(Business Lounge – Automotive) Efek domino dari krisis yang sedang melanda Nissan Motor Co. kini mengguncang mitra strategisnya, Renault SA. Dalam pernyataan resmi terbaru, produsen mobil asal Prancis itu mengungkapkan bahwa restrukturisasi besar-besaran Nissan — termasuk kerugian lebih dari 4,5 miliar dolar AS dan pemangkasan 20.000 tenaga kerja secara global — akan menimbulkan pukulan langsung terhadap neraca keuangan Renault sebesar 2,44 miliar dolar AS. Angka itu, menurut laporan Bloomberg, mencerminkan sejauh mana hubungan simbiotik antara kedua perusahaan telah berubah menjadi beban satu arah.
Keterkaitan Renault dan Nissan memang bukan hal baru. Keduanya telah berada dalam kemitraan aliansi selama lebih dari dua dekade, dan Renault saat ini memiliki sekitar 43% saham di Nissan. Dalam konfigurasi aliansi ini, Renault selama bertahun-tahun menikmati aliran dividen dari Nissan, yang sempat menjadi mesin pertumbuhan utama bagi perusahaan Prancis itu. Namun kini, ketika Nissan menghadapi tekanan dari semua arah — dari penurunan penjualan hingga disrupsi teknologi dan gejolak geopolitik — keuntungan tersebut berubah menjadi kerugian yang harus dibukukan oleh Renault.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa Renault akan mencatat dampak finansial restrukturisasi Nissan dalam laporan keuangannya untuk paruh pertama tahun fiskal. Ini merupakan salah satu hitungan kerugian nonkas terbesar dalam sejarah perusahaan. “Kami berada dalam situasi yang kompleks, di mana keputusan yang diambil Nissan demi kelangsungan hidupnya justru menjadi tantangan akut bagi kami,” kata CEO Renault, Luca de Meo, dalam wawancara dengan Les Echos. Ia menambahkan bahwa pihaknya sedang meninjau ulang struktur aliansi dan potensi redefinisi hubungan strategis dengan Nissan.
Penurunan kinerja Nissan menjadi faktor kunci dalam memburuknya neraca Renault. Dalam laporan keuangan kuartal terakhir yang dikutip oleh Reuters, Nissan mencatat penurunan penjualan global sebesar 4,3 persen. Kemerosotan ini didorong oleh penurunan tajam di tiga pasar utama: China, Jepang, dan Eropa. Di China — pasar otomotif terbesar di dunia — Nissan kehilangan pangsa pasar akibat tekanan dari merek-merek lokal seperti BYD dan Geely yang semakin agresif dengan produk kendaraan listrik berbiaya rendah. Di Jepang, permintaan domestik stagnan, sementara di Eropa, konsumen beralih ke mobil listrik dan hybrid yang lebih inovatif, area di mana Nissan tertinggal dari kompetitor.
Khusus bagi Renault, krisis Nissan memperdalam dilema strategis. Financial Times mencatat bahwa Renault sudah berada dalam proses transformasi internal, di mana perusahaan berusaha menyelaraskan bisnis intinya dengan tren elektrifikasi dan digitalisasi. Namun, dengan beban kerugian dari Nissan, ruang fiskal Renault untuk berinvestasi menjadi semakin sempit. Ini menciptakan tekanan berlapis, di mana kebutuhan untuk berinovasi harus berjalan beriringan dengan kehati-hatian fiskal yang ketat.
Analis dari Barclays menyebut bahwa beban keuangan akibat restrukturisasi Nissan bisa memaksa Renault untuk menunda atau mengurangi beberapa proyek strategisnya, termasuk peluncuran lini kendaraan listrik Renault 5 dan pengembangan platform kendaraan bersama dengan mitra baru dari China. “Dalam jangka pendek, Renault perlu menyerap guncangan ini tanpa mengorbankan arah strategisnya. Namun ruang manuvernya terbatas,” tulis laporan tersebut.
Hubungan Renault dan Nissan sendiri sudah lama mengalami ketegangan, terlebih sejak skandal penangkapan Carlos Ghosn pada 2018. Setelah kepergian Ghosn, aliansi ini kehilangan pusat gravitasi yang menyatukan kepentingan strategis kedua perusahaan. Dalam beberapa tahun terakhir, Renault dan Nissan mencoba membangun ulang struktur kemitraan yang lebih setara, termasuk kesepakatan pada 2023 untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan saham. Namun seperti diungkap oleh Nikkei Asia, restrukturisasi Nissan yang sekarang justru menunjukkan bahwa aliansi itu belum benar-benar pulih dari krisis kepercayaan dan arah bisnis yang berbeda.
