manajemen operasi

Seni Bertanya: Mengapa Pemimpin Perlu Menghidupkan Kembali Rasa Ingin Tahu

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Sebagian besar dari kita tumbuh dengan rasa ingin tahu yang besar. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak bisa mengajukan ratusan pertanyaan setiap harinya—mulai dari yang polos, menggelikan, hingga penuh imajinasi. Namun seiring bertambahnya usia dan masuk ke dalam sistem pendidikan formal, kebiasaan bertanya perlahan menurun. Sekolah lebih sering menekankan kepatuhan dan jawaban yang benar ketimbang keberanian mengajukan pertanyaan.

Pada akhirnya, ketika memasuki dunia kerja, banyak orang belajar bahwa terlalu banyak bertanya bisa dianggap memperlambat pekerjaan, menunjukkan ketidaktahuan, bahkan berisiko membuat atasan terganggu. Akibatnya, budaya bertanya semakin pudar. Padahal, hilangnya rasa ingin tahu ini berdampak luas: meningkatnya konflik karena miskomunikasi, hubungan interpersonal yang dangkal, hingga keputusan bisnis yang kurang optimal.

Mengapa Pemimpin Enggan Bertanya?

Warren Berger, penulis buku laris A More Beautiful Question dan The Book of Beautiful Questions, menyebut bahwa salah satu alasan utama para pemimpin enggan bertanya adalah karena pertanyaan dianggap sebagai tanda kelemahan.

“Bagi sebagian pemimpin, bertanya sama dengan mengakui bahwa mereka tidak tahu. Padahal, bukankah seharusnya pemimpin adalah orang yang tahu segalanya?” kata Berger.

Lebih jauh, ketika ada orang lain yang mengajukan pertanyaan, sering kali hal itu dipersepsikan sebagai tantangan terhadap otoritas. Dengan demikian, pemimpin menghadapi double problem: merasa rentan saat mereka sendiri bertanya, dan merasa terancam saat orang lain bertanya kepada mereka.

Padahal, kepemimpinan yang sehat justru membutuhkan keseimbangan antara kepercayaan diri dan kerendahan hati. Seorang pemimpin perlu berani mengakui bahwa ia tidak selalu punya semua jawaban, namun tetap cukup percaya diri bahwa kerentanannya tidak akan mengurangi kredibilitasnya di mata tim.

Kesalahan Fatal dalam Mengelola Pertanyaan

Salah satu kesalahan yang sering dilakukan pemimpin, menurut Berger, adalah membuat aturan tidak tertulis: Jangan datang dengan masalah atau pertanyaan jika kamu tidak membawa jawaban.”

Prinsip ini, meski terdengar efisien, sebenarnya “salah total”. Sebab, inti dari sebuah pertanyaan adalah mencari jawaban—dan tentu saja, penanya biasanya belum memiliki jawabannya. Dengan membatasi ruang bertanya, pemimpin justru menutup pintu bagi kreativitas, inovasi, dan solusi baru yang mungkin lahir dari keingintahuan sederhana.

Dari “Apa yang Seharusnya Kita Lakukan?” Menjadi “Bagaimana Kalau Kita…?”

Salah satu teknik yang disarankan Berger adalah membingkai pertanyaan dengan format “How might we…?” atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan menjadi “Bagaimana kalau kita…?” atau “Bagaimana kita bisa…?”.

Alih-alih bertanya “Apa yang seharusnya kita lakukan?” (yang cenderung membatasi), pertanyaan “Bagaimana kalau kita menemukan cara…?” membuka ruang eksplorasi yang lebih luas.

Contoh:
Alih-alih menetapkan mission statement yang kaku, tim bisa mengembangkan mission question seperti:
“Bagaimana kalau kita bisa memperbaiki proses ini sekaligus meningkatkan kepuasan pelanggan, sambil juga mengurangi biaya operasional?”

Dengan merangkum berbagai tujuan dalam satu pertanyaan besar, tim didorong untuk berpikir holistik dan kreatif.

Nada Bicara Menentukan Makna

Namun, seni bertanya bukan hanya soal kata-kata, melainkan juga soal nada dan niat.

Kalimat yang sama, “Kenapa kalian melakukan ini dengan cara itu?”, bisa terdengar sebagai kritik tajam yang melemahkan semangat, atau bisa juga menjadi pertanyaan tulus yang membuka ruang diskusi. Kuncinya terletak pada nada suara, bahasa tubuh, dan rasa ingin tahu yang autentik.

Berger menyebut pertanyaan yang diajukan tanpa rasa ingin tahu sejati sebagai “counterfeit questions” atau pertanyaan palsu. Pertanyaan semacam ini biasanya hanya digunakan untuk menyudutkan, mengkritik, atau pamer pengetahuan, bukan untuk benar-benar memahami.

Menuju Budaya Bertanya

Untuk membangun budaya bertanya di organisasi, syarat utamanya adalah trust atau kepercayaan.

