(Business Lounge – Human Resources) Di tengah perubahan besar yang sedang melanda dunia kerja, perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat mulai memangkas lapisan manajerial dan mendorong struktur organisasi yang lebih ramping. Fenomena ini menandai bergesernya paradigma kerja tradisional, di mana manajer selama puluhan tahun dipandang sebagai jembatan penting antara pekerja dan pimpinan eksekutif. Kini, banyak korporasi mulai menilai ulang fungsi tersebut, dengan alasan efisiensi biaya, percepatan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap lanskap bisnis yang semakin kompetitif.
Amazon menjadi salah satu contoh nyata dari perubahan ini. Raksasa teknologi tersebut mendorong tim-tim yang lebih besar di bawah jumlah manajer yang lebih sedikit, dengan harapan dapat memacu produktivitas sekaligus menekan biaya gaji. Strategi ini mencerminkan keyakinan bahwa pekerja dapat lebih mandiri, sementara keputusan-keputusan penting bisa diambil lebih cepat tanpa harus melewati banyak lapisan birokrasi. Bank of America pun berada pada jalur serupa, dengan kebijakan yang disebut “flattening,” yaitu merampingkan struktur agar jalur komunikasi lebih langsung dan hierarki tidak terlalu berbelit.
Dorongan untuk memangkas jumlah manajer tidak semata-mata didorong oleh efisiensi biaya. Menurut laporan Wall Street Journal, perusahaan-perusahaan mulai menyadari bahwa model kerja hibrida dan digitalisasi membuat kebutuhan akan pengawasan tradisional semakin berkurang. Dengan teknologi kolaborasi seperti Slack, Zoom, atau Microsoft Teams, pekerja dapat melaporkan progres pekerjaan mereka secara real time, tanpa harus menunggu tatap muka rutin dengan atasan. Hal ini menciptakan lingkungan kerja yang lebih transparan sekaligus menekan kebutuhan untuk memiliki terlalu banyak supervisor.
Namun, transformasi ini juga menimbulkan tantangan baru. Pekerja yang terbiasa memiliki akses langsung kepada manajer mereka kini merasa kehilangan ruang untuk berdiskusi atau mendapatkan bimbingan karier. Dalam banyak kasus, pekerja muda atau yang baru bergabung mengalami kesulitan karena berkurangnya interaksi tatap muka dengan mentor mereka. “Seorang manajer bukan hanya pengawas, tetapi juga pelatih dan pembimbing,” tulis Harvard Business Review dalam analisisnya tentang tren ini. Tanpa dukungan itu, ada risiko penurunan loyalitas dan keterikatan emosional pekerja terhadap perusahaan.
Dari sisi manajerial, pemangkasan lapisan kepemimpinan juga menuntut para manajer yang tersisa untuk menangani lebih banyak orang dalam satu tim. Jika sebelumnya seorang manajer mengawasi 7 hingga 10 orang, kini jumlah itu bisa berlipat ganda. Situasi ini menciptakan tekanan baru, di mana para manajer harus menyeimbangkan beban administratif dengan kebutuhan memberikan perhatian personal. Beberapa analis menyebut tren ini sebagai “span of control crisis,” di mana semakin besar lingkup tanggung jawab, semakin sulit pula menjaga kualitas kepemimpinan.
Meski begitu, banyak perusahaan percaya bahwa transformasi ini adalah jalan yang tak terelakkan. Laju globalisasi, tekanan margin keuntungan, dan kebutuhan untuk lebih gesit menghadapi perubahan pasar mendorong organisasi untuk memangkas hierarki. McKinsey & Company dalam risetnya menekankan bahwa perusahaan dengan struktur lebih datar cenderung lebih cepat beradaptasi dengan gangguan pasar dibanding organisasi dengan banyak lapisan birokrasi. Hal ini sangat relevan di era di mana disrupsi teknologi dan perubahan perilaku konsumen terjadi begitu cepat.