Bagi para investor Renault, kabar ini menambah kekhawatiran terhadap prospek jangka pendek perusahaan. Saham Renault turun hampir 6 persen setelah pengumuman kerugian terkait Nissan. Beberapa analis di Jefferies dan UBS mulai mempertanyakan apakah investasi Renault di Nissan masih memiliki nilai strategis atau justru menjadi sumber volatilitas. Ada juga yang menyerukan agar Renault mengevaluasi kemungkinan pelepasan sebagian sahamnya di Nissan untuk memperkuat likuiditas dan memfokuskan diri pada transformasi bisnis internal.
Di sisi lain, beban finansial ini memperlihatkan struktur hubungan lintas negara yang kompleks dalam industri otomotif global. Renault, sebagai perusahaan Eropa yang menghadapi transisi menuju kendaraan bebas emisi dan tekanan regulasi dari Uni Eropa, kini juga harus menanggung risiko dari mitranya di Asia yang sedang berjuang di bawah bayang-bayang tarif AS dan stagnasi penjualan di China. Hal ini, menurut CNBC, mempertegas pentingnya manajemen risiko geopolitik dan tata kelola hubungan aliansi lintas benua dalam lanskap industri otomotif masa kini.
Sementara itu, de Meo menegaskan bahwa meskipun beban dari Nissan signifikan, Renault tidak akan melakukan pemangkasan besar-besaran dalam waktu dekat. Ia menyatakan bahwa strategi jangka panjang perusahaan tetap fokus pada elektrifikasi, kemitraan teknologi, dan ekspansi ke pasar negara berkembang. Namun, ia juga mengakui bahwa prioritas anggaran kini akan ditinjau ulang demi memastikan bahwa perusahaan tetap dalam jalur keberlanjutan keuangan yang sehat.
Dampak dari restrukturisasi Nissan terhadap Renault juga meluas ke aspek nonfinansial. Deutsche Welle mencatat bahwa kerja sama lintas divisi seperti pengembangan platform mobil bersama dan berbagi teknologi kini menghadapi kendala operasional akibat pemotongan anggaran dan perbedaan fokus strategis. Beberapa proyek bersama yang sebelumnya dijanjikan, seperti kendaraan listrik kompak hasil kolaborasi, kini menghadapi risiko penundaan atau bahkan pembatalan.
Namun di tengah tekanan ini, Renault juga melihat peluang untuk melakukan reposisi. Dalam wawancara terpisah dengan Automotive News Europe, de Meo menyatakan bahwa krisis ini bisa menjadi momentum bagi Renault untuk mengurangi ketergantungan terhadap Nissan dan mulai membangun ekosistem mitra yang lebih terdiversifikasi. Salah satu langkah awalnya adalah memperkuat kerja sama dengan Geely dan Google dalam pengembangan perangkat lunak otomotif. Renault juga menjajaki peluang produksi bersama dengan produsen baterai Eropa untuk mempercepat peluncuran kendaraan listrik generasi berikutnya.
Kondisi ini mencerminkan dinamika dunia otomotif modern, di mana kolaborasi global dapat menjadi kekuatan, namun juga sumber kerentanan. Hubungan antara Renault dan Nissan, yang dulunya dilihat sebagai model aliansi lintas budaya yang sukses, kini diuji oleh tekanan finansial, disrupsi teknologi, dan perbedaan arah bisnis yang mendasar. Bagi Renault, pertanyaannya bukan hanya tentang bagaimana menyerap kerugian, tetapi juga bagaimana menata kembali fondasi strategis perusahaan dalam lanskap yang terus berubah.
Dalam jangka pendek, tekanan dari Nissan akan tetap menjadi beban. Namun dalam jangka panjang, jika Renault mampu menggunakan momen ini untuk memperkuat otonomi strategisnya, membangun mitra baru, dan mengeksekusi visi elektrifikasi secara konsisten, maka krisis ini bisa menjadi katalis untuk transisi menuju era baru. Namun jika gagal, risiko kehilangan daya saing di pasar Eropa maupun global bisa menjadi kenyataan yang pahit.
Sebagaimana ditulis oleh The Economist, sejarah industri otomotif selalu ditentukan oleh kemampuan untuk membaca arah angin. Renault kini berada di titik persimpangan: apakah akan tetap terikat pada aliansi yang membebani atau membuka lembaran baru dalam perjalanan bisnisnya yang mandiri. Pilihan itu, seperti selalu, datang dengan konsekuensi strategis yang dalam.