(Business Lounge – Technology) Hon Hai Precision Industry Co., perusahaan asal Taiwan yang lebih dikenal dengan nama Foxconn, baru saja melaporkan hasil keuangan kuartal pertama yang menggembirakan. Namun di balik angka laba yang melonjak, tersimpan kecemasan yang dalam. Foxconn secara mengejutkan memangkas panduan kinerja tahunannya, dengan alasan risiko baru yang muncul dari kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap impor dari China. Reaksi pasar pun beragam: optimisme atas kinerja jangka pendek, tapi cemas terhadap gangguan struktural jangka menengah.
Dalam laporan keuangannya yang dikutip oleh Bloomberg, Foxconn mencatat lonjakan laba bersih sebesar 72% pada kuartal pertama dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini melampaui estimasi para analis, terutama didorong oleh permintaan yang kuat untuk perangkat keras konsumen dan efisiensi rantai pasok pasca-pandemi. Divisi yang bertanggung jawab atas perakitan produk Apple, seperti iPhone dan iPad, menyumbang sebagian besar pertumbuhan tersebut. Namun di tengah keberhasilan ini, perusahaan justru memilih untuk menurunkan ekspektasi pertumbuhan setahun penuh.
Langkah Foxconn untuk merevisi panduan ke bawah dilakukan hanya beberapa hari setelah pemerintahan Amerika Serikat mengumumkan putaran tarif baru terhadap barang-barang teknologi dari China, termasuk semikonduktor, baterai, dan komponen elektronik lainnya. The Wall Street Journal mencatat bahwa kebijakan ini dapat berdampak tidak langsung terhadap Foxconn, mengingat sebagian besar fasilitas produksi perusahaan tetap berada di China, meskipun secara hukum perusahaan berbasis di Taiwan.
Dalam pernyataan kepada investor, Foxconn menyatakan bahwa ketidakpastian global semakin tinggi, dan risiko kebijakan perdagangan serta geopolitik menjadi faktor yang mempengaruhi prospek bisnis secara keseluruhan. “Meskipun kami mencatat kinerja yang kuat pada kuartal pertama, kami melihat awan gelap di cakrawala,” demikian kutipan dari pernyataan manajemen Foxconn dalam dokumen resmi yang dikutip oleh Reuters. “Perusahaan akan mengambil pendekatan konservatif dalam mengelola ekspansi dan investasi dalam jangka menengah.”
Pengurangan panduan ini mengejutkan banyak investor, terutama karena Foxconn selama beberapa tahun terakhir dikenal sebagai perusahaan yang jarang merevisi ekspektasinya kecuali dalam kondisi ekstrem. Dalam laporan analis dari JPMorgan, disebutkan bahwa keputusan Foxconn mencerminkan realitas bahwa konflik dagang antara AS dan China belum mereda, bahkan cenderung memburuk dengan adanya siklus tarif baru yang diperkenalkan menjelang pemilihan presiden AS.
Salah satu alasan utama kekhawatiran Foxconn adalah ketergantungannya pada ekosistem Apple. Nikkei Asia melaporkan bahwa sekitar 50% pendapatan Foxconn masih berasal dari perakitan perangkat Apple. Karena Apple sendiri menjadi target tidak langsung dari kebijakan tarif AS—terutama terkait rantai pasoknya di China—Foxconn pun terkena imbas ganda. Apple telah memberi sinyal akan mencari diversifikasi basis produksi ke India dan Asia Tenggara, dan hal ini menjadi tantangan strategis tersendiri bagi Foxconn.
Untuk mengatasi tekanan geopolitik, Foxconn sebenarnya telah memulai langkah diversifikasi sejak 2020, termasuk memperluas operasi di India, Vietnam, dan bahkan Amerika Serikat. Namun proses relokasi produksi skala besar tidaklah mudah. Menurut Financial Times, Foxconn masih menghadapi tantangan terkait ketersediaan tenaga kerja terampil, logistik, dan infrastruktur di luar China. Akibatnya, meskipun ada niat untuk mengurangi ketergantungan terhadap China, realisasinya berjalan lambat.
