(Business Lounge – Health) Gelombang inovasi medis tengah terjadi dalam dunia diagnostik, dengan serangkaian tes darah terbaru yang menjanjikan kemampuan mendeteksi penyakit-penyakit mematikan seperti Alzheimer dan kanker lebih awal dari sebelumnya. Revolusi ini tak hanya menjadi terobosan teknologi, tetapi juga menggeser paradigma layanan kesehatan dari pendekatan reaktif menjadi prediktif. Dengan kata lain, dari pengobatan setelah penyakit muncul menjadi pencegahan sebelum gejala berkembang.
Dalam sebuah langkah bersejarah, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat baru saja menyetujui tes darah pertama untuk membantu diagnosis penyakit Alzheimer. Seperti dilaporkan oleh NPR, tes bernama Lumipulse G pTau217/ß-Amyloid 1-42 Plasma Ratio itu memanfaatkan biomarker utama dari Alzheimer—yakni akumulasi protein beta-amyloid dan tau—untuk mengukur kemungkinan seseorang mengidap penyakit tersebut. Penggunaan tes ini dirancang bagi mereka yang berusia 55 tahun ke atas dan menunjukkan gejala awal gangguan kognitif, namun belum menjalani prosedur invasif seperti PET scan atau pungsi lumbal yang selama ini menjadi standar diagnosis.
Tes tersebut merupakan hasil dari dorongan ilmiah selama bertahun-tahun yang mengupayakan metode diagnosis Alzheimer yang lebih cepat, mudah, dan terjangkau. Menurut laporan dari Medical News Today, tes ini mampu mendeteksi keberadaan Alzheimer dengan tingkat sensitivitas 92% dan spesifisitas 96%, dua angka yang sangat tinggi untuk ukuran tes diagnostik. Pengesahan FDA terhadap tes darah ini merupakan titik balik dalam penanganan penyakit neurodegeneratif, yang biasanya baru terdeteksi ketika sudah berada pada stadium lanjut dan sulit diobati.
Namun Alzheimer bukan satu-satunya penyakit yang kini bisa diintai dari darah. Dunia medis menyambut optimisme yang sama terhadap kemampuan deteksi kanker melalui metode serupa. Para peneliti dari Oregon Health & Science University baru-baru ini mengembangkan tes darah bernama PAC-MANN yang dirancang untuk mendeteksi kanker pankreas pada tahap sangat awal. Seperti diungkap dalam laporan People Magazine, tes ini mengukur aktivitas enzim protease dalam darah, yang secara biologis berkaitan dengan pertumbuhan sel kanker. Hebatnya, tes ini membutuhkan hanya 45 menit, dapat dilakukan dari sampel darah biasa, dan secara teoritis hanya memakan biaya kurang dari satu sen per sampel.
Efektivitas tes ini mencapai akurasi 85% dalam mendeteksi kanker pankreas stadium awal—jenis kanker yang dikenal sangat mematikan karena sering kali baru ditemukan ketika sudah terlambat untuk diobati. Bahkan dalam simulasi uji coba, tes ini dapat membedakan pasien dengan kanker pankreas dari mereka yang sehat maupun yang memiliki gangguan pankreas jinak. New York Post mencatat bahwa keberhasilan ini menjadi harapan baru dalam upaya menyelamatkan nyawa pasien dengan risiko kanker laten.
Sementara teknologi berbasis biokimia dan biomarker mendominasi laboratorium, beberapa pendekatan lebih unik justru datang dari kolaborasi antara biologi hewan dan kecerdasan buatan. Salah satunya berasal dari startup asal Israel, SpotItEarly, yang mengembangkan tes rumah berbasis napas untuk mendeteksi kanker. Tes ini melibatkan anjing-anjing terlatih yang mampu mengendus senyawa volatil tertentu dari napas manusia—senyawa yang kerap muncul ketika tubuh mengalami proses metabolik abnormal seperti kanker.
Seperti dijelaskan dalam laporan New York Post, anjing-anjing tersebut dilatih untuk bereaksi terhadap napas pengguna yang disalurkan melalui perangkat berbentuk helm yang digunakan di rumah. Napas tersebut kemudian dibawa ke fasilitas tempat anjing akan mengevaluasinya. Data hasil penciuman itu diproses menggunakan algoritma berbasis AI untuk mengidentifikasi pola yang konsisten dengan kanker. Dalam uji klinis awal, metode ini mencatat tingkat akurasi hingga 94% dalam mendeteksi beberapa jenis kanker termasuk payudara, paru-paru, usus besar, dan prostat.
Yang menarik, tren ini tidak hanya berorientasi pada deteksi dini penyakit, tetapi juga pada prediksi penyakit yang bahkan belum menunjukkan gejala sama sekali. Dalam studi ambisius yang dikutip oleh The Times, para peneliti dari proyek UK Biobank berhasil mengidentifikasi tanda-tanda dalam protein darah yang dapat memprediksi risiko lebih dari 67 jenis penyakit, termasuk multiple myeloma, fibrosis paru, hingga gangguan metabolik lainnya. Dengan menggunakan data dari lebih dari 50.000 individu, peneliti menemukan bahwa profil protein tertentu dalam darah dapat menunjukkan potensi seseorang terkena penyakit bahkan 10 tahun sebelum gejala klinis pertama muncul.
