Buat Kota Pintar di AS, Sony Utamakan Keselamatan dan Efisiensi

Urbanisasi telah menjadi fenomena global yang tak terhindarkan. Menurut PBB, pada tahun 2050 lebih dari 68% populasi dunia akan tinggal di kota. Konsekuensinya, kota-kota besar dihadapkan pada masalah pelik: kemacetan lalu lintas, polusi udara, keterbatasan ruang hijau, hingga meningkatnya risiko kecelakaan di jalan raya.

Untuk menjawab tantangan ini, berbagai perusahaan teknologi dunia berlomba menghadirkan urban technology—serangkaian solusi berbasis teknologi cerdas yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup warga kota. Salah satu pemain terbaru yang terjun ke bidang ini adalah Sony Group, melalui uji coba teknologi kota pintar di Amerika Serikat

Urban Technology: Apa dan Mengapa?

Urban technology mencakup pemanfaatan sensor, big data, AI, dan Internet of Things (IoT) untuk mengoptimalkan infrastruktur perkotaan. Misalnya:

  • Sensor lalu lintas yang menganalisis kepadatan jalan.
  • Lampu lalu lintas adaptif yang menyesuaikan durasi sesuai volume kendaraan.
  • Sistem peringatan dini untuk pejalan kaki dan pengendara agar terhindar dari kecelakaan.
  • Pemantauan kualitas udara secara real-time.

Tujuannya sederhana namun krusial: membuat kota lebih aman, efisien, dan berkelanjutan.

Uji Coba Sony: Menggabungkan AI dan Sensor Pintar

Dalam proyek percontohan ini, Sony menempatkan sensor bertenaga AI di titik-titik lalu lintas padat di beberapa kota di AS. Sensor tersebut mendeteksi:

  • Pergerakan kendaraan.
  • Kecepatan laju.
  • Pejalan kaki yang hendak menyeberang.

Data yang terkumpul diproses secara real-time. Jika sistem mendeteksi potensi tabrakan—misalnya kendaraan yang melaju terlalu cepat ketika ada pejalan kaki menyeberang—AI dapat mengirimkan peringatan atau memberi sinyal kepada pengelola lalu lintas untuk melakukan intervensi.

Lebih jauh, data yang dihasilkan juga dapat membantu pemerintah kota menyusun strategi jangka panjang: dari rekayasa lalu lintas, perencanaan transportasi umum, hingga kebijakan lingkungan.

Ada dua target besar yang ingin dicapai Sony lewat uji coba ini:

  1. Keselamatan Jalan Raya
    Sistem AI mampu mengenali kendaraan dan pejalan kaki yang berada pada jalur berisiko. Dengan deteksi dini, potensi kecelakaan bisa diantisipasi sebelum terjadi. Ini sangat relevan mengingat di AS, data National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) mencatat lebih dari 42.000 korban jiwa akibat kecelakaan lalu lintas pada 2022—angka tertinggi dalam 16 tahun terakhir.
  2. Efisiensi Lalu Lintas
    Data dari sensor bisa digunakan untuk mengatur lampu lalu lintas secara dinamis. Jalan yang padat bisa diberi waktu lampu hijau lebih lama, sementara jalan sepi bisa dipersingkat. Hasilnya, arus kendaraan lebih lancar, kemacetan berkurang, dan konsumsi bahan bakar lebih hemat. Efisiensi ini berkontribusi pada penurunan emisi karbon, sehingga kota menjadi lebih ramah lingkungan.

Mengapa Amerika, Bukan Jepang?

Hal ini menarik  mengapa Sony memilih Amerika Serikat sebagai lokasi uji coba, bukan Jepang yang merupakan “rumah” perusahaan ini? Ada beberapa alasan strategis, diantaranya adalah:

  1. Skala Masalah Lebih Besar
    Kota-kota besar di AS seperti Los Angeles atau New York memiliki tingkat kemacetan dan kecelakaan lalu lintas yang jauh lebih tinggi daripada Tokyo atau Osaka. Hal ini memberi “lahan uji” yang lebih menantang bagi sistem AI.
  2. Regulasi Lebih Fleksibel
    Banyak kota di AS membuka diri untuk bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam proyek kota pintar. Regulasi yang lebih fleksibel ini memudahkan Sony melakukan eksperimen.
  3. Ekosistem Teknologi Global
    AS adalah pusat inovasi AI dan urban tech. Berada di sana memungkinkan Sony berkolaborasi dengan startup, universitas, hingga perusahaan teknologi lain.
  4. Branding dan Citra Global
    Meluncurkan proyek di AS memberi nilai tambah reputasi. Jika berhasil di pasar yang sangat kompetitif seperti Amerika, maka penerimaan global akan lebih mudah.
  5. Kebutuhan Mendesak
    Angka kecelakaan lalu lintas di AS jauh lebih tinggi daripada Jepang, sehingga manfaat langsung dari teknologi Sony bisa segera terlihat.