Dalam panggilan konferensi dengan para analis, manajemen Foxconn juga mengungkapkan bahwa mereka akan memperlambat belanja modal untuk tahun ini. Investasi dalam fasilitas produksi baru akan dikaji ulang secara menyeluruh, dan perusahaan berencana untuk lebih selektif dalam memilih mitra dan lokasi ekspansi. Hal ini menandai pergeseran dari strategi ekspansi agresif yang dijalankan selama satu dekade terakhir.
Meskipun begitu, beberapa analis tetap optimistis terhadap kekuatan fundamental Foxconn. Goldman Sachs mencatat bahwa laba kuartal pertama menunjukkan kemampuan luar biasa perusahaan dalam mengelola biaya dan mempertahankan margin operasional di tengah tekanan inflasi dan logistik. Selain itu, diversifikasi bisnis ke sektor kendaraan listrik dan semikonduktor juga mulai menunjukkan hasil.
Foxconn memang tidak lagi sekadar menjadi perusahaan manufaktur perakitan elektronik. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan telah merambah ke industri otomotif listrik melalui kemitraan dengan startup seperti Fisker dan Lordstown Motors. Mereka juga mengembangkan platform kendaraan listrik sendiri bernama MIH, dan memproduksi komponen untuk kendaraan listrik di Taiwan dan Thailand. CNBC menyoroti bahwa ekspansi ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Foxconn untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada Apple.
Namun pertanyaannya tetap: apakah diversifikasi itu akan cukup cepat untuk mengimbangi tekanan dari ketidakpastian geopolitik dan fragmentasi rantai pasok global? Dunia kini memasuki era “friend-shoring” dan “de-risking”, di mana perusahaan harus menyesuaikan operasionalnya tidak hanya berdasarkan efisiensi biaya, tetapi juga stabilitas politik dari lokasi produksinya. Dalam konteks ini, Foxconn menjadi simbol tantangan perusahaan global yang terjepit antara dua kekuatan besar dunia.
CEO Foxconn, Young Liu, dalam pernyataan publiknya menyebut bahwa perusahaan akan tetap fokus pada inovasi dan efisiensi dalam jangka pendek, sembari beradaptasi terhadap dinamika politik global. Ia menyebutkan bahwa pengembangan pusat produksi di India dan Meksiko akan dipercepat, dan bahwa perusahaan telah membuka pembicaraan dengan pemerintah setempat untuk memperoleh insentif dan kemudahan regulasi. “Kami tidak hanya ingin menjadi perusahaan manufaktur global,” kata Liu seperti dikutip oleh TechCrunch, “tetapi juga mitra teknologi strategis yang adaptif terhadap perubahan zaman.”
Saham Foxconn di bursa Taiwan sempat naik tajam setelah laporan laba dipublikasikan, namun berbalik turun setelah revisi panduan diumumkan. Pergerakan ini mencerminkan dilema yang dihadapi investor: antara realisasi kinerja yang kuat dan ketakutan terhadap masa depan yang semakin tidak pasti. Beberapa investor institusional dikabarkan menahan akumulasi saham hingga ada kejelasan lebih lanjut mengenai dampak tarif AS terhadap rantai pasok Foxconn.
Secara keseluruhan, kisah Foxconn saat ini merupakan cerminan dari kondisi industri teknologi global yang semakin kompleks dan politis. Perusahaan dengan jejak global seperti Foxconn bukan hanya harus menghadapi tantangan teknologi dan pasar, tetapi juga dinamika kekuatan negara-negara besar. Ketika kebijakan tarif digunakan sebagai alat negosiasi politik, perusahaan-perusahaan seperti Foxconn menjadi korban sekaligus pemain utama dalam panggung ekonomi global yang baru.
Untuk Foxconn, keberhasilan mencetak laba tinggi mungkin hanya menjadi kemenangan sesaat. Tantangan yang lebih besar menanti: menjaga keberlanjutan bisnis di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, di mana batas antara ekonomi dan geopolitik semakin kabur. Ketahanan Foxconn tidak hanya akan diuji oleh laporan keuangan berikutnya, tetapi oleh kemampuan strategisnya untuk mengantisipasi dan mengelola risiko global yang makin tidak terduga.