Big Tech

Minat Terhadap Big Tech Merosot

(Business Lounge – Technology) Setelah menguat tajam sepanjang awal tahun, saham-saham teknologi raksasa kini mulai kehilangan daya tarik di mata investor ritel. Kelompok perusahaan yang dikenal sebagai Magnificent Seven—Amazon, Apple, Alphabet, Meta, Microsoft, Nvidia, dan Tesla—mengalami penurunan minat dari investor individu yang semakin waspada terhadap valuasi tinggi dan potensi koreksi mendadak. Sebagai gantinya, banyak dari mereka mulai memindahkan dana ke sektor defensif seperti consumer staples, layanan utilitas, dan saham internasional yang dinilai lebih stabil serta memiliki valuasi yang lebih masuk akal.

Fenomena ini mencerminkan perubahan strategi signifikan dari para investor non-institusional. Jika sebelumnya strategi “buy the dip” dan mengejar saham teknologi menjadi norma selama era suku bunga rendah, kini investor lebih berhati-hati terhadap sinyal pasar yang menunjukkan bahwa harga saham beberapa perusahaan teknologi besar telah melampaui nilai wajarnya. Menurut data dari Vanda Research, aliran dana investor ritel ke saham-saham teknologi besar telah menurun secara konsisten sejak akhir Mei, bersamaan dengan lonjakan dana yang mengalir ke ETF berbasis nilai dan sektor internasional.

Faktor utama yang memicu pergeseran ini adalah kekhawatiran akan valuasi yang terlalu tinggi. Nvidia, misalnya, telah melonjak lebih dari 140% sejak awal tahun hingga pertengahan Juni. Saham Apple, Microsoft, dan Tesla juga mencetak rekor baru, namun di tengah euforia itu muncul ketidakpastian: berapa lama lagi saham-saham ini bisa naik sebelum investor mulai mengambil untung secara besar-besaran? Tidak sedikit yang merasa reli telah terlalu jauh.

Patricia Andrews, seorang investor ritel dari California, mengatakan kepada The Wall Street Journal bahwa dia telah mengurangi eksposur pada saham teknologi dan mulai mengalihkan dananya ke ETF pasar internasional. Alasannya sederhana: “saya merasa valuasi perusahaan seperti Nvidia dan Meta sudah terlalu mahal untuk dikejar saat ini.” Tom Griffin, investor ritel lain dari Texas, juga menyebut dirinya telah menjual sebagian besar kepemilikannya di Tesla dan beralih ke saham-saham blue chip seperti UnitedHealth dan Wells Fargo. Menurutnya, risiko resesi dan ketidakpastian geopolitik lebih baik dihadapi dengan aset yang lebih defensif.

Dari sisi data makro, pergerakan ini turut didorong oleh indikasi pelemahan daya beli konsumen AS dan ketidakpastian kebijakan moneter The Fed. Meskipun inflasi telah melambat, investor belum melihat sinyal kuat bahwa suku bunga akan turun secara agresif dalam waktu dekat. Hal ini menyebabkan ketidakpastian pada saham-saham growth yang sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga. Laporan Barron’s bahkan mencatat bahwa ETF consumer staples seperti XLP mulai mencetak performa lebih baik dibanding S&P 500 dalam periode tiga bulan terakhir, sebuah tanda bahwa pasar tengah mencari tempat berlindung dari potensi koreksi.

Tren serupa juga terlihat pada arus modal internasional. Menurut laporan dari The Times, banyak investor institusi global kini mulai meninggalkan ekuitas AS dan dolar sebagai aset utama mereka. Mereka mengalihkan dana ke pasar Eropa dan emerging markets seperti India, Meksiko, dan Indonesia yang dianggap memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi dengan valuasi yang lebih bersahabat. Ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif baru yang belum jelas dari pemerintahan AS juga memperkuat alasan untuk menjelajahi portofolio luar negeri.

