(Business Lounge – Entrepreneurship) Dalam dunia korporasi modern yang kian kompleks, peran direktur perusahaan telah berkembang jauh melampaui sekadar kehadiran di ruang rapat. Mereka kini bertanggung jawab atas tata kelola, risiko, dan strategi yang berdampak besar terhadap masa depan perusahaan yang mereka layani. Namun, di antara ribuan direktur perusahaan publik di Amerika Serikat, siapa yang benar-benar menonjol dalam menjalankan tanggung jawab tersebut?
The Wall Street Journal, melalui kolaborasinya dengan perusahaan riset Bendable Labs, mencoba menjawab pertanyaan itu dengan merilis peringkat tahunan direktur korporasi paling berpengaruh di AS. Dalam laporan yang dirancang untuk WSJ Leadership Institute, pemeringkatan ini menyoroti 250 direktur paling efektif berdasarkan peran mereka di dewan direksi, kinerja perusahaan yang mereka awasi, serta reputasi perusahaan tempat mereka duduk sebagai dewan. Ini bukan sekadar daftar nama, melainkan sebuah potret mendalam tentang siapa yang memegang kendali diam-diam di balik perusahaan-perusahaan raksasa Amerika.
Untuk masuk dalam daftar, seorang direktur harus terdaftar sebagai anggota dewan perusahaan S&P 500 setidaknya hingga akhir 2025. Lebih dari 4.000 direktur memenuhi syarat awal ini. Namun, pemeringkatan juga mempertimbangkan posisi direktur tersebut di perusahaan di luar indeks S&P 500. Total data dari sekitar 1.300 perusahaan tambahan turut dianalisis, memperluas cakupan menjadi gambaran ekosistem tata kelola korporasi yang sangat luas.
Metodologi pemeringkatan ini mencakup 18 indikator, dikumpulkan dari tujuh penyedia data independen. Tiga skor utama disusun untuk setiap direktur yaitu individual profile score, company performance score, dan prominent board bonus. Ketiganya dijumlahkan untuk menghasilkan skor akhir. Dengan pendekatan ini, laporan The Wall Street Journal bertujuan memberikan gambaran kuantitatif atas kualitas kepemimpinan yang sering kali tidak tampak di permukaan.
Dalam penyusunan individual profile score, dua sumber utama digunakan: Diligent, perusahaan penyedia perangkat lunak tata kelola dan kepatuhan, serta ESGauge, firma analitik yang fokus pada lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Direktur yang menjabat sebagai ketua independen—posisi yang menandakan kepercayaan ekstra dari sesama anggota dewan—mendapat dua poin. Posisi seperti ini seringkali menjadi jangkar penting dalam proses pengawasan perusahaan, terutama dalam situasi sensitif yang membutuhkan suara independen.
Menurut Doug Chia, peneliti senior di Center for Corporate Law and Governance di Rutgers Law School yang dikonsultasikan dalam proses ini, jabatan ketua independen mencerminkan kepercayaan strategis dari dewan kepada individu tersebut. Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, ia menyebutkan bahwa posisi ini menjadi indikator keunggulan dalam kepemimpinan dewan.
Keanggotaan dalam komite audit, kompensasi, atau nominasi juga dihargai, dengan nilai antara 1 hingga 1,5 poin tergantung pada posisi dan peran ketua komite. Namun, seorang direktur yang duduk di ketiga komite sekaligus akan kehilangan 1,5 poin, sebagai bentuk penyeimbangan terhadap risiko beban kerja berlebih. Diligent mengingatkan bahwa praktik terbaik menyarankan agar direktur tidak duduk di lebih dari dua komite demi menjaga efektivitas.
Direktur luar yang pernah menjabat sebagai CEO di perusahaan lain mendapatkan tambahan 1,5 poin. Ini mengakui bahwa pengalaman di pucuk pimpinan memberi keunggulan perspektif dalam pengambilan keputusan strategis. Josh Black, pemimpin redaksi Diligent Market Intelligence, menyebut bahwa kehadiran mantan CEO memberi nilai tambah penting karena mereka dapat memahami tekanan operasional sekaligus memimpin bila CEO aktif mengundurkan diri.
Durasi masa jabatan juga dipertimbangkan, mereka yang telah menjabat antara lima hingga sebelas tahun mendapat tambahan 0,5 poin. Menurut laporan The Wall Street Journal, periode ini dinilai ideal—cukup lama untuk menguasai peran namun tidak terlalu lama hingga menimbulkan konflik kepentingan atau kehilangan independensi.
