AI

AI Ciptakan “Always-on Economy”

(Business Lounge – Technology) AI kini mendorong dunia bisnis menuju suatu lanskap baru: ekonomi yang terus menyala selama 24 jam penuh, tujuh hari seminggu. Seiring munculnya agen-agen cerdas dan sistem otomatisasi berbasis AI, banyak sektor kini bertransformasi menjadi sistem yang dapat beroperasi tanpa jeda waktu — dari rantai pasok hingga keamanan siber. Namun di balik potensi luar biasa ini, The Wall Street Journal, Bloomberg, dan Financial Times menyoroti satu tantangan utama: banyak perusahaan masih belum siap mengikuti kecepatan perubahan ini.

Dalam wawancara dengan WSJ, analis teknologi dari Accenture menyebut bahwa kita tengah memasuki era “always-on economy” di mana permintaan pelanggan, distribusi barang, dan respons digital dapat dilakukan secara real-time oleh agen AI. Di sektor logistik, misalnya, perusahaan seperti FedEx dan Amazon telah menggunakan algoritma cerdas untuk mengatur pengiriman berdasarkan pola cuaca, permintaan pelanggan, dan kepadatan lalu lintas dalam skala global. Ini memungkinkan pengambilan keputusan dalam hitungan detik yang dulunya membutuhkan manusia berjam-jam atau bahkan berhari-hari.

Sementara itu, Bloomberg melaporkan bahwa dalam bidang keamanan siber, sistem AI kini mampu memonitor jaringan sepanjang waktu dan secara otomatis memblokir ancaman tanpa perlu intervensi manusia. Dengan meningkatnya serangan siber lintas zona waktu, sistem semacam ini bukan lagi keunggulan, tapi kebutuhan.

Namun seiring perusahaan-perusahaan besar memanfaatkan teknologi ini, banyak pelaku usaha lain masih tertinggal. Laporan Financial Times menyoroti bahwa sekitar 70% perusahaan menengah masih mengandalkan sistem manual dalam operasional utama mereka, meski AI tersedia secara luas dan terjangkau. Alasannya bukan hanya soal biaya, melainkan juga budaya kerja, resistensi terhadap perubahan, dan kurangnya talenta yang mampu mengintegrasikan AI ke dalam proses kerja sehari-hari.

Kepala strategi AI dari IBM yang diwawancarai WSJ menjelaskan bahwa ada paradoks besar: AI mempercepat segalanya, tapi organisasi masih lambat berubah. Beberapa perusahaan mengadopsi chatbot atau asisten virtual hanya di permukaan, tanpa mengubah fondasi proses internal mereka. Akibatnya, potensi AI untuk menciptakan efisiensi yang menyeluruh justru terhambat oleh birokrasi dan pola kerja lama.

Beberapa sektor telah memimpin. Dalam riset pasar, perusahaan seperti NielsenIQ telah menggunakan AI untuk menganalisis miliaran data konsumen secara instan, menyediakan insight real-time bagi klien mereka di berbagai negara. Hal serupa terjadi di pasar keuangan, di mana sistem otomatis memantau indikator ekonomi global dan memberi sinyal kepada analis bahkan sebelum pasar buka di zona waktu tertentu. Ini menciptakan siklus pengambilan keputusan yang hampir non-stop.

Namun transformasi menuju ekonomi tanpa henti bukan tanpa konsekuensi. Analis dari Bloomberg memperingatkan bahwa tekanan untuk terus menyala bisa menimbulkan kelelahan digital di kalangan pekerja, terutama ketika perusahaan belum sepenuhnya mengalihkan tanggung jawab ke sistem AI. Selain itu, pertanyaan soal etika, pengawasan algoritma, dan keamanan data pribadi menjadi semakin krusial di dunia yang terus bergerak.

Meski demikian, tren ini tampaknya tak bisa dihentikan. Sebuah laporan dari McKinsey yang dikutip oleh Financial Times memperkirakan bahwa pada 2030, lebih dari 60% aktivitas ekonomi global akan tersentuh langsung oleh AI dalam bentuk otomatisasi proses, sistem prediksi, dan personalisasi layanan. Ini berarti perusahaan yang gagal beradaptasi kemungkinan besar akan tertinggal bukan hanya dari sisi teknologi, tapi juga dari kecepatan bisnis yang kini menuntut respons seketika.

Kesimpulannya, AI bukan hanya alat bantu, tetapi telah menjadi mesin penggerak ekonomi 24/7 yang mengubah cara bisnis dilakukan. Seperti diingatkan dalam editorial WSJ, dunia kini tidak menunggu waktu kerja reguler untuk bergerak — dan perusahaan yang ingin tetap relevan harus mulai menghilangkan konsep jam operasional. AI telah menghidupkan ekonomi yang tidak pernah tidur. Pertanyaannya, apakah para pelaku bisnis siap untuk terus terjaga?