Namun ini bukan berarti investor benar-benar meninggalkan sektor teknologi. Yang terjadi adalah seleksi yang lebih ketat. Saham seperti Microsoft dan Broadcom masih mendapat aliran dana stabil karena dianggap sebagai perusahaan teknologi mapan dengan fundamental kuat. Sementara itu, saham-saham yang terlalu bergantung pada narasi masa depan seperti Tesla atau startup AI dengan valuasi tinggi mulai ditinggalkan. Beberapa investor juga mengalihkan perhatian ke saham teknologi menengah yang belum terlalu naik, tetapi memiliki eksposur ke AI, seperti Palantir dan Oracle.

Data dari Morningstar mencatat bahwa ETF saham internasional seperti VXUS dan IEMG mencatat arus masuk terbesar selama dua bulan terakhir. Sementara itu, ETF seperti VOO yang terdiversifikasi secara luas mulai kehilangan momentum karena terlalu terpapar saham-saham big tech. Di saat bersamaan, ETF value seperti VTV mulai mencatat kinerja yang lebih konsisten karena mengandung saham dari sektor perbankan, energi, dan konsumen.

Pergeseran ini juga memberi tekanan pada hedge fund dan manajer investasi besar. Menurut laporan Reuters, banyak dari mereka memangkas posisi di sektor discretionary dan growth, dan meningkatkan eksposur ke sektor utilitas dan healthcare. Goldman Sachs dalam analisis terbarunya menyebut tren ini sebagai “rotasi defensif alami” akibat ketidakpastian terhadap arah pasar. Dalam konteks historis, rotasi seperti ini biasa terjadi menjelang resesi atau koreksi besar, ketika investor mulai menahan diri dari aset-aset berisiko tinggi.

Penting untuk dicatat bahwa investor ritel bukan lagi segmen pasif. Dalam era pasca-pandemi, mereka memainkan peran signifikan dalam menggerakkan arus modal, bahkan mampu menandingi volume perdagangan institusi dalam periode tertentu. Namun, mereka juga semakin belajar dari volatilitas masa lalu. Jika pada 2021 banyak dari mereka ikut FOMO dalam saham meme dan spekulatif, kini mereka terlihat lebih konservatif dan pragmatis, menunjukkan pemahaman yang lebih dalam terhadap risiko pasar.

Beberapa analis memperkirakan bahwa rotasi ini bisa berlangsung hingga akhir tahun, terutama jika The Fed tidak memberikan sinyal pelonggaran yang jelas. Selama inflasi masih bertahan di atas target 2% dan ketidakpastian geopolitik meningkat, sektor teknologi akan tetap mengalami tekanan karena ekspektasi pertumbuhan yang sangat tinggi tak lagi cukup untuk menopang valuasi ekstrem. Dalam skenario seperti ini, saham-saham dengan dividen stabil, valuasi rendah, dan fundamental kuat bisa menjadi favorit baru pasar.

Akan tetapi, pasar juga memiliki kecenderungan untuk berubah cepat. Jika laporan pendapatan kuartal berikutnya menunjukkan pertumbuhan solid dari perusahaan teknologi dan ada kejutan dovish dari The Fed, investor bisa saja kembali berbondong-bondong ke saham-saham teknologi. Oleh karena itu, meskipun saat ini terlihat tren penurunan minat, sektor ini tidak serta-merta keluar dari radar investor.

Yang sedang terjadi bukanlah penarikan besar-besaran, melainkan penyusunan ulang portofolio secara cerdas. Investor kini menempatkan sebagian modal pada sektor yang lebih konservatif, sebagian lagi pada pasar internasional, dan sisanya tetap pada teknologi pilihan. Ini adalah bentuk strategi distribusi risiko yang dirancang untuk bertahan menghadapi ketidakpastian global. Bukan penolakan terhadap teknologi, melainkan langkah antisipatif terhadap volatilitas yang lebih besar.

Dalam konteks jangka panjang, banyak analis tetap percaya bahwa teknologi adalah fondasi pertumbuhan masa depan. Namun pada jangka pendek hingga menengah, strategi investor ritel kini lebih beragam dan realistis. Mereka mencari keseimbangan antara potensi pertumbuhan dan perlindungan nilai. Sebuah pergeseran yang menandakan kedewasaan pasar, di mana euforia mulai digantikan oleh perhitungan yang lebih cermat.