Strategi Apple Hadapi Dampak Perang Dagang: India Jadi Alternatif Sumber Produksi

(Business Lounge Journal – Global News)

Dalam upaya meredam dampak dari meningkatnya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Apple Inc. dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk mengalihkan sebagian produksi iPhone yang ditujukan untuk pasar Amerika Serikat ke pabrik-pabriknya di India. Informasi ini disampaikan oleh Wall Street Journal, mengutip sumber-sumber anonim yang dekat dengan kebijakan perusahaan.

Langkah ini dinilai sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi tekanan akibat tarif impor yang meningkat secara tajam setelah Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan agresif terhadap perdagangan global. Apple sendiri tidak berencana untuk sepenuhnya memindahkan rantai pasok globalnya, namun upaya ini menunjukkan keseriusan perusahaan dalam melindungi bisnis utamanya dari dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh konflik dagang dua negara adidaya tersebut.

Saham Apple mengalami penurunan tajam sekitar 17,5% sejak hari Selasa lalu, yaitu sehari sebelum Presiden Trump mengumumkan peningkatan tarif impor terhadap hampir seluruh produk yang masuk ke Amerika Serikat. Langkah tersebut menciptakan gejolak besar di pasar global. Pemerintah AS menetapkan tarif sebesar 34% terhadap barang-barang dari Tiongkok, yang segera dibalas oleh pemerintah Tiongkok dengan tarif serupa terhadap barang-barang asal AS. Konflik semakin memanas ketika pada hari Senin berikutnya, Trump kembali mengancam akan menaikkan tarif sebesar 50% tambahan jika Tiongkok tidak mencabut kebijakan tarif balasannya.

Berbeda dengan Tiongkok, India tampaknya menjadi mitra dagang yang lebih bersahabat dalam situasi ini. Pemerintahan Trump memang mengenakan tarif sebesar 26% terhadap India minggu lalu, namun pemerintah India melalui pernyataannya kepada Bloomberg, menegaskan tidak akan melakukan tindakan balasan. Sikap India ini menjadikannya pilihan yang lebih stabil dan strategis bagi Apple untuk sementara waktu mengalihkan sebagian produksi dari Tiongkok.

Selama bertahun-tahun, Apple telah menjadikan Tiongkok sebagai pusat utama produksi iPhone dan berbagai perangkat keras lainnya, berkat infrastruktur manufaktur yang sangat matang dan biaya tenaga kerja yang relatif rendah. Namun dengan situasi saat ini, ketergantungan Apple pada Tiongkok mulai menjadi titik rawan. Hal ini menjelaskan mengapa saham Apple mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan dengan rekan-rekan besarnya di industri teknologi. Misalnya, Meta Platforms Inc. mungkin turut terkena dampak secara tidak langsung melalui berkurangnya belanja iklan perusahaan, tetapi secara struktural tidak terlalu bergantung pada jaringan manufaktur global seperti Apple.

Penurunan nilai saham Apple yang mencapai 24,10% dalam kurun waktu sebulan terakhir juga dipicu oleh kekhawatiran bahwa tarif ini akan secara signifikan menaikkan harga jual iPhone di pasar. Menurut analis dari UBS, misalnya, tarif baru ini berpotensi menambah biaya produksi iPhone 16 Pro Max—yang saat ini dijual seharga $1.199—sebesar $350. Sementara itu, model iPhone 16 Pro dengan harga $999 diperkirakan akan mengalami kenaikan harga sekitar $120.

Kenaikan harga ini tentu menjadi tantangan besar bagi Apple yang selama ini mengandalkan penjualan iPhone sebagai kontributor utama pendapatan. Jika harga melonjak terlalu tinggi, daya beli konsumen bisa menurun, dan ini berpotensi melemahkan permintaan secara global. Oleh karena itu, strategi untuk mendiversifikasi lokasi produksi menjadi semakin krusial, dan India—dengan biaya tenaga kerja yang kompetitif serta hubungan perdagangan yang lebih stabil dengan AS—muncul sebagai pilihan logis dalam menghadapi gejolak saat ini.

Ke depan, langkah Apple dalam menavigasi ketegangan geopolitik ini akan menjadi contoh penting bagi perusahaan multinasional lainnya dalam membentuk ulang strategi rantai pasok mereka di tengah dinamika global yang terus berubah.