Fenomena ini juga berimplikasi pada budaya kerja yang lebih egaliter. Dengan lapisan manajerial yang lebih sedikit, banyak perusahaan mencoba mendorong komunikasi lintas level yang lebih terbuka. Pekerja didorong untuk menyampaikan ide langsung kepada eksekutif senior, tanpa harus melewati rantai birokrasi panjang. Budaya semacam ini dipercaya dapat mempercepat inovasi serta meningkatkan rasa kepemilikan pekerja terhadap keputusan strategis.
Namun, para pengamat juga mengingatkan bahwa “pemangkasan manajer” bukan solusi universal. Tidak semua sektor bisa serta-merta mengadopsi struktur datar. Industri-industri yang sangat regulatif atau padat modal, seperti perbankan dan manufaktur, masih memerlukan lapisan pengawasan yang ketat. Bahkan di perusahaan teknologi yang dikenal fleksibel, hilangnya peran manajer bisa menimbulkan kebingungan arah bila komunikasi dan koordinasi tidak diatur dengan baik.
Dunia kerja tampaknya akan menemukan bentuk baru yang hibrida. Bukan berarti peran manajer hilang sepenuhnya, melainkan bergeser menjadi lebih strategis. Manajer masa depan dituntut untuk menjadi fasilitator dan pelatih, bukan sekadar pengawas. Mereka akan lebih fokus pada pengembangan bakat, menjaga semangat tim, serta membangun budaya organisasi yang sehat. Dengan begitu, manajer tetap memainkan peran vital, meskipun jumlahnya lebih sedikit dari masa lalu.
Perubahan radikal yang kini terjadi di Amazon, Bank of America, dan banyak korporasi lain di Amerika adalah cerminan dari dinamika global. Struktur organisasi yang lebih datar mungkin menimbulkan kegelisahan bagi sebagian pekerja, tetapi juga membuka peluang terciptanya lingkungan kerja yang lebih lincah, transparan, dan inovatif. Yang jelas, dunia kerja sedang memasuki babak baru, di mana hubungan antara pekerja dan manajer tidak lagi sama seperti satu dekade lalu.
Dalam konteks Indonesia, tren perusahaan besar di Amerika Serikat yang mengurangi jumlah manajer dan memperbesar struktur tim memiliki relevansi penting. Di Indonesia, terutama pada perusahaan teknologi, e-commerce, dan sektor jasa keuangan digital, restrukturisasi organisasi juga mulai terlihat. Beberapa perusahaan startup lokal yang sebelumnya memiliki struktur manajerial berlapis kini lebih condong ke arah tim ramping dengan fokus pada efisiensi biaya dan kecepatan eksekusi. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan menekan biaya operasional di tengah persaingan ketat, sekaligus mengikuti tren global yang menekankan penggunaan teknologi, otomatisasi, dan kecerdasan buatan dalam mengelola alur kerja. Jika di Amerika Serikat Amazon dan Bank of America mengarah pada pengurangan manajerial, di Indonesia kita dapat melihat paralel pada langkah-langkah unicorn seperti Gojek dan Tokopedia yang pasca-merger lebih menekankan integrasi teknologi untuk menggantikan fungsi manajerial tradisional.
Namun, perbedaan konteks tetap ada. Di Indonesia, hubungan personal antara atasan dan bawahan masih menjadi elemen penting dalam budaya kerja. Banyak karyawan masih memandang kehadiran manajer sebagai simbol stabilitas, pembimbingan, dan jembatan komunikasi. Jika tren pengurangan manajer dilakukan terlalu cepat, ada risiko menurunnya motivasi kerja dan keterikatan karyawan. Di sisi lain, generasi muda di pasar tenaga kerja Indonesia semakin terbuka pada pola kerja lebih mandiri dengan arahan minimal, sejalan dengan meningkatnya ekonomi digital. Maka, transformasi organisasi di Indonesia kemungkinan akan berjalan secara hybrid: perusahaan besar tetap menjaga lapisan manajerial secukupnya untuk menjaga budaya kerja dan relasi, sementara perusahaan teknologi dan startup akan lebih agresif mengadopsi model organisasi datar untuk mengoptimalkan produktivitas.