekade mengembangkan ekosistem seni yang inklusif dan berdaya saing global, galeri ini terus memperluas visinya: membangun hubungan lintas disiplin dan memperkuat fondasi intelektual seni di kawasan.

Kehadiran mereka di Art Jakarta 2025 menjadi simbol dari kesinambungan—antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan dunia. Dalam setiap karya yang dipamerkan, ada percikan ide yang menandakan bahwa seni Asia Tenggara kini tengah menulis babak baru dalam sejarah globalnya.

Dan di tengah segala dinamika itu, Gajah Gallery berdiri sebagai salah satu penggerak utamanya—tegas, visioner, dan setia pada misinya untuk terus menyalakan percakapan tentang seni dan maknanya bagi manusia.