Volvo

Rem Mobil Gagal, Volvo Hadapi Tekanan Baru

(Business Lounge – Automotive) Volvo kembali berada dalam sorotan tajam setelah kasus mengerikan menimpa seorang pengemudi setia merek asal Swedia itu, yang mengalami kegagalan rem saat menuruni jalan pegunungan yang curam. Insiden tersebut menjadi pemicu bagi regulator keselamatan jalan raya Amerika Serikat untuk memperingatkan publik terhadap potensi bahaya serius pada perangkat lunak kendaraan listrik dan plug-in hybrid Volvo yang telah ditarik dari peredaran atau recall. Di tengah meningkatnya adopsi kendaraan listrik secara global, kasus ini memperlihatkan bahwa reliabilitas teknologi baru masih memiliki celah yang berisiko fatal bagi keselamatan konsumen.

Menurut laporan dari The Wall Street Journal, peristiwa itu bermula saat pengemudi yang telah menjadi pelanggan loyal Volvo selama beberapa dekade mengalami situasi hampir maut ketika sistem pengereman pada kendaraannya, sebuah Volvo XC60 Recharge, mendadak tidak berfungsi. Dalam kondisi jalan yang menurun ekstrem, mobil meluncur tanpa kendali karena fungsi rem regeneratif dan sistem pengereman utama gagal bekerja. Pengemudi akhirnya berhasil menghentikan kendaraan dengan memanfaatkan rem darurat setelah melalui beberapa kilometer penuh ketegangan. Meski tak ada korban luka, pengalaman itu meninggalkan trauma dan membuka tabir bahaya sistem kelistrikan modern yang bergantung pada pembaruan perangkat lunak.

Administrasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya Nasional (NHTSA) menanggapi kejadian tersebut dengan serius. Lembaga ini mengeluarkan peringatan bahwa lebih dari 74.000 kendaraan Volvo model plug-in hybrid dan listrik murni, yang telah menjalani pembaruan perangkat lunak melalui over-the-air update, berisiko mengalami kegagalan rem. Dalam pernyataan resminya, NHTSA menyebut bahwa bug dalam sistem kontrol perangkat lunak dapat menyebabkan unit kontrol rem kehilangan komunikasi dengan komponen utama, yang pada akhirnya membuat sistem tidak merespons dalam situasi darurat.

Volvo, dalam tanggapannya, menyatakan telah menyadari masalah tersebut dan mengambil langkah proaktif dengan melakukan recall sukarela. Mereka juga mengatakan bahwa pembaruan perbaikan telah disiapkan dan akan didistribusikan ke semua kendaraan terdampak. Namun demikian, kepercayaan publik pada merek yang selama ini terkenal dengan standar keselamatan tinggi menjadi taruhan besar. Para analis menyebut bahwa insiden ini bisa berdampak jangka panjang terhadap reputasi Volvo, terlebih di tengah persaingan ketat di pasar kendaraan listrik yang semakin padat.

Insiden ini juga menimbulkan kekhawatiran yang lebih luas di kalangan industri otomotif. Sistem kendaraan modern yang sepenuhnya bergantung pada perangkat lunak menghadirkan tantangan baru bagi keselamatan konsumen. Ketergantungan terhadap update over-the-air, yang selama ini dianggap efisien dan inovatif, ternyata bisa menciptakan risiko tersembunyi jika tidak diuji secara menyeluruh dalam berbagai skenario berkendara di dunia nyata. Beberapa produsen mobil, termasuk Tesla dan Ford, juga pernah mengalami masalah serupa terkait software kendaraan yang berdampak pada performa rem, sistem kendali stabilitas, atau fungsi autopilot.

Kasus Volvo ini dapat menjadi titik balik penting dalam perdebatan soal regulasi terhadap kendaraan pintar. Para regulator kini tengah meninjau ulang standar pengujian dan sertifikasi untuk pembaruan perangkat lunak kendaraan. NHTSA sendiri sedang mempertimbangkan perlunya audit independen terhadap sistem pembaruan yang dilakukan jarak jauh, guna memastikan bahwa semua modifikasi perangkat lunak tidak mengorbankan fungsi-fungsi vital seperti rem atau sistem penggerak.

Bagi konsumen, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa transisi ke kendaraan listrik dan plug-in hybrid harus dilakukan dengan kesadaran penuh terhadap potensi risiko. Meski teknologi ini menawarkan manfaat besar seperti efisiensi energi dan pengurangan emisi, keselamatan tetap menjadi prioritas utama. Sejumlah pemilik kendaraan plug-in hybrid Volvo telah melaporkan pengalaman serupa setelah menerima update sistem, meski dalam tingkat keparahan yang berbeda-beda. Hal ini mempertegas pentingnya transparansi pabrikan dalam menjelaskan potensi efek samping dari setiap pembaruan yang dikirim ke kendaraan.

Sementara itu, para investor pun mulai memperhatikan dinamika ini, terutama karena Volvo tengah berupaya memperkuat posisinya di pasar EV global. Saham perusahaan induk Volvo Cars, Geely, sempat mengalami tekanan setelah kabar recall dan peringatan regulator menyebar ke publik. Di sisi lain, beberapa analis masih percaya bahwa Volvo memiliki modal reputasi yang kuat untuk melakukan pemulihan kepercayaan, selama langkah korektif dilakukan secara terbuka dan akuntabel.

Dalam jangka panjang, kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi seluruh industri otomotif yang tengah berlomba menjadi pemimpin dalam era kendaraan listrik dan otomatisasi. Inovasi memang penting, namun tak boleh mengabaikan aspek fundamental yang sudah menjadi dasar kepercayaan pelanggan selama ini: keselamatan di jalan. Jika perusahaan seperti Volvo yang dikenal konservatif dalam soal keamanan bisa mengalami kegagalan sistemik, maka tantangan yang dihadapi produsen lain yang lebih agresif dalam teknologi bisa jadi lebih besar.

Seiring kendaraan menjadi semakin mirip komputer berjalan, kebutuhan akan standar keamanan digital dan perangkat lunak pun semakin mendesak. Dalam waktu dekat, kolaborasi antara pabrikan, regulator, dan komunitas teknolog harus ditingkatkan untuk menciptakan sistem yang tidak hanya canggih, tapi juga bisa diandalkan dalam semua situasi. Bagi pengemudi Volvo yang lolos dari maut di pegunungan itu, harapan utamanya kini bukan teknologi tercanggih, tapi rasa aman yang selama ini dijanjikan oleh merek favoritnya.