(Business Lounge – Global News) Industri barang mewah tengah menghadapi tantangan terbesar dalam beberapa dekade terakhir seiring dua pasar utamanya, Cina dan Amerika Serikat, menunjukkan pelemahan. Gabungan keduanya menyumbang hampir 50 persen penjualan global barang mewah—senilai sekitar 45 miliar dolar AS di Cina dan lebih dari 45 miliar dolar AS di AS pada 2024—namun kini permintaan tertekan oleh gelembung properti merosot dan kebijakan tarif yang membebani konsumen The Wall Street Journal.
Di Cina, kekayaan rumah tangga anjlok hingga 30 persen sejak puncak pasar properti, melemahkan daya beli kelas atas—segmentasi pembeli mewah yang menjadi tulang punggung konsumsi barang desainer. Di AS, pemotongan insentif pajak dan perang tarif telah mengurangi minat belanja, dengan penjualan mewah turun 3 persen pada kuartal pertama 2025 menurut laporan LVMH The Wall Street Journal. Akibatnya, proyeksi pertumbuhan penjualan barang mewah global tahun ini dipangkas menjadi minus 2 persen The Wall Street Journal.
Sementara itu, pencarian pasar alternatif menemui banyak hambatan. India, yang ekonominya tumbuh cepat, hanya menghasilkan sekitar 1 miliar dolar AS penjualan barang mewah tahunan—bandingkan dengan 45 miliar di Cina—karena infrastruktur ritel mewah yang terbatas, pajak impor tinggi, dan penetrasi kelas menengah premium yang masih rendah The Wall Street Journal. Di kota‑kota seperti Mumbai dan New Delhi, butik mewah masih tersebar jarang, dan konsumen Khan Market atau Colaba hanya mewakili sebagian kecil dari populasi urban.
Beberapa merek telah mencoba merambah Timur Tengah—terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab—dengan membuka flagship store di Riyadh dan Dubai. Namun nilai pasar di kawasan tersebut masih jauh di bawah China dan AS. Investasi di Eropa Timur juga dipertimbangkan, tetapi stabilitas politik dan regulasi sering kali menimbulkan risiko tambahan. Upaya masuk ke Amerika Latin menghadapi tantangan infrastruktur dan logistik, di samping tingkat pemulihan ekonomi yang belum merata Reuters.
Di luar geografi, kondisi makro yang mendukung penjualan barang mewah meliputi pertumbuhan pesat kekayaan bersih individual, stabilitas nilai tukar, kemudahan akses e‑commerce premium, dan pengalaman retail fisik yang mewah. Kombinasi ini sulit ditiru di pasar baru. Merek‑merek ternama seperti Hermès, Gucci, dan Cartier memerlukan ekosistem lengkap—dari jaringan butik eksklusif hingga logistik white‑glove delivery—yang memakan waktu dan modal besar untuk dikembangkan Bloomberg.
Di dalam negeri Cina sendiri, pergeseran budaya turut memengaruhi. Konsumen muda semakin menghargai heritage lokal—garment tradisional hanfu, merek streetwear domestik—sehingga tidak selalu memilih label asing. Gerakan guochao (“gelombang lokal”) mendorong kebanggaan di produk dalam negeri dan menantang dominasi merek Barat The Times. Tren serupa belum muncul dalam skala besar di India atau Brasil, di mana budaya mewah internasional masih dianggap aspirasi, namun kelas menengah digital‑native masih mencari identitas gaya sendiri.
Agar pertumbuhan barang mewah pulih, banyak analis menekankan pentingnya mengembalikan kepercayaan kelas menengah atas di Cina dan AS. Program stimulus lokal, insentif pajak, dan paket diskon eksklusif dapat merangsang kembali belanja. Di AS, penurunan tarif atau kredit pajak pembelian barang mewah bisa menjadi opsi. Namun solusi kebijakan semacam ini bergantung pada prioritas fiskal pemerintah masing‑masing The Wall Street Journal.
Sementara itu, merek mewah harus memperkuat hubungan langsung dengan konsumen—mengoptimalkan data omnichannel, meningkatkan keterlibatan komunitas digital, dan menghadirkan pengalaman iper‑personal yang tak tergantikan. Strategi secondhand luxury—pasar preloved yang kini bernilai sekitar 48 miliar euro—juga membuka segmen baru bagi konsumen aspiratif yang tidak mampu membeli barang baru Bain & Company.
Dalam jangka menengah, merek mewah harus mengeksplorasi diversifikasi produk—dari barang keras seperti jam dan perhiasan (yang mencatat pertumbuhan stabil) hingga kategori lifestyle seperti kecantikan dan eyewear yang relatif tahan guncangan Bain & Company. Namun setiap langkah ekspansi memerlukan pemahaman mendalam tentang preferensi lokal dan penguatan rantai pasok.
Pada akhirnya, ketahanan industri barang mewah bergantung pada kembalinya kekuatan dua raksasa pasar yang kini goyah. Tanpa Cina dan AS yang pulih, sulit bagi pasar pengganti—baik itu India, Timur Tengah, atau Eropa Timur—untuk menutup kekosongan penjualan. Merek‑merek mewah pun dihadapkan pada kenyataan pahit: belum ada tempat lain yang sepadan dengan skala, kedalaman, dan kematangan pasar dua negara ini.
Di tengah kondisi global yang bergejolak, merek mewah terpaksa bertahan pada kekuatan inti mereka—heritage, kualitas, dan eksklusivitas—sambil menunggu momentum pemulihan di tanah air terbesarnya. Tanpa kebangkitan kembali Cina dan AS, industri ini tampaknya akan melewati satu hingga dua tahun tersulit dalam sejarah pertumbuhannya.