(Business Lounge – Global News) Pasar bioteknologi global tengah mengalami ketimpangan besar dalam pendanaan tahap menengah, khususnya di sektor terapi penyakit autoimun yang sering terabaikan oleh investor besar. Menjawab kekosongan inilah Vie Ventures lahir. Firma modal ventura baru yang dipimpin oleh dua veteran life sciences, Luke Evnin dan Dr. Steven St. Peter, ini berambisi mempercepat pengembangan terapi autoimun lewat pendekatan investasi yang terintegrasi dengan komunitas nonprofit. Menurut laporan The Wall Street Journal, Vie Ventures sedang dalam proses penggalangan dana awal sebesar 75 juta dolar AS, yang ditargetkan akan selesai pada akhir tahun ini. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai perusahaan-perusahaan bioteknologi yang berada di fase Series B dan C, yaitu tahap ketika riset ilmiah sudah terbukti tetapi pengembangan produk masih sangat membutuhkan sokongan modal dan strategi.
Vie Ventures mengambil posisi unik dalam ekosistem investasi biotek. Mereka tidak masuk pada tahap benih ketika risiko ilmiah sangat tinggi, juga tidak menunggu perusahaan siap IPO. Mereka hadir di tengah-tengah, ketika banyak perusahaan menjanjikan justru kesulitan mendapat dukungan lanjutan karena pasar modal publik sedang lesu dan dana-dana ventura besar lebih selektif. Dalam wawancaranya dengan The Wall Street Journal, St. Peter menyatakan bahwa banyak startup dengan teknologi yang valid secara ilmiah harus berhenti karena tidak memiliki cukup modal untuk melewati rintangan klinis dan regulasi. Menurutnya, pendekatan Vie bukan sekadar investasi, melainkan penyelamatan terhadap potensi yang hampir padam. Kebutuhan terhadap solusi seperti ini sangat mendesak, mengingat meningkatnya jumlah penderita autoimun global dan belum tersedianya terapi yang benar-benar efektif untuk sebagian besar kasus.
Yang membuat Vie Ventures menonjol dibanding firma lainnya adalah model kolaboratifnya dengan yayasan-yayasan nonprofit yang fokus pada penyakit autoimun. Di antara mitra awal mereka adalah Scleroderma Research Foundation dan National Multiple Sclerosis Society, dua lembaga yang telah lama bekerja langsung dengan pasien, peneliti, dan regulator dalam memperjuangkan terapi baru. Kolaborasi ini bukan hanya simbolis. Yayasan-yayasan ini akan berperan dalam identifikasi target terapi yang menjanjikan, memberi masukan ilmiah, dan membantu startup memahami dimensi praktis dan etis dari pengembangan obat untuk penyakit kompleks. Tim Coetzee, Chief Advocacy Officer dari Multiple Sclerosis Society, menyatakan bahwa pendekatan Vie memanfaatkan potensi biologis lintas penyakit autoimun—dari lupus hingga Crohn’s disease—karena banyak dari penyakit ini berbagi mekanisme imunologi yang sama. Dengan pendekatan seperti ini, startup tak perlu memulai dari nol untuk setiap penyakit, tetapi dapat menggunakan model lintas penyakit untuk mempercepat pengembangan dan pengujian.
Langkah Vie Ventures juga merupakan respons langsung terhadap kemunduran yang dialami sektor biotek dua tahun terakhir. Setelah mengalami ledakan IPO dan valuasi tinggi selama pandemi, banyak perusahaan biotek publik kini terpuruk. Investor publik menghindari risiko, sedangkan investor ventura tahap awal menjadi lebih konservatif. Akibatnya, perusahaan yang berada di tengah perjalanan riset—yang telah melewati fase eksplorasi tapi belum mencapai produk komersial—terjepit di antara dua kutub pendanaan. Vie Ventures mengisi kekosongan ini dengan modal, keahlian, dan jaringan kemitraan.
Luke Evnin, salah satu pendiri Vie Ventures yang sebelumnya mendirikan MPM Capital dan menjadi investor awal di sejumlah perusahaan farmasi besar, menyatakan bahwa mereka ingin menghindari jebakan “spray and pray” dalam investasi. Fokusnya adalah pada startup yang memiliki arah ilmiah yang jelas, diferensiasi terapi, dan ambisi untuk menjawab kebutuhan pasien yang belum terpenuhi. Mereka akan berinvestasi pada 10 hingga 15 perusahaan dalam portofolio pertama, dengan nilai tiket investasi awal antara 5 hingga 15 juta dolar AS, disesuaikan dengan tahapan klinis dan kebutuhan pengembangan masing-masing perusahaan. Selain itu, Vie Ventures juga akan menyediakan dukungan operasional melalui jaringan penasihat ilmiah dan mantan eksekutif farmasi yang siap membantu mengarahkan strategi perusahaan-perusahaan muda ini ke jalur sukses.
