Adobe

Adobe dan Transformasi AI di Tengah Keraguan Investor

(Business Lounge – Technology) Adobe tengah berada di titik krusial dalam perjalanannya menghadapi revolusi kecerdasan buatan yang kian mendominasi industri teknologi. Dengan portofolio produk yang sangat bergantung pada kreativitas digital, perusahaan ini berupaya menanamkan AI generatif ke dalam berbagai layanan inti, mulai dari Creative Cloud hingga Document Cloud. Meski demikian, respons pasar sejauh ini masih penuh keraguan. Harga saham Adobe telah merosot sekitar 7% sejak awal tahun, bahkan setelah mereka mencatatkan kinerja kuartalan yang melampaui ekspektasi dan meningkatkan proyeksi pendapatan tahunannya.

Dalam laporan keuangan kuartal kedua tahun fiskal 2025, Adobe membukukan pendapatan sebesar 5,87 miliar dolar AS dan laba per saham sebesar 5,06 dolar, melampaui prediksi konsensus analis. Manajemen juga menaikkan panduan pendapatan tahunan menjadi antara 23,5 hingga 23,6 miliar dolar AS, dengan laba per saham di kisaran 20,50 hingga 20,70 dolar. Pertumbuhan ini banyak didorong oleh peningkatan adopsi teknologi AI dalam ekosistem produk Adobe. Fitur-fitur berbasis AI seperti Firefly, yang memungkinkan pembuatan konten visual dari teks, serta Acrobat AI Assistant untuk dokumen PDF, menjadi motor penggerak baru di tengah stagnasi pasar perangkat lunak kreatif konvensional.

Namun di sisi investor, antusiasme terhadap terobosan AI ini masih dibayangi kekhawatiran tentang monetisasi. Sejumlah analis mencatat bahwa kontribusi pendapatan langsung dari fitur AI Adobe hingga kini masih tergolong kecil—diperkirakan baru sekitar 1 hingga 5 persen dari total pendapatan. Bahkan beberapa investor mempertanyakan keputusan Adobe untuk berhenti mengungkap rincian metrik net new ARR (Annual Recurring Revenue) per segmen, yang sebelumnya digunakan untuk mengukur pertumbuhan layanan secara lebih transparan. Ini memunculkan spekulasi bahwa performa beberapa lini produk mungkin tidak sekuat yang diklaim perusahaan.

Strategi Adobe dalam merespons tantangan ini cukup agresif. Mereka mulai menerapkan harga baru untuk paket Creative Cloud yang telah ditambahkan fitur AI, serta menyiapkan paket berlangganan terpisah untuk kemampuan Firefly dan Acrobat AI. Tak hanya menyasar pengguna individu, Adobe juga meluncurkan Experience Platform Agent Orchestrator yang dirancang untuk klien enterprise yang ingin membangun agen AI mereka sendiri. Adobe juga mempererat kemitraan strategis dengan Amazon Web Services dan Microsoft untuk mendukung skalabilitas dan kapabilitas cloud dari fitur AI mereka, demi menjangkau basis pelanggan yang lebih luas secara global.

Di luar internal perusahaan, persaingan eksternal semakin menekan. Kehadiran pemain seperti Canva yang menawarkan AI desain berbasis web dengan antarmuka lebih sederhana dan harga lebih terjangkau, menjadi ancaman nyata bagi dominasi Adobe di kalangan kreator konten dan UMKM. Begitu pula Figma—yang hampir diakuisisi Adobe sebelum kesepakatan dibatalkan karena tekanan regulator antitrust—terus memperluas fungsionalitas desain kolaboratifnya dengan elemen AI yang kian canggih. Di sektor dokumen digital, pemain seperti DocuSign dan Microsoft pun menambahkan fitur AI ke dalam layanan mereka, yang bisa menggerus pangsa pasar Acrobat dan Document Cloud.

Meski demikian, ada alasan untuk tetap optimis. CEO Shantanu Narayen menyatakan bahwa ambisi Adobe adalah agar 100% pendapatannya terdampak oleh AI dalam beberapa tahun ke depan. Pencapaian awal menunjukkan arah yang menjanjikan. Adobe mengklaim bahwa lebih dari 90% pelanggan enterprise mereka telah mulai menggunakan setidaknya satu fitur AI generatif dalam workflow sehari-hari. Di sisi lain, lebih dari 3,5 miliar dolar dalam pendapatan tahunan berulang pada 2024 disebut berasal dari penggunaan alat-alat AI, baik melalui Creative Cloud maupun Document Cloud. Jika tren ini berlanjut, maka dalam 3 hingga 5 tahun mendatang, posisi Adobe sebagai pemimpin AI dalam industri kreatif bisa semakin kokoh.

Tantangan selanjutnya bagi Adobe adalah bagaimana mengubah daya tarik fitur AI menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan dan terukur. Untuk itu, mereka tak hanya mengandalkan inovasi teknologi, tetapi juga memperbaiki struktur harga, meningkatkan edukasi pelanggan, dan memperluas penetrasi ke sektor-sektor baru. Salah satu area yang mulai digarap adalah pendidikan dan pelatihan, di mana Adobe menawarkan solusi kreatif berbasis AI untuk institusi pendidikan tinggi dan lembaga pelatihan vokasi. Ini diharapkan tidak hanya memperluas pasar, tetapi juga membangun loyalitas pelanggan sejak usia muda.

Ketika banyak perusahaan teknologi mencoba menunjukkan kapabilitas AI mereka dalam bentuk model-model besar dan chatbot publik, Adobe memilih pendekatan yang lebih praktis: menyematkan AI ke dalam workflow harian pengguna tanpa mengubah cara kerja secara radikal. Ini adalah keunggulan kompetitif tersendiri, karena menciptakan pengalaman transisi yang mulus dari tools lama ke kemampuan baru. Namun efektivitas strategi ini tetap harus dibuktikan dalam bentuk pertumbuhan yang konsisten dan margin yang tetap sehat. Sebab pada akhirnya, pasar akan menilai bukan dari banyaknya fitur baru, tetapi dari sejauh mana fitur-fitur itu bisa meningkatkan produktivitas, memperluas pasar, dan mendatangkan nilai tambah yang konkret bagi pengguna.

Dalam waktu dekat, Adobe kemungkinan akan terus menghadapi tekanan pasar dan pertanyaan dari investor soal monetisasi AI. Namun jika manajemen berhasil membuktikan bahwa pivot AI mereka bukan hanya langkah kosmetik, melainkan transformasi nyata yang membawa dampak finansial yang terukur, maka pasar akan kembali memberikan kepercayaan. Masa depan Adobe tidak hanya bergantung pada inovasi teknologinya, tetapi juga pada kemampuan mereka menjelaskan, menjual, dan menyebarkan nilai dari teknologi itu kepada pelanggan secara luas.