Dalam organisasi yang penuh ketidakpercayaan, orang akan enggan bertanya karena khawatir pertanyaannya dianggap bodoh, melemahkan posisi, atau bahkan membahayakan kariernya. Sebaliknya, dalam lingkungan yang aman secara psikologis, bertanya dipandang sebagai kontribusi, bukan ancaman.

Berger menegaskan: “Dalam budaya dengan kepemimpinan yang buruk, tanpa rasa aman dan tanpa kepercayaan, budaya bertanya tidak akan pernah tumbuh.”

Belajar dari Perusahaan Global: Budaya Bertanya dalam Praktik

Beberapa perusahaan kelas dunia sudah membuktikan bahwa budaya bertanya bukan hanya wacana, melainkan fondasi penting bagi inovasi dan daya saing. Berikut beberapa contohnya:

1. Google – “10x Thinking” dengan Pertanyaan Besar

Google dikenal dengan prinsip moonshot thinking, yaitu mendorong karyawan untuk tidak hanya mencari solusi 10% lebih baik, tetapi 10 kali lebih baik.

  • Alih-alih bertanya: “Bagaimana kita bisa membuat mesin pencari lebih cepat?”
  • Google mendorong pertanyaan seperti: “Bagaimana kalau kita bisa membuat semua informasi di dunia bisa diakses siapa pun, kapan pun, dan di mana pun?”

Pertanyaan besar ini melahirkan produk-produk revolusioner seperti Google Maps, Gmail, hingga Waymo.

2. Toyota – Filosofi “5 Whys”

Toyota mengembangkan metode sederhana namun efektif: lima kali bertanya “Mengapa?” saat menghadapi masalah.
Contoh:

  • Masalah: mesin berhenti berfungsi.
    • Mengapa? Karena sekring putus.
    • Mengapa sekring putus? Karena mesin terlalu panas.
    • Mengapa mesin terlalu panas? Karena pelumas tidak mengalir.
    • Mengapa pelumas tidak mengalir? Karena pompa rusak.
    • Mengapa pompa rusak? Karena filter tersumbat.

Dengan menggali hingga akar masalah melalui pertanyaan berulang, Toyota mampu memperbaiki sistem, bukan sekadar menambal masalah di permukaan.

3. IDEO – Budaya “How Might We”

Perusahaan desain dan inovasi IDEO menjadikan pertanyaan “How might we…?” sebagai bagian dari DNA organisasi.
Dalam setiap proyek, tim IDEO memulai dengan pertanyaan terbuka, misalnya:

  • “Bagaimana kalau kita bisa membuat pengalaman berbelanja lebih menyenangkan bagi orang tua?”
  • “Bagaimana kalau kita bisa membantu anak belajar dengan cara yang lebih bermain?”

Hasilnya, IDEO menghasilkan solusi desain inovatif yang human-centered dan sering kali mengubah industri.

4. Microsoft – Growth Mindset dan Curiosity

Sejak Satya Nadella menjadi CEO, Microsoft mengubah budaya perusahaan dari “know-it-all” menjadi “learn-it-all.”

  • Pertanyaan didorong sebagai cara belajar, bukan tanda kelemahan.
  • Nadella sendiri sering menekankan pada timnya: “Kita tidak boleh puas hanya dengan jawaban, tetapi terus bertanya apa lagi yang bisa dipelajari.”

Transformasi ini membantu Microsoft keluar dari stagnasi dan kembali menjadi salah satu perusahaan teknologi paling berpengaruh di dunia.

Pelajaran untuk Organisasi

Dari contoh-contoh di atas, ada benang merah yang bisa dipetik oleh organisasi lain:

  1. Pertanyaan besar melahirkan visi besar (Google).
  2. Pertanyaan berulang menemukan akar masalah (Toyota).
  3. Pertanyaan kreatif membuka jalan inovasi (IDEO).
  4. Pertanyaan sebagai alat belajar, bukan kelemahan (Microsoft).

Dengan membiasakan bertanya—dan memberi ruang aman untuk bertanya—perusahaan bukan hanya menciptakan inovasi, tetapi juga membangun budaya kerja yang sehat, kolaboratif, dan berorientasi pada pertumbuhan jangka panjang.

Pemimpin yang baik bukanlah mereka yang selalu punya jawaban, melainkan mereka yang tahu pertanyaan apa yang perlu diajukan. Dengan bertanya secara tulus, pemimpin mendorong tim untuk berpikir lebih dalam, membuka ruang inovasi, serta membangun kedekatan yang lebih bermakna.

Pada akhirnya, seni bertanya bukan hanya soal strategi komunikasi, melainkan juga cermin dari keberanian seorang pemimpin untuk menunjukkan kerendahan hati, mengakui keterbatasan, dan menginspirasi orang lain untuk mencari jawaban bersama.