Model Vie Ventures tidak hanya menawarkan modal, tetapi juga konektivitas. Mereka memposisikan diri sebagai jembatan antara dunia riset akademik, komunitas pasien, lembaga regulator, dan pasar modal. Dalam pendekatan mereka, pengembangan obat tidak hanya dilihat sebagai pencapaian ilmiah, tetapi juga sebagai proses kolaboratif yang menyentuh realitas sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, Vie menghindari pendekatan satu arah, dan justru membangun ekosistem pendukung yang holistik bagi perusahaan portofolionya. Ini termasuk membantu mereka membangun relasi dengan rumah sakit, memperoleh masukan langsung dari pasien, dan menyusun strategi uji klinis yang lebih efisien.
Beberapa perusahaan biotek autoimun yang telah diawasi oleh tim Vie Ventures antara lain startup yang mengembangkan terapi berbasis sel T regulator untuk lupus sistemik, terapi modifikasi mikrobioma untuk penyakit Crohn, dan imunoterapi spesifik-antigen untuk multiple sclerosis progresif. Meski belum diungkap secara publik, sumber dari industri menyebut bahwa Vie tengah menjajaki investasi ke setidaknya tiga startup yang sebelumnya kesulitan mendapat pendanaan lanjutan karena dianggap “terlalu klinis” oleh investor ventura konvensional. Pendekatan berbasis nilai yang ditawarkan Vie membuka pintu untuk inovasi terapi yang lebih berdampak sosial dan ilmiah, bukan hanya yang menjanjikan return finansial jangka pendek.
Peluncuran Vie Ventures juga mencerminkan tren baru dalam dunia modal ventura, yakni kemunculan investor hibrida yang menggabungkan kepekaan sosial dan misi kemanusiaan dengan profesionalisme dan disiplin pasar modal. Dalam banyak hal, Vie bisa dianggap sebagai bagian dari gelombang “impact VC” yang bukan sekadar mengejar pengembalian investasi, tetapi juga hasil nyata dalam bentuk penyembuhan dan peningkatan kualitas hidup pasien. Dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap penyakit autoimun, terutama di kalangan perempuan dan generasi muda, kebutuhan akan terapi baru yang terjangkau dan efektif menjadi semakin mendesak. Vie Ventures tidak hanya melihat ini sebagai peluang pasar, tetapi sebagai panggilan profesi.
Jika berhasil, model yang diusung Vie bisa menjadi cetak biru baru untuk investasi bioteknologi di era pasca-pandemi. Di mana sebelumnya banyak dana mengalir ke solusi jangka pendek atau teknologi populer, kini perhatian mulai bergeser ke tantangan medis yang kronis, kompleks, dan sering kali tidak seksi di mata media—seperti autoimun. Vie membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, inovasi di bidang ini bukan hanya mungkin, tetapi bisa menjadi salah satu sektor paling transformatif dalam industri kesehatan.
Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, keberadaan firma seperti Vie dapat menjadi inspirasi penting. Keterbatasan dana riset dan kurangnya koneksi global sering menjadi kendala utama bagi startup biotek lokal. Jika pendekatan kolaboratif seperti Vie diterapkan di level nasional—misalnya dengan melibatkan BPJS, universitas, rumah sakit rujukan, dan yayasan pasien—maka pengembangan terapi untuk penyakit autoimun lokal seperti lupus atau rematik tropis bisa lebih cepat dan terstruktur. Dunia biotek Indonesia masih dalam tahap awal, tetapi potensi kolaborasi lintas sektor sangat besar.
Vie Ventures bukan sekadar dana baru. Ia adalah sinyal perubahan arah dalam pendanaan biotek: dari sekadar mencari potensi IPO ke mendukung dampak kesehatan nyata; dari mengejar tren ke membangun ketahanan ilmiah; dari hubungan transaksional ke kemitraan jangka panjang. Dalam dunia yang makin kompleks dan terfragmentasi, hanya model seperti inilah yang mampu menjawab tantangan medis abad ke-21 secara utuh dan berkelanjutan.