pekerja

Siap Bekerja 24/7? Selamat Datang!

(Business Lounge – Lead and Follow) Di tengah gelombang persaingan ketat dalam pasar tenaga kerja global, sejumlah perusahaan kini memilih untuk membuka kartu sejak awal proses rekrutmen batasan waktu kerja longgar, jam lembur intensif, dan ekspektasi tanpa jeda. Kebijakan “kejujuran brutal” ini mencerminkan perubahan sikap korporasi yang lebih memilih transparansi ekstrim demi menarik kandidat yang siap bertarung dalam kultur kerja tinggi tekanan.

Mengapa perusahaan berani memicu kontroversi dengan iklan lowongan yang secara terang-terangan menyebut “work-life balance overrated”? Menurut Bloomberg, fenomena ini muncul dari hasil survei internal yang menunjukkan bahwa karyawan yang rela bekerja jauh melampaui jam kantor—bahkan tanpa kompensasi formal—cenderung lebih produktif dalam jangka pendek dan menghasilkan inovasi lebih cepat. Sementara itu, The Wall Street Journal menyoroti bahwa era “hustle culture” telah mendarah daging pada generasi Milenial dan Z, yang memandang pekerjaan melewati batas konvensional sebagai bukti ambisi dan dedikasi.

Di San Francisco, sebuah perusahaan fintech papan atas memasang papan iklan digital bertuliskan “No days off. Ever. Apply if you dare.” Sumber internal yang diwawancarai oleh Reuters mengungkapkan bahwa manajemen sengaja menargetkan talenta yang siap mengorbankan waktu pribadi demi eksponensial pertumbuhan karier dan nilai perusahaan. Langkah ini, meski menuai kecaman dari serikat pekerja, justru diminati ribuan pelamar dalam hitungan minggu.

Tidak hanya di ranah teknologi, firma konsultasi manajemen global juga mulai mengadopsi strategi serupa. Sebuah kantor cabang di London mempublikasikan deskripsi pekerjaan yang menegaskan “harus siap on call 24/7” dan “libur hanya saat kita sudah puas dengan pencapaian mingguan”. Seorang konsultan junior yang diwawancarai oleh Financial Times mengaku sempat ragu, namun ia tergoda iming‑iming program mentorship eksklusif serta bonus berbasis saham yang menjanjikan puluhan ribu pound dalam lima tahun ke depan.

Pendorong utama tren ini ternyata bukan semata‑mata motivasi finansial. Harvard Business Review mencatat bahwa generasi terkini lebih menghargai storytelling perusahaan: kisah perjuangan, momen krusial di saat lembur tengah malam, dan foto tim yang merayakan keberhasilan besarnya. Mereka melihat kerja tanpa batas sebagai bagian dari identitas profesional yang siap berjuang demi tujuan ambisius. Kantor menjadi semacam “komunitas perjuangan” di mana camaraderie dibangun di atas malam panjang penuh copy‑paste kode, presentasi kilat, atau analisis data hingga dini hari.

Namun, ada konsekuensi serius di balik layar gemerlap iming‑iming bonus dan promosi cepat. Tingginya angka gangguan kesehatan mental, kelelahan kronis, hingga tingginya turnover karyawan menjadi alarm yang tak boleh diabaikan. Lembaga kesehatan kerja di Amerika Serikat mencatat kenaikan 25 persen kasus burn‑out dalam lima tahun terakhir, terutama di industri yang mempromosikan hustle culture. Pakar psikologi organisasi dari Stanford University berpendapat bahwa kerja berlebihan tanpa jeda istirahat yang memadai justru mengikis produktivitas dalam jangka panjang dan merusak iklim kolaborasi.

Di sisi regulasi, beberapa negara Eropa mulai menguji coba undang‑undang “right to disconnect” yang memberikan hak karyawan untuk sepenuhnya mematikan email dan panggilan kantor di luar jam kerja. Prancis, misalnya, sudah mewajibkan perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan untuk merundingkan kebijakan ini dalam perjanjian kerja bersama. Akankah “kejujuran brutal” sirna apabila tekanan hukum semakin kuat? Reuters memperkirakan bahwa korporasi besar akan merancang skema fleksibilitas jam kerja dengan iming‑iming kompensasi tambahan—sebagai upaya kompromi antara budaya kerja ekstra dan kesejahteraan karyawan.

Meski demikian, sejumlah start‑up nyeleneh memanfaatkan tren ini sebagai alat branding. Di Berlin, sebuah perusahaan rintisan game memasang lowongan dengan nada provokatif: “We promise you no work‑life balance—only endless adventure.” Setiap pelamar yang lolos seleksi akan ditempatkan di program onboarding intensif 12 minggu tanpa cuti akhir pekan, lengkap dengan fasilitas gym 24 jam dan bar kopi nonstop. Taktik ini terbukti efektif dalam membentuk tim yang solid dan berdedikasi tinggi, walau sempat menuai kecaman dari kalangan profesional senior.

Bagi perusahaan, strategi “brutal honesty” juga menghemat sumber daya rekrutmen. Dengan mengumbar ekspektasi ekstrim sejak awal, perusahaan menyingkirkan kandidat yang tidak cocok tanpa perlu tahap wawancara panjang. Proses become more efficient and cost‑effective—sebuah perkembangan yang diapresiasi oleh Chief Human Resources Officer di McKinsey & Company, yang menilai bahwa “no sugarcoating” dalam job description mempercepat matchmaking antara talenta dan budaya perusahaan.

Bagaimana dengan calon pekerja? Bagi sebagian generasi muda, tawaran seperti ini justru menjadi pembuktian mental toughness. Mereka memandangnya sebagai seleksi alam di dunia kerja: hanya yang paling tahan banting yang layak bertahan. Namun, tidak sedikit juga yang mengaku menyesal setelah beberapa bulan bergabung, saat bonus saham belum cair dan badan sudah letih. Seorang mantan analis data di New York, yang memilih anonim dalam laporan The New York Times, mengaku mengalami kecemasan akut akibat jam kerja yang tak bersahabat dan kesulitan mempertahankan hubungan sosial.

Dalam lanskap persaingan yang semakin ketat, peluang besar datang dengan risiko besar pula. Keputusan perusahaan untuk “berterus terang” tentang keadaan kerja sesungguhnya menghadirkan paradigma baru, seleksi melalui transparansi ekstrim. Para kandidat kini dihadapkan pada pertanyaan krusial—apakah mereka siap menukar waktu pribadi demi proyek ambisius dan paket remunerasi menarik? Ataukah mereka akan beralih ke perusahaan yang menjanjikan work‑life balance lebih manusiawi?

Perdebatan ini sejatinya mencerminkan evolusi harapan antara perusahaan dan karyawan. Di satu sisi, ada kebutuhan korporasi untuk memacu inovasi dengan tim yang didorong semangat kompetitif. Di sisi lain, manusia tetaplah manusia; produktivitas berkelanjutan memerlukan ruang untuk istirahat, refleksi, dan kehidupan di luar papan ketik. Seiring munculnya regulasi baru dan gerakan kesejahteraan kerja, strategi “kejujuran brutal” kemungkinan akan mengalami adaptasi—mengubah tone dari ancaman menjadi tawaran pilihan yang seimbang antara dedikasi dan kesejahteraan.

“Think Work‑Life Balance Is Overrated? You’re Hired!” bukan sekadar slogan provokatif, melainkan cermin kondisi pasar tenaga kerja saat ini. Bagi perusahaan, ini adalah eksperimen budaya yang menantang batas. Bagi pelamar, ini adalah ujian kesiapan mental dan prioritas hidup. Dan bagi seluruh ekosistem tenaga kerja, fenomena ini memaksa kita mempertanyakan kembali makna keseimbangan—apakah sekadar jargon, atau fondasi produktivitas yang sesungguhnya?

Di Indonesia, tren “kejujuran brutal” dalam proses rekrutmen belum sejelas di Amerika Serikat atau Eropa, namun gejalanya mulai terlihat—terutama di sektor startup teknologi, agensi kreatif, dan perusahaan konsultansi yang menargetkan talenta muda dengan semangat tinggi dan toleransi terhadap tekanan kerja yang besar.

Beberapa perusahaan rintisan di Jakarta, misalnya, mulai menyinggung ekspektasi jam kerja panjang secara tersirat dalam deskripsi lowongan. Alih-alih menyebut “lembur”, mereka menggunakan frasa seperti “komitmen tinggi terhadap hasil”, “berorientasi pada target dalam lingkungan dinamis”, atau “siap bekerja dalam ritme cepat”. Dalam praktiknya, ini sering berarti karyawan bekerja lebih dari 10 jam per hari, bahkan saat akhir pekan.

Menurut laporan DailySocial dan Tech in Asia Indonesia, budaya hustle mulai mengakar di ekosistem startup lokal, terutama yang sedang dalam fase pertumbuhan agresif dan mencari investor. CEO atau pendiri startup kerap menjadi role model yang memamerkan etos kerja ekstrem, seperti “tidak tidur demi deadline” atau “bekerja 18 jam sehari”, yang justru dianggap sebagai kebanggaan.

Namun, berbeda dengan di Barat yang kini mulai mengkritisi efek jangka panjang dari praktik seperti itu, di Indonesia narasi “kerja keras tanpa batas” masih sering diterima sebagai keharusan untuk sukses. Bahkan dalam beberapa lowongan kerja yang tersebar di LinkedIn atau portal seperti Kalibrr dan Glints, tidak jarang ditemukan permintaan seperti “fleksibel terhadap waktu kerja” atau “bersedia bekerja di luar jam kantor bila diperlukan”, tanpa kejelasan kompensasi lembur.

Pakar HR lokal seperti dalam ulasan oleh Swa dan Marketeers mengingatkan bahwa praktik semacam ini bisa mengundang risiko burnout dan turnover tinggi. Sementara itu, UU Ketenagakerjaan Indonesia memang menetapkan batas maksimal jam kerja—namun dalam praktiknya, kontrol dan penegakannya tidak selalu kuat, terutama di sektor non-manufaktur atau informal.

Generasi muda Indonesia sendiri tampak terbelah dalam menyikapi fenomena ini. Di satu sisi, banyak yang melihatnya sebagai batu loncatan karier dan sarana pembuktian diri, terutama mereka yang berorientasi pada startup dan ekspansi karier cepat. Di sisi lain, mulai muncul gerakan kecil yang mempromosikan work-life balance, wellness, dan pentingnya kesehatan mental di dunia kerja, terutama di komunitas HR dan psikologi industri.

Dengan tekanan global untuk meningkatkan kesejahteraan kerja dan adanya ekspektasi generasi Z yang lebih vokal tentang batasan pribadi, bisa jadi Indonesia akan mengalami pergeseran paradigma dalam satu dekade ke depan. Namun untuk saat ini, “kerja keras tanpa batas” masih menjadi norma terselubung yang diterima banyak kalangan—meski belum selalu dinyatakan secara eksplisit seperti tren kejujuran brutal di luar negeri.