Memburuknya Ekonomi Tiongkok Belum Pengaruhi Para Shopaholics

(Business Lounge – Global News) Pasar saham di Tiongkok merosot tajam selama beberapa waktu terakhir meskipun pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan untuk mengatasi anjloknya pasar saham. Namun hal ini tetap saja mempengaruhi perekonomian negara dengan populasi terbesar di dunia tersebut. Saham di Tiongkok telah melonjak sebesar 150% dalam 12 bulan terakhir hingga pertengahan Juni kemarin. Hal ini disebabkan karena para investor membeli saham dengan uang pinjaman dan saat saham mulai turun, para investor tersebut memaksa untuk menjual sahamnya untuk membayar utang mereka. Tindakan tersebut yang memicu anjloknya pasar saham di Tiongkok.

Perekonomian di Tiongkok kian menurun dan kini jatuh ke tingkat terendah sejak tahun 2007 lalu. Para investor asing tidak terpengaruh banyak dengan jatuhnya saham di Tiongkok mengingat bahwa hanya 2% saham di Tiongkok yang dimiliki oleh orang asing karena pemerintahan Tiongkok sangat membatasi jumlah investasi dari luar negeri. Namun kekhawatiran yang akan dihadapi nanti adalah efek dari perekonomian Tiongkok yang akan berdampak pada perekonomian dunia mengingat Tiongkok memegang peranan besar dalam ekonomi global. Selain itu, Tiongkok juga menjadi pembeli komoditas industri terbesar di dunia sehingga turunnya saham di Tiongkok akan berdampak pada ekonomi dunia nantinya.

Merupakan hal yang pasti bahwa penduduk Tiongkok yang akan menjadi korban terbesar akibat perekonomian negaranya yang sedang memburuk ini.

Namun ternyata jatuhnya perekonomian Tiongkok tidak mempengaruhi semua warganya, terutama warganya yang gemar berbelanja barang-barang mewah. Selama bertahun-tahun, warga Tiongkok memang dikenal memiliki kekuatan pasar yang kuat dalam perdagangan global akan barang-barang mewah seperti tas, jam tangan, perhiasan, parfum, dan pakaian mahal.

Banyak warga Tiongkok yang ditemukan di Bicester, Inggris, sebuah pusat tempat perbelanjaan barang-barang mewah di Inggris. John Guy, Direktur Pelaksana grup MainFirst di London mengatakan bahwa telah terjadi peralihan permintaan yang sangat tinggi terhadap barang-barang mewah, misalnya untuk jam tangan. John juga menyampaikan bahwa pendapatan kelas menengah penduduk Tiongkok diperkirakan akan naik lebih cepat dari perekonomian dikarenakan pihak berwenang di Tiongkok mencoba untuk mengalihkan fokus perekonomian pada manufaktur dan ekspor terhadap belanja konsumen sehingga dapat mempertahankan kemampuan pembeli untuk membeli barang-barang luar dalam jangka panjang, demikian seperti dilansir oleh WSJ.

Perbedaan mata uang, dikombinasikan dengan pajak yang tinggi serta penambahan biaya untuk barang-barang mewah impor di negeri asal membuat warga Tiongkok lebih