Dari Keselamatan ke Keberlanjutan

Pasar kota pintar global diperkirakan akan meledak dalam dekade mendatang. Data dari Allied Market Research menunjukkan bahwa nilai pasar kota pintar global diproyeksikan mencapai $6,6 triliun pada 2030, dengan transportasi pintar sebagai salah satu segmen utama.Jika proyek ini sukses, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kota-kota besar di dunia akan mengadopsi sistem serupa, menjadikan sensor AI bagian integral dari infrastruktur perkotaan.

Tantangan yang Mengintai

Meski menjanjikan, ada sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi:

  1. Privasi Data – Sensor AI yang memantau kendaraan dan pejalan kaki berpotensi mengumpulkan data pribadi. Regulasi ketat perlu diterapkan agar tidak terjadi penyalahgunaan.
  2. Biaya Implementasi – Pemasangan sensor dan sistem AI membutuhkan investasi besar. Pemerintah kota harus yakin manfaat jangka panjang lebih besar dari biaya.
  3. Kesiapan Infrastruktur – Tidak semua kota siap menerima teknologi baru. Dibutuhkan integrasi dengan sistem transportasi yang sudah ada.
  4. Kompetisi Global – Sony bukan satu-satunya pemain. Perusahaan teknologi lain, termasuk dari China dan Eropa, juga mengembangkan solusi serupa.

Uji coba Sony di AS bukan sekadar proyek teknologi, tetapi langkah strategis untuk memasuki pasar kota pintar global yang sedang tumbuh pesat. Dengan menekankan pada keselamatan jalan raya dan efisiensi lalu lintas, Sony berusaha membuktikan bahwa inovasi bisa membawa perubahan nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat kota.

Sony bukan satu-satunya yang melangkah ke arah ini. Di berbagai belahan dunia, banyak kota sudah lebih dulu menguji atau menerapkan teknologi kota pintar.

  • Barcelona, Spanyol
    Barcelona dikenal sebagai pionir kota pintar Eropa. Mereka memanfaatkan sensor IoT untuk mengatur pencahayaan jalan, mengelola parkir pintar, dan memantau kualitas udara. Hasilnya, konsumsi energi kota turun drastis, sementara efisiensi transportasi meningkat.
  • Singapura
    Negara-kota ini mengembangkan sistem Smart Nation. Lewat kamera dan sensor yang tersebar di seluruh kota, pemerintah bisa memantau lalu lintas, mengatur transportasi publik secara dinamis, bahkan mendeteksi kerumunan di tempat umum. Efisiensi tinggi ini membuat Singapura diakui sebagai salah satu kota paling maju dalam penerapan urban technology.
  • Seoul, Korea Selatan
    Seoul mengembangkan digital twin dari kota mereka—versi virtual yang meniru kondisi nyata kota secara real-time. Dengan teknologi ini, pemerintah dapat mensimulasikan dampak kebijakan transportasi atau pembangunan infrastruktur sebelum diterapkan di dunia nyata.
  • New York City, Amerika Serikat
    Selain jadi tempat uji coba Sony, New York juga telah lama menggunakan teknologi untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas melalui program Vision Zero. Kamera pengawas dan sensor dipasang di banyak titik untuk memantau perilaku pengendara, sekaligus menegakkan aturan lalu lintas secara otomatis.

Indonesia juga punya kota pintar, apa bedanya?

Jakarta & Bandung adalah kota pintar di Indonesia. Keduanya lebih fokus pada pelayanan publik dan integrasi birokrasi. Jakarta Smart City menghadirkan aplikasi seperti Qlue dan Jakarta Kini (JAKI) untuk aduan warga, informasi transportasi, pajak, hingga kesehatan. Bandung Smart City lebih menekankan e-Government, transparansi data, dan partisipasi masyarakat. Teknologi memang dipakai, tetapi lebih sebagai alat bantu manajemen pemerintahan dibanding solusi teknis lalu lintas tingkat lanjut.

Tantangan utama di Indonesia adalah birokrasi lambat, kurangnya partisipasi warga, dan manajemen kota yang kompleks. Masalah lalu lintas memang besar, tapi solusi yang dipakai masih lebih administratif (misalnya integrasi transportasi publik via JakLingko) daripada sensor AI canggih. Sedangkan di AS: regulasi lebih fleksibel untuk kerja sama dengan perusahaan swasta. Infrastruktur digital lebih matang (IoT, AI, jaringan data).

Perbedaan utamanya adalah AS mengedepankan kecerdasan buatan dan sensor untuk solusi teknis, sementara Indonesia lebih menekankan smart governance, partisipasi publik, dan layanan digital pemerintahan.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kota pintar bukan sekadar konsep futuristik, melainkan solusi nyata yang sudah diterapkan dan terbukti memberi dampak positif.