Temuan ini mempertegas bahwa darah adalah “jendela ke masa depan” bagi kesehatan seseorang. Sementara teknik sebelumnya lebih fokus pada pencitraan otak atau biopsi jaringan, sains kini bergerak menuju pendekatan yang jauh lebih mudah diakses, tanpa rasa sakit, dan cepat. Dalam laporan MarketWatch, sebuah studi dari Jerman menunjukkan bahwa Alzheimer dapat diprediksi hingga 17 tahun sebelumnya melalui tes darah yang mengidentifikasi pembentukan plak amiloid dan protein tau—dua biomarker utama dalam patologi Alzheimer. Studi ini memperkuat keyakinan bahwa intervensi medis bisa dilakukan jauh sebelum fungsi kognitif mulai menurun drastis.
Namun kemajuan ini tidak lepas dari pertanyaan etis dan kebijakan kesehatan publik. Bagaimana sistem kesehatan menangani hasil positif dari tes dini yang menunjukkan potensi penyakit namun belum ada gejala? Apakah semua orang siap secara psikologis mengetahui risiko penyakit yang mungkin tidak akan muncul selama satu dekade ke depan? Bagaimana dengan akurasi positif-palsu yang dapat menimbulkan kecemasan atau bahkan intervensi medis yang tidak perlu?
Menurut analisis dari Medical News Today, para dokter dan regulator kini dihadapkan pada dilema besar: di satu sisi, mereka ingin memanfaatkan tes ini untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa melalui deteksi dini, namun di sisi lain mereka harus menghindari overdiagnosis yang bisa membebani sistem kesehatan dan merugikan pasien. Oleh karena itu, tes-tes ini direkomendasikan untuk digunakan secara kontekstual—yakni dengan mempertimbangkan riwayat medis, faktor risiko, dan konsultasi menyeluruh dengan dokter spesialis.
Beberapa negara bahkan mulai mempertimbangkan bagaimana tes darah prediktif ini bisa dimasukkan dalam skema asuransi dan program kesehatan nasional. Di Amerika Serikat, diskusi mulai berkembang tentang perlunya pedoman baru untuk memfasilitasi penggunaan tes ini dalam lingkungan klinik primer. Dengan munculnya terapi-terapi baru untuk Alzheimer seperti Leqembi dan Kisunla, yang hanya efektif jika digunakan pada tahap awal penyakit, kehadiran tes diagnostik dini menjadi sangat penting.
Di sisi lain, para peneliti juga mencermati bagaimana data dari tes darah ini harus dikelola. Informasi biomarker dalam darah seseorang menyimpan data genetik, status metabolik, dan potensi penyakit di masa depan. Dengan demikian, isu privasi dan keamanan data menjadi sangat relevan. Regulasi seperti Health Insurance Portability and Accountability Act (HIPAA) di Amerika Serikat mungkin perlu diperluas cakupannya untuk mencakup pengelolaan hasil tes biomarker prediktif dan penggunaan data tersebut oleh perusahaan asuransi atau pihak ketiga lainnya.
Terlepas dari tantangan tersebut, arah masa depan jelas mengarah pada model kesehatan prediktif. Inovasi diagnostik seperti ini menciptakan peluang tidak hanya untuk memperpanjang usia harapan hidup, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut. Tes yang tadinya hanya tersedia di laboratorium penelitian kini mulai memasuki layanan klinik umum, bahkan rumah tangga. Masyarakat perlahan-lahan akan terbiasa dengan gagasan bahwa satu tetes darah bukan hanya bisa mendeteksi apakah seseorang sedang sakit, tetapi juga apakah mereka akan sakit dalam waktu dekat.
Industri kesehatan global kini mulai bersiap untuk menyesuaikan diri. Perusahaan bioteknologi, laboratorium komersial, dan rumah sakit besar berlomba-lomba menyempurnakan protokol pengujian, mempercepat validasi klinis, dan mengintegrasikan tes-tes ini ke dalam sistem elektronik rekam medis. Di tengah semua ini, perhatian kembali tertuju pada aspek paling esensial dari kesehatan: pencegahan.
Dalam dunia di mana pengobatan semakin mahal dan sistem layanan kesehatan terbebani, deteksi dini melalui tes darah mungkin menjadi salah satu cara paling efisien untuk menekan beban biaya jangka panjang. Selain itu, kemajuan teknologi ini membuka potensi baru dalam personalisasi terapi, di mana setiap pasien dapat menerima pengobatan berdasarkan profil biologis unik mereka yang ditentukan melalui darah mereka sendiri.
Para ilmuwan dan profesional kesehatan melihat era baru sedang dimulai. Ini bukan lagi soal menyembuhkan, tetapi memahami, mencegah, dan mengantisipasi. Seperti disampaikan dalam laporan People Magazine, tes darah yang dulunya sekadar untuk memeriksa kolesterol atau kadar gula, kini menjadi alat untuk membaca kemungkinan masa depan tubuh manusia. Dalam hal ini, darah tidak hanya menjadi cerminan kesehatan saat ini, tetapi juga lembar prediksi bagi apa yang akan datang.
Dengan kata lain, dunia medis sedang mengalami pergeseran fundamental – dari menunggu penyakit datang, menuju mencegah penyakit sebelum ia sempat tumbuh.