Lululemon

Lululemon Anjlok Setelah Peringatan Dampak Tarif

(Business Lounge- Global News) Saham Lululemon, perusahaan pakaian olahraga asal Kanada yang telah menjadi ikon gaya hidup sehat di Amerika Utara dan Asia, anjlok hampir 20 persen dalam satu hari perdagangan setelah manajemen mengeluarkan peringatan bahwa tekanan tarif impor dan pelemahan belanja konsumen akan menekan margin laba mereka. Menurut laporan The Wall Street Journal, revisi laba tahunan yang dilakukan Lululemon menandai salah satu perubahan panduan paling tajam dari perusahaan besar dalam sektor ritel pakaian dalam beberapa kuartal terakhir.

Penurunan saham ini mencerminkan sentimen negatif investor terhadap dampak langsung dari meningkatnya tensi dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara pemasok utama tekstil seperti Tiongkok dan Vietnam. Lululemon, seperti banyak perusahaan ritel global lainnya, sangat bergantung pada rantai pasok lintas negara untuk memenuhi permintaan produk-produk teknikal mereka, terutama untuk kategori celana yoga, atasan berbahan cepat kering, dan pakaian olahraga ringan lainnya.

Dalam laporan keuangan yang disampaikan ke publik, seperti dikutip oleh Bloomberg, manajemen menyatakan bahwa biaya tambahan akibat tarif impor baru akan berdampak pada biaya pokok penjualan selama dua kuartal ke depan. Perusahaan juga menyebutkan bahwa strategi mitigasi seperti memindahkan sebagian produksi ke negara-negara dengan tarif lebih rendah belum berjalan cukup cepat untuk menyeimbangkan beban biaya tambahan tersebut.

Masalah tarif ini diperparah oleh tren konsumsi domestik yang mulai melambat. Reuters menyoroti bahwa permintaan dari kalangan konsumen kelas menengah di Amerika Serikat mulai terkikis akibat inflasi harga kebutuhan pokok dan suku bunga pinjaman konsumen yang tinggi. Meskipun Lululemon masih mencatatkan pertumbuhan penjualan di beberapa pasar internasional seperti Korea Selatan dan Australia, pertumbuhan di pasar domestik—yang menyumbang hampir 70 persen pendapatan—mulai stagnan.

Menurut laporan CNBC, analis dari bank investasi Piper Sandler menurunkan rating saham Lululemon dari “overweight” menjadi “neutral” setelah perusahaan merevisi proyeksi laba tahunannya. Para analis menyatakan bahwa perusahaan memiliki eksposur yang terlalu besar terhadap risiko eksternal yang tidak bisa dikontrol secara cepat, seperti tarif impor dan perlambatan pengeluaran konsumen akibat tekanan ekonomi makro.

Dalam konteks ini, investor semakin khawatir bahwa Lululemon, meskipun dikenal sebagai brand premium dengan basis pelanggan setia, tidak sepenuhnya kebal terhadap guncangan eksternal. Bahkan strategi ekspansi internasional yang agresif selama dua tahun terakhir—yang mencakup pembukaan toko baru di Jepang, Thailand, dan pasar Timur Tengah—belum sepenuhnya mampu menyeimbangkan kelemahan yang mulai tampak di pasar Amerika Utara.

Mengutip Financial Times, Chief Financial Officer Meghan Frank mengatakan bahwa perusahaan sedang melakukan evaluasi ulang terhadap seluruh struktur biaya dan pasokan mereka. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah meningkatkan proporsi produksi dari pasar Asia Selatan, seperti Bangladesh dan India, untuk menghindari beban tarif dari China. Namun, transisi tersebut diperkirakan memakan waktu minimal 12 hingga 18 bulan.

Sementara itu, investor institusional seperti Vanguard dan BlackRock, yang memiliki porsi signifikan dalam saham Lululemon, mulai menekan manajemen untuk menyampaikan strategi yang lebih jelas dalam menghadapi situasi ini. Dalam wawancara dengan Yahoo Finance, analis dari Morningstar menyatakan bahwa investor ingin melihat lebih dari sekadar penyesuaian rantai pasok—mereka menuntut efisiensi operasional dan penguatan margin yang konkret dalam jangka pendek.

Masalah Lululemon ini juga terjadi di tengah lanskap industri pakaian olahraga yang semakin kompetitif. Nike dan Adidas, dua raksasa apparel global, juga menghadapi tekanan dari biaya yang meningkat dan permintaan yang melambat. Namun, keduanya memiliki portofolio produk dan geografis yang lebih luas sehingga dampaknya tidak terlalu tajam seperti yang dialami Lululemon. Bahkan beberapa brand baru seperti Vuori dan Alo Yoga mulai menarik minat konsumen muda dengan penawaran yang lebih segar dan harga lebih kompetitif.

Dalam sesi tanya jawab dengan analis, CEO Calvin McDonald tetap optimis bahwa perusahaan memiliki fondasi kuat untuk bertahan dan tumbuh kembali. Dikutip dari Barron’s, McDonald mengatakan bahwa loyalitas pelanggan dan kekuatan brand masih menjadi aset utama perusahaan. Ia juga menekankan pentingnya investasi berkelanjutan dalam teknologi e-commerce, personalisasi pengalaman pelanggan, serta kolaborasi kreatif dengan atlet dan influencer global.

Meski begitu, tidak semua pihak meyakini bahwa Lululemon akan segera bangkit. Menurut MarketWatch, beberapa investor hedge fund telah memangkas posisi mereka dalam saham LULU dalam beberapa pekan terakhir, mencerminkan kekhawatiran bahwa tekanan eksternal seperti tarif bisa berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.

Satu titik terang adalah divisi menswear dan alas kaki yang menunjukkan pertumbuhan yang relatif solid, meski kontribusinya terhadap total pendapatan masih kecil. The Wall Street Journal mencatat bahwa lini produk pria dari Lululemon kini mulai mendapat tempat di pasar Asia dan Eropa, dengan pertumbuhan dua digit dalam dua kuartal terakhir. Namun belum jelas apakah pertumbuhan tersebut dapat mengimbangi penurunan dari lini pakaian wanita yang menjadi tulang punggung bisnis mereka.

Lebih jauh lagi, pertanyaan besar muncul seputar kemampuan Lululemon mempertahankan harga premium di tengah gelombang konsumen yang mulai kembali menimbang harga dibanding loyalitas merek. Dalam laporan Bloomberg Intelligence, analis mencatat bahwa pergeseran gaya hidup pasca-pandemi, di mana banyak pekerja kembali ke kantor dan mengurangi belanja pakaian leisure, menekan kategori yang selama ini menjadi kekuatan utama Lululemon.

Dengan latar belakang ini, saham Lululemon mencerminkan bukan hanya tekanan mikro pada kinerja perusahaan, tapi juga dinamika makro global yang belum sepenuhnya kondusif. Kenaikan tarif impor, ketidakpastian arah kebijakan perdagangan internasional, tekanan inflasi domestik, serta persaingan yang semakin sengit menjadi empat faktor yang membentuk masa depan brand ini dalam jangka menengah.

Jika dalam beberapa kuartal ke depan Lululemon tidak berhasil menyampaikan hasil nyata dalam efisiensi operasional, ekspansi yang terukur, dan pengendalian biaya, bukan tidak mungkin saham mereka akan terus mengalami tekanan. Seperti yang dikutip oleh CNBC, investor semakin berhati-hati dan selektif terhadap perusahaan-perusahaan ritel yang mengandalkan narasi pertumbuhan namun belum membuktikan kekuatan margin yang tahan banting dalam menghadapi badai ekonomi global.