(Business Lounge Journal – Global News)
Perusahaan mobil listrik raksasa milik Elon Musk, Tesla, tengah bersiap melaporkan kinerja kuartal kedua tahun ini—dan para analis di Wall Street sudah memperkirakan hasil yang suram: pendapatan merosot, margin tertekan, dan angka pengiriman kendaraan turun dua digit. Namun, fokus investor bukan lagi soal seberapa buruk angka-angka tersebut, melainkan apakah Musk masih mampu mengalihkan perhatian cukup lama untuk menjaga harga saham tetap bertahan.
Angka-angka yang Melemah
Pendapatan Tesla diperkirakan turun sekitar 12% dibanding tahun lalu, berkisar antara USD 22,4 hingga 22,9 miliar. Laba per saham diperkirakan hanya USD 0,40 hingga 0,44—turun hampir 25% dari kuartal yang sama tahun lalu. Penurunan paling tajam terlihat pada pengiriman kendaraan, yang sudah diumumkan sebelumnya: turun 14%, mencatat penurunan kuartalan terbesar dalam sejarah Tesla.
Margin keuntungan—yang dulu menjadi ciri khas Tesla—terjun bebas ke bawah 17%, jauh dari masa kejayaannya selama pandemi. Penurunan ini dipicu oleh serangkaian pemotongan harga, berkurangnya insentif pajak kendaraan listrik, serta strategi diskon yang agresif di pasar utama seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Di Eropa, permintaan terus menurun. Di Jerman, misalnya, penjualan anjlok lebih dari 60%, dipengaruhi persepsi negatif akibat afiliasi politik Musk dengan kelompok sayap kanan. Di pasar Tiongkok, pangsa pasar Tesla terkikis cepat oleh para pesaing lokal seperti BYD, yang unggul dalam hal harga dan inovasi.
Narasi vs Realitas
Meski performa keuangan terus menurun, harga saham Tesla relatif stabil—turun sekitar 13% sejak awal tahun, namun masih bertahan berkat narasi masa depan: kendaraan otonom dan kecerdasan buatan (AI). Bulan lalu, Tesla memulai uji coba layanan robotaxi di Austin, Texas. Meskipun perjalanan awal mencatat beberapa insiden seperti mobil yang salah jalur di jalan satu arah, pesan utama yang ingin disampaikan jelas: Tesla bukan sekadar produsen mobil listrik, melainkan platform teknologi berbasis AI.
Menurut RBC Capital Markets, proyek robotaxi Tesla menyumbang sekitar 60% dari proyeksi valuasi jangka panjang perusahaan. Namun, semakin banyak pihak yang mempertanyakan narasi ini, apalagi setelah muncul kembali kasus kecelakaan fatal yang melibatkan fitur Full Self Driving (FSD) Tesla. Investigasi dari otoritas keselamatan jalan raya AS (NHTSA) menunjukkan ada ratusan kecelakaan dan setidaknya 51 kematian terkait teknologi self-driving Tesla sejak akhir 2024.
Musk dan Gangguan-gangguan Baru
Sementara Tesla menghadapi tantangan operasional, perhatian Musk malah tersedot ke ranah politik. Baru-baru ini, ia mengumumkan pembentukan partai politik baru bernama “America Party,” memicu konflik terbuka dengan Donald Trump dan kehilangan sekitar USD 80 miliar dari nilai pasar Tesla. Beberapa investor besar bahkan menuntut Musk mengalokasikan waktu kerja minimal 40 jam per minggu untuk Tesla.
Tanggapan Musk di media sosial X? “Shut up, Dan,” yang ditujukan kepada analis Wedbush, Dan Ives, yang menyarankan batasan pada aktivitas eksternal Musk.
Pertanyaan yang lebih besar pun muncul: siapa yang sebenarnya menjalankan Tesla? Rapat pemegang saham tahunan yang seharusnya diadakan pertengahan Juli molor hingga November—memberi ruang terbuka untuk tantangan hukum dan kekhawatiran soal tata kelola perusahaan.
Produk Murah yang Masih Misterius
Masalah utama Tesla tetap pada produk. Selain penurunan penjualan tahunan, pangsa pasar Tesla juga menurun di hampir semua wilayah utama. Mobil murah yang sudah lama dijanjikan—dikenal dengan julukan “Model 2”—masih sebatas wacana. Musk sempat menyebut bahwa kendaraan ini akan hadir pada akhir 2025, tapi hingga kini belum ada prototipe, desain resmi, atau rencana produksi yang jelas.
Para analis pun terbagi. UBS dan JPMorgan memberikan peringkat “Sell”, menyebut Tesla terlalu bergantung pada hype. Sementara Wedbush tetap optimistis, menyebut Tesla sebagai “perusahaan AI yang menyamar sebagai produsen mobil,” dengan target harga saham USD 500.
Namun ketegangan antara narasi dan kenyataan semakin nyata. Investor kini tidak hanya menunggu laporan keuangan, tetapi juga sinyal apakah Tesla masih punya arah yang jelas ke depan: Apakah armada robotaxi benar-benar siap atau masih sebatas eksperimen beta? Akankah mobil baru segera hadir di pasar? Dan seberapa besar perhatian Musk terhadap perusahaan yang dipimpinnya?
Laporan kuartalan Tesla kali ini bukan hanya sekadar ujian terhadap kinerja finansial—melainkan ujian terhadap narasi besar yang selama ini menopang valuasi perusahaan. Tesla kini seperti perusahaan dengan angka-angka yang melemah namun terus dijual sebagai mimpi besar berbasis teknologi. Namun, mimpi saja tak cukup jika kenyataan terus memburuk. Wall Street pun mulai gelisah—karena perusahaan senilai triliunan dolar tak bisa dikemudikan dalam mode autopilot selamanya.