kesehatan mental

Stigma Kesehatan Mental Masih Menghalangi Hak Cuti

(Business Lounge – Human Resources) Di tengah meningkatnya kesadaran global akan pentingnya kesehatan mental, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja yang mengalami gangguan psikologis tetap menghadapi hambatan besar, terutama dalam memperoleh hak atas cuti sakit atau tunjangan disabilitas. Meski secara hukum banyak negara telah mengakui gangguan mental sebagai kondisi medis yang sah, data menunjukkan bahwa pekerja dengan gangguan mental jauh lebih sering ditolak ketika mengajukan manfaat disabilitas dibanding mereka yang mengalami gangguan fisik.

Laporan terbaru yang dikutip oleh The Wall Street Journal dan Reuters mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat, klaim disabilitas karena kondisi seperti depresi, gangguan kecemasan, atau bipolar disorder lebih sering ditolak oleh perusahaan asuransi dibandingkan klaim untuk cedera tulang belakang atau penyakit kronis seperti kanker. Masalah ini tidak hanya menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem perlindungan sosial, tetapi juga memperlihatkan bahwa stigma terhadap kesehatan mental tetap mengakar, bahkan dalam kebijakan yang seharusnya netral.

Menurut data dari Social Security Administration (SSA), tingkat persetujuan awal untuk klaim disabilitas terkait gangguan mental sekitar 35%, sementara klaim untuk gangguan fisik seperti kanker mencapai hampir 65%. Perbedaan ini tidak mencerminkan tingkat keparahan kondisi, melainkan cerminan dari ketidakpastian medis dan prasangka institusional terhadap kondisi yang tidak kasat mata.

Stigma tersebut tampak dalam banyak bentuk. Beberapa dokter perusahaan atau penyedia asuransi masih menganggap bahwa gangguan mental lebih bersifat subjektif, sehingga lebih sulit diverifikasi. Pekerja yang mengalami burnout berat atau episode depresif mayor sering kali harus melalui proses administrasi panjang dan berulang untuk membuktikan bahwa mereka “sakit cukup parah” untuk tidak bekerja—sebuah beban tambahan yang memperparah kondisi psikologis mereka.

Dalam wawancara dengan CNBC, seorang analis dari Urban Institute menyebut bahwa “orang yang mengalami gangguan kesehatan mental sering kali harus menjadi pengacara bagi dirinya sendiri untuk membuktikan sesuatu yang bahkan tidak bisa mereka deskripsikan dengan jernih saat itu juga.” Banyak dari mereka yang akhirnya menyerah, kembali bekerja dalam kondisi tidak stabil, atau keluar dari dunia kerja sama sekali.

Perusahaan asuransi dan penyedia manfaat kerja berdalih bahwa mereka perlu verifikasi medis yang ketat untuk menghindari penyalahgunaan sistem. Namun ketika klaim untuk sakit punggung atau diabetes diproses jauh lebih cepat daripada klaim untuk PTSD atau serangan panik berat, sistem tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga memperkuat diskriminasi struktural terhadap kesehatan mental.

Kesenjangan ini juga berdampak besar pada produktivitas dan ketahanan tenaga kerja. Dalam survei oleh National Alliance on Mental Illness (NAMI), lebih dari 60% pekerja yang mengaku mengalami gangguan mental parah menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan cuti yang memadai, dan lebih dari separuh merasa tidak aman membicarakan kondisi mereka kepada atasan. Padahal, penelitian dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa intervensi dini dan cuti pemulihan yang tepat justru mengurangi biaya jangka panjang akibat absensi berulang dan turnover karyawan.

Di Indonesia, situasinya bahkan lebih rumit. Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial telah mencantumkan perlindungan untuk kondisi medis, pengakuan formal terhadap gangguan mental sebagai dasar cuti kerja atau klaim BPJS Ketenagakerjaan masih sangat terbatas. Banyak perusahaan tidak memasukkan kesehatan mental sebagai bagian dari “sakit layak cuti”, kecuali disertai surat keterangan dari psikiater rumah sakit, yang sering kali mahal dan sulit diakses.

Masalah lain adalah budaya kerja yang masih cenderung menyalahkan individu atas “kelemahan” psikologisnya. Pekerja yang mengajukan cuti karena stres berat sering dianggap tidak tahan tekanan, tidak kompeten, atau tidak profesional. Akibatnya, banyak yang memilih diam, memendam gejala, dan terus bekerja dalam kondisi yang memburuk.

Beberapa perusahaan multinasional di Indonesia mulai mengadopsi pendekatan berbeda. Mereka menyediakan program Employee Assistance Program (EAP), layanan konseling rahasia, dan cuti khusus untuk kesehatan mental. Namun langkah ini masih bersifat inisiatif, belum menjadi norma atau kewajiban. Tanpa regulasi yang tegas, kesenjangan perlakuan terhadap kesehatan mental dan fisik akan terus berlanjut.

Dunia kerja masa kini mengklaim ingin menjadi inklusif dan sehat secara holistik. Tapi kenyataannya, pekerja yang mengalami depresi, gangguan bipolar, atau trauma emosional masih harus membuktikan bahwa mereka sakit dalam sistem yang hanya memahami luka yang bisa dipindai atau diukur. Sementara itu, nyeri mental tetap diabaikan, meskipun lebih melumpuhkan daripada banyak kondisi fisik.

Untuk mengubah ini, dibutuhkan perubahan menyeluruh mulai dari edukasi HR, pelatihan bagi penyedia asuransi, hingga kebijakan pemerintah yang mengatur cuti pemulihan mental sebagai hak pekerja, bukan pilihan opsional. Di beberapa negara Eropa, seperti Swedia dan Belanda, diagnosis gangguan mental sudah dianggap setara dengan penyakit fisik dalam sistem disabilitas nasional. Hasilnya, lebih banyak pekerja kembali pulih dengan dukungan tepat, bukan terpaksa kembali bekerja karena sistem yang tidak percaya pada mereka.

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental telah meningkat. Tapi selama cuti karena gangguan mental masih dianggap sebagai hak yang harus “diperebutkan”, bukan hak yang melekat, maka stigma itu akan terus hidup dalam struktur birokrasi. Dan ironisnya, sistem yang seharusnya menyembuhkan justru bisa memperdalam luka.

Menghilangkan stigma bukan hanya soal empati, tapi juga soal keadilan administratif. Ketika pekerja yang mengalami depresi harus menjelaskan penderitaannya berulang kali agar bisa istirahat, sementara pekerja yang operasi lutut langsung mendapatkan tunjangan, maka sistem itu gagal memahami apa itu rasa sakit—dan bagaimana manusia pulih.