Ford Motor Company

Strategi Produksi Lokal Ford Berbalik Menjadi Beban

(Business Lounge – Global News) Ford Motor Co., salah satu simbol industri otomotif Amerika Serikat, kini menghadapi dilema yang paradoksal: strategi “Made in America” yang selama ini dipromosikan sebagai keunggulan nasional justru menjadi penghambat di tengah gelombang perang dagang yang kembali menguat. Dengan kebijakan tarif baru yang diluncurkan oleh pemerintahan Trump terhadap kendaraan asing dan kesepakatan dagang yang memberikan pengecualian bagi negara-negara seperti Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan, Ford justru mendapati dirinya dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Seperti dilaporkan oleh The Wall Street Journal, Ford menyampaikan kekhawatirannya bahwa kendaraan yang mereka produksi di dalam negeri kini menjadi lebih mahal dibandingkan mobil-mobil dari produsen asing yang masuk ke pasar AS tanpa terkena beban tarif signifikan. Ironisnya, langkah proteksionis yang dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri justru menempatkan produsen lokal seperti Ford dalam posisi terjepit. Perusahaan-perusahaan dari Jepang dan Korea Selatan yang tidak memproduksi mobil di AS secara luas malah dapat menjual kendaraan mereka dengan harga lebih kompetitif berkat ketentuan baru yang muncul dari perundingan dagang bilateral.

Presiden Donald Trump telah lama menyuarakan pentingnya merestorasi manufaktur Amerika dan memberlakukan tarif terhadap produk luar negeri sebagai bentuk tekanan untuk mendorong relokasi pabrik ke dalam negeri. Namun seperti dilaporkan oleh Bloomberg, realitasnya lebih kompleks. Dalam konteks Ford, yang telah menginvestasikan miliaran dolar untuk menjaga fasilitas produksinya tetap berada di tanah Amerika, justru langkah-langkah ini membuat biaya produksi perusahaan menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan pesaing asing yang tidak terkena beban tarif maupun persyaratan ketat tenaga kerja lokal.

Dalam pernyataannya, Ford mengatakan bahwa kesepakatan tarif antara AS dan negara-negara mitra seperti Jepang, Uni Eropa, dan Korea Selatan mengandung ketentuan yang tidak sejajar. Kendaraan dari produsen seperti Toyota, Hyundai, dan Volkswagen bisa masuk ke pasar Amerika dengan beban tarif rendah atau nol, sementara Ford tidak menerima keuntungan serupa di pasar mereka. “Kami percaya bahwa lingkungan kebijakan saat ini menempatkan produsen mobil Amerika dalam posisi yang tidak kompetitif,” ujar juru bicara Ford kepada Reuters.

Ketimpangan ini bukan hanya persoalan kebijakan, tetapi menyentuh inti dari dinamika globalisasi otomotif yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Dalam praktiknya, banyak perusahaan mobil asing yang memproduksi sebagian besar mobil mereka di luar AS namun mampu menekan harga jual karena rantai pasok global yang efisien dan penghindaran beban tarif. Sementara itu, Ford yang mempertahankan fasilitas perakitan di Michigan, Kentucky, dan Ohio, menghadapi tekanan biaya dari berbagai sisi, termasuk regulasi lingkungan, upah minimum, dan tarif atas komponen yang diimpor dari Meksiko atau Asia Timur.

Menurut laporan dari CNBC, salah satu titik kritis dalam ketegangan ini adalah bagaimana definisi “kendaraan buatan dalam negeri” ditentukan dalam perjanjian dagang. Banyak kendaraan asing yang hanya dirakit sebagian kecil di AS namun tetap mendapatkan label “produksi domestik” karena kriteria asal konten lokal yang longgar. Sebaliknya, Ford yang memproduksi mobil sepenuhnya di AS tidak menerima perlakuan preferensial di pasar luar negeri yang menerapkan proteksi terselubung atau sistem kuota tidak tertulis terhadap kendaraan Amerika.

Masalah ini semakin diperumit oleh perubahan preferensi konsumen Amerika yang kini beralih ke SUV dan kendaraan listrik. Di segmen ini, produsen asing semakin agresif masuk ke pasar AS dengan model-model yang kompetitif secara harga dan teknologi. Toyota dan Hyundai, misalnya, telah memperluas penawaran SUV hybrid mereka dengan harga yang bersaing, dan banyak dari kendaraan tersebut lolos dari tarif baru karena perjanjian perdagangan bebas bilateral.