Isu keragaman juga masuk dalam komponen penilaian. Setiap direktur yang secara sukarela mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok minoritas berdasarkan gender, ras, atau etnis, mendapat tambahan 0,5 poin. Meskipun topik ini sering kali menuai kontroversi dalam ranah politik, bisnis, dan sosial, studi dari PricewaterhouseCoopers tahun lalu menemukan bahwa 79% direktur percaya bahwa keragaman meningkatkan perspektif dewan dan 68% meyakini bahwa hal itu memperkuat kinerja keseluruhan.
Namun demikian, skor direktur dapat turun jika mereka mendapat suara pemegang saham yang rendah saat pemilihan ulang. Direktur yang hanya memperoleh 66% hingga 80% suara akan kehilangan 1 poin, mereka yang memperoleh 50% hingga 65% kehilangan 2 poin, dan mereka yang meraih kurang dari 50% kehilangan 5 poin. Ini mencerminkan pentingnya dukungan pemegang saham sebagai indikator legitimasi direktur.
Skor berikutnya adalah company performance score, yang fokus pada risiko audit dan litigasi yang dihadapi perusahaan, diukur oleh Ideagen. Setiap direktur akan mendapatkan antara nol hingga minus satu poin berdasarkan tingkat risiko yang diasosiasikan dengan perusahaan tempat mereka menjabat. Penilaian ini penting mengingat sejarah panjang kelalaian dewan dalam mengawasi potensi keruntuhan, seperti yang terjadi pada Penn Central pada 1970-an.
Selain itu, direktur kehilangan satu poin jika perusahaan dinilai sangat rentan terhadap investor aktivis, menurut data dari Diligent Market Intelligence. Namun mereka akan mendapatkan satu poin penuh jika perusahaannya tergolong minim kerentanan terhadap intervensi investor.
Kualitas tata kelola dewan juga masuk dalam evaluasi. Jika perusahaan tempat seorang direktur bertugas mendapat peringkat tinggi dalam praktik tata kelola dari Diligent, maka ia mendapat tambahan satu poin. Sebaliknya, perusahaan dengan peringkat rendah akan mengurangi satu poin dari skor direktur terkait.
Komponen penting lain adalah penilaian kontroversi ESG yang diberikan oleh Sustainalytics. Jika perusahaan seorang direktur terlibat dalam isu lingkungan, sosial, atau tata kelola yang negatif, skor mereka bisa berkurang hingga 1,5 poin, atau naik hingga satu poin jika perusahaannya bebas dari kontroversi signifikan.
Unsur pasar juga berperan. Direktur dinilai berdasarkan kinerja saham perusahaan tempat mereka menjabat, dibandingkan baik dengan indeks S&P 500 maupun dengan perusahaan sejenis dalam industri mereka. Nilainya berkisar dari minus 0,5 hingga 3 poin. Ini mencerminkan kemampuan dewan untuk mengarahkan perusahaan menuju kinerja pasar yang lebih baik.
Lebih lanjut, direktur juga mendapat poin tambahan jika perusahaannya masuk dalam daftar Management Top 250 yang dirilis oleh The Wall Street Journal, berdasarkan model statistik yang dikembangkan oleh Drucker Institute. Masuk dalam 100 teratas memberi satu poin, sedangkan posisi 101 hingga 250 memberi setengah poin.
Terakhir, skor prominent board bonus mengukur pengaruh berdasarkan eksposur dewan. Direktur mendapat 0,5 poin untuk setiap keanggotaan di dewan perusahaan Fortune 500, satu poin untuk perusahaan Fortune 100, dan 1,5 poin untuk Fortune 50. Daftar Fortune sendiri disusun berdasarkan pendapatan total perusahaan.
Meski data kuantitatif hanya mencakup sebagian dari kerja senyap para direktur, laporan ini menjadi tolok ukur awal yang penting. “Banyak hal penting yang terjadi di ruang dewan tidak pernah dilaporkan,” ujar Dottie Schindlinger, direktur eksekutif Diligent Institute, lembaga riset tata kelola perusahaan milik Diligent. “Namun bukan berarti hal-hal yang bisa kita ukur tidak penting.”
Melalui pemeringkatan ini, The Wall Street Journal tidak hanya memberi sorotan pada individu-individu yang kerap tersembunyi dari perhatian publik, tetapi juga mengedukasi pasar tentang kompleksitas tata kelola korporasi modern. Dalam era di mana ekspektasi terhadap transparansi dan akuntabilitas kian meningkat, keberadaan direktur yang efektif dan memiliki reputasi tinggi bukan sekadar nilai tambah—melainkan kebutuhan yang tak tergantikan.

