(Business Lounge Journal – Global News)
Fortescue Metals Group (FMG), produsen bijih besi terbesar keempat di dunia, baru-baru ini melaporkan penurunan laba bersih sebesar 53% untuk paruh pertama tahun fiskal 2025. Laba bersih perusahaan untuk enam bulan yang berakhir pada Desember mencapai US$1,55 miliar, turun dari US$3,34 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama disebabkan oleh harga bijih besi yang lebih rendah, dipengaruhi oleh permintaan yang lemah dari sektor properti di China dan tingginya persediaan bijih besi global.
China, sebagai konsumen utama bijih besi dunia, mengalami penurunan aktivitas konstruksi, yang berdampak langsung pada harga komoditas ini. Sektor properti China yang lesu telah mengurangi permintaan baja, sehingga menekan harga bijih besi di pasar internasional. Selain itu, tingginya persediaan bijih besi global menambah tekanan pada harga, mengakibatkan penurunan pendapatan bagi produsen seperti FMG.
Selain penurunan laba, FMG juga mengumumkan pengurangan belanja modal untuk proyek energi hijau dari US$500 juta menjadi US$400 juta. Pengurangan ini disebabkan oleh ketidakpastian pendanaan, terutama setelah penangguhan hibah di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi di Amerika Serikat. Situasi ini memaksa perusahaan untuk mempertimbangkan kembali jadwal proyek energi hijau mereka di AS dan Australia.
Meskipun demikian, FMG tetap berkomitmen pada inisiatif energi hijau mereka. Perusahaan telah menginvestasikan lebih dari US$4 miliar dalam proyek hidrogen hijau dan amonia di Norwegia dan Brasil, serta memulai upaya awal di AS dan Australia. Namun, kerugian sebesar US$659 juta sebelum depresiasi, bunga, pajak, dan amortisasi pada divisi energi hijau menunjukkan tantangan finansial yang dihadapi dalam transisi menuju energi terbarukan.
Meskipun menghadapi tantangan, FMG optimis tentang permintaan jangka panjang untuk bijih besi dan produk hijau. CEO Andrew Forrest menekankan bahwa permintaan komoditas bersifat siklus dan percaya pada tren kenaikan jangka panjang. Perusahaan berencana memproduksi logam hijau dari bijih Pilbara dalam waktu satu tahun, dengan fokus pada teknologi hijau di fasilitas Christmas Creek mereka.
Selain itu, FMG berencana untuk menggantikan penggunaan diesel dengan truk angkut bertenaga hidrogen, yang diharapkan dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan. Mereka juga menjalin kemitraan dengan bisnis First Nations, mengalokasikan US$5 miliar melalui Program Billion Opportunities untuk mendukung komunitas lokal.
Di Indonesia, FMG telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan industri energi hijau. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa perjanjian ini merupakan langkah awal untuk memanfaatkan potensi energi terbarukan Indonesia dan mendorong industri hijau. Proyek ini mencakup pembangunan pembangkit listrik tenaga air sebesar 60 GW dan 25 GW tenaga panas bumi di seluruh Indonesia.
Kerja sama ini diharapkan dapat mempercepat transisi energi Indonesia menuju sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan. FMG berkomitmen untuk berintegrasi dengan komunitas lokal, membantu mereka terlibat secara setara dalam semua proyek, serta menyediakan dukungan modal dan teknologi.
Pasar bijih besi global dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan ekonomi China, dinamika perdagangan internasional, dan perubahan permintaan industri. Analis memprediksi bahwa harga bijih besi dapat turun menjadi antara US$75 hingga US$120 per ton pada tahun 2025, dibandingkan dengan US$88 hingga US$144 per ton pada tahun 2024. Penurunan harga ini dapat berdampak signifikan pada pendapatan dan margin keuntungan FMG, mengingat ketergantungan mereka pada ekspor bijih besi ke China.
Namun, transisi global menuju energi hijau juga membuka peluang baru. Permintaan untuk produk hijau, seperti hidrogen dan amonia hijau, diperkirakan akan meningkat seiring dengan upaya berbagai negara untuk mengurangi emisi karbon. FMG, dengan investasi signifikan dalam proyek energi terbarukan, berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan tren ini.
Fortescue Metals Group menghadapi tantangan signifikan akibat penurunan harga bijih besi dan ketidakpastian pendanaan untuk proyek energi hijau. Namun, dengan strategi diversifikasi menuju energi terbarukan dan komitmen terhadap inisiatif hijau, perusahaan ini berupaya memposisikan diri sebagai pemimpin dalam industri yang berkelanjutan. Kerja sama dengan negara-negara seperti Indonesia menunjukkan pendekatan proaktif FMG dalam memanfaatkan peluang di pasar energi hijau global.