Ford, meskipun telah mengembangkan lini kendaraan listrik seperti Mustang Mach-E dan F-150 Lightning, tetap menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan biaya produksi tinggi dengan tuntutan harga pasar yang kompetitif. Dalam wawancara dengan Financial Times, CFO Ford menyebutkan bahwa margin keuntungan dari kendaraan listrik masih rendah, terutama karena skala produksi belum mencapai titik efisiensi optimal. Ditambah lagi dengan struktur biaya tenaga kerja yang lebih tinggi di AS, keunggulan kompetitif Ford semakin tergerus.

Situasi ini menciptakan tekanan ganda bagi Ford. Di satu sisi, mereka ingin tetap mematuhi semangat nasionalisme industri yang dicanangkan oleh Gedung Putih. Di sisi lain, realitas ekonomi menuntut fleksibilitas dan efisiensi global yang semakin sulit dicapai di tengah lanskap proteksionisme. Ford kini berada dalam dilema antara terus mempertahankan produksi domestik dengan segala bebannya, atau mencari jalur perakitan alternatif di luar negeri yang tentu akan memicu kritik politik dan citra buruk di mata konsumen domestik.

Pemerintah AS, melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR), sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda akan melakukan peninjauan ulang atas ketentuan tarif yang justru melemahkan daya saing produsen lokal. Beberapa analis memperkirakan bahwa jika Ford dan perusahaan sejenis terus terdampak negatif, tekanan politik dari kongres dan serikat pekerja akan meningkat, memaksa pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan dengan lebih mempertimbangkan kebutuhan manufaktur dalam negeri yang telah berinvestasi besar.

Namun, sebagaimana dilaporkan oleh Nikkei Asia, terdapat kekhawatiran bahwa perubahan semacam itu dapat memicu retaliasi dari negara mitra dagang. Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa mungkin akan meninjau ulang konsesi mereka jika AS mengubah struktur tarif secara sepihak. Hal ini tentu akan memperburuk ketidakpastian bagi industri otomotif yang sudah bergulat dengan disrupsi rantai pasok, perubahan teknologi, dan gejolak geopolitik.

Beberapa pakar industri menyarankan solusi jangka panjang yang lebih strategis: memperkuat insentif produksi lokal bukan melalui tarif atau pelarangan, melainkan melalui keringanan pajak, subsidi riset teknologi, dan kemitraan publik-swasta. Langkah-langkah ini dianggap lebih berkelanjutan dibandingkan pendekatan konfrontatif yang rawan efek samping. “Kita perlu mengubah narasi dari perang dagang ke pembangunan ekosistem industri yang tangguh,” ujar Mary Barra, CEO General Motors, dalam forum industri otomotif yang dikutip oleh The Washington Post.

Sementara itu, konsumen AS tetap menjadi pihak yang pada akhirnya akan menanggung dampaknya. Harga mobil, terutama yang sepenuhnya dibuat di AS, cenderung naik akibat beban produksi yang meningkat. Di sisi lain, kendaraan dari produsen asing bisa menjadi pilihan yang lebih terjangkau, meskipun sebagian pihak menilai bahwa ini melemahkan posisi perusahaan lokal dalam jangka panjang.

Bagi Ford, situasi ini adalah ujian besar atas komitmen dan filosofi industrinya. Mereka telah membangun narasi kebanggaan nasional atas produksi lokal selama puluhan tahun, dan kini harus menghadapi kenyataan bahwa kebijakan pemerintah sendiri justru bisa menjadi batu sandungan. Jika tidak ada perubahan struktural dalam lanskap perdagangan global, Ford mungkin harus merumuskan ulang strategi produksinya agar tetap relevan dan kompetitif tanpa kehilangan identitasnya sebagai “perusahaan mobil Amerika”.

Di tengah ketidakpastian ini, satu hal tetap jelas: pertarungan bukan hanya terjadi di jalur produksi atau showroom, tetapi juga di ruang diplomasi dagang dan kalkulasi geopolitik. Ford tidak sedang bersaing dengan Toyota atau Hyundai semata, melainkan dengan arsitektur baru sistem perdagangan internasional yang tidak lagi memberi keuntungan otomatis kepada yang “bermain di kandang sendiri”.