(Business Lounge – Global News) Maskapai penerbangan Hawaiian Airlines tengah menghadapi insiden siber yang mengganggu sebagian sistem teknologinya, namun penerbangan tetap beroperasi normal menurut otoritas penerbangan. Insiden ini menyoroti kembali kerentanan sistem digital di industri aviasi yang sangat bergantung pada jaringan dan perangkat lunak dalam mengelola operasional harian.
Menurut laporan yang dirilis oleh The Wall Street Journal dan pernyataan resmi dari perusahaan, serangan siber tersebut tidak memengaruhi keselamatan penerbangan maupun sistem kendali utama. Pihak Federal Aviation Administration (FAA) menegaskan bahwa tidak ada dampak terhadap keselamatan penerbangan dan seluruh rute domestik maupun internasional Hawaiian Airlines tetap beroperasi seperti biasa.
Namun gangguan ini cukup mengganggu proses operasional pendukung seperti sistem pemesanan, pengelolaan bagasi, hingga layanan pelanggan. Para penumpang sempat mengalami keterlambatan kecil dalam proses check-in dan boarding, terutama untuk penerbangan yang berangkat dari bandara utama Honolulu. Pihak Hawaiian Airlines menyampaikan bahwa mereka telah menerapkan langkah-langkah mitigasi darurat dan sedang bekerja sama dengan konsultan keamanan siber independen untuk menilai skala dan asal mula insiden ini.
Gangguan siber ini terjadi di tengah meningkatnya frekuensi serangan digital terhadap industri transportasi dan logistik global. Menurut laporan dari IBM X-Force Threat Intelligence Index 2024, sektor transportasi termasuk dalam lima besar industri yang paling banyak menjadi sasaran serangan ransomware dan intrusi sistem pada dua tahun terakhir. Serangan tidak selalu bertujuan untuk merusak sistem penerbangan utama, namun menyasar titik lemah seperti sistem keuangan, layanan pelanggan, atau komunikasi internal.
Beberapa pakar keamanan menilai insiden yang menimpa Hawaiian Airlines sebagai peringatan bahwa sistem pendukung maskapai tidak boleh diabaikan. “Kalau sistem check-in digital atau aplikasi pelanggan lumpuh, itu sudah cukup untuk menciptakan ketidakpercayaan dan gangguan operasional,” kata seorang analis dari Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA) yang tidak disebutkan namanya oleh media Bloomberg.
Dalam kasus Hawaiian Airlines, maskapai ini merupakan pemain penting dalam penerbangan wilayah Pasifik dan domestik Amerika Serikat. Dengan armada lebih dari 60 pesawat dan jaringan yang menghubungkan Hawaii dengan Amerika Utara, Asia, dan kepulauan lain di Pasifik, gangguan terhadap sistem maskapai ini dapat memiliki dampak logistik lebih luas jika tidak tertangani dengan cepat. Namun hingga artikel ini ditulis, belum ada pembatalan penerbangan besar-besaran maupun laporan kebocoran data penumpang.
Pihak maskapai belum mengumumkan secara rinci sumber atau jenis serangan siber yang terjadi. Meski demikian, beberapa pengamat mengaitkan insiden ini dengan meningkatnya aktivitas kelompok kriminal siber yang menggunakan taktik phishing dan ransomware untuk mengeksploitasi jaringan perusahaan besar. Sejumlah analis menyarankan maskapai untuk memperkuat sistem keamanan berlapis, termasuk enkripsi data tingkat lanjut, firewall yang diperbarui secara berkala, dan pelatihan intensif bagi karyawan untuk menghindari serangan berbasis rekayasa sosial.
Dalam pernyataannya, juru bicara Hawaiian Airlines mengatakan bahwa penyelidikan masih berlangsung dan semua data pelanggan sejauh ini dinyatakan aman. “Kami memprioritaskan keamanan informasi penumpang dan stabilitas layanan kami. Tim internal serta pihak ketiga saat ini sedang bekerja penuh untuk memastikan layanan kembali sepenuhnya normal secepat mungkin,” ujarnya.
Meskipun insiden ini belum menyebabkan gangguan besar dalam jadwal penerbangan, kehadiran ancaman digital terhadap maskapai penerbangan bukanlah hal baru. Dalam dekade terakhir, sejumlah maskapai besar di Eropa dan Asia pernah menjadi korban serangan siber, mulai dari pencurian data hingga penguncian sistem check-in secara massal. Serangan terhadap maskapai British Airways pada 2018 dan Air India pada 2021 menunjukkan bahwa bahkan sistem keamanan dari perusahaan maskapai besar sekalipun belum sepenuhnya tahan terhadap ancaman ini.
Hawaiian Airlines sendiri dikenal sebagai maskapai yang cukup konservatif dalam pendekatan teknologinya. Namun seiring dengan transformasi digital yang semakin cepat, terutama sejak pandemi COVID-19, maskapai ini telah berinvestasi besar dalam otomatisasi, aplikasi pemesanan daring, dan integrasi sistem digital dengan pihak ketiga. Paradoksnya, modernisasi ini juga membuat mereka lebih terbuka terhadap celah keamanan baru.
Ke depan, tekanan terhadap maskapai untuk menyeimbangkan inovasi digital dan keamanan sistem akan semakin besar. Regulasi di bidang keamanan siber untuk sektor penerbangan kemungkinan akan diperketat, seiring dengan meningkatnya kesadaran pemerintah terhadap potensi gangguan sistemik yang dapat muncul dari serangan digital terhadap infrastruktur transportasi.
Meski insiden ini mungkin berskala terbatas, kasus Hawaiian Airlines menjadi pengingat bahwa industri penerbangan tidak hanya harus menjaga keselamatan di udara, tetapi juga pertahanan digital mereka di darat. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, ancaman bisa datang bukan hanya dari kerusakan teknis atau cuaca ekstrem, tetapi juga dari serangan yang tak kasatmata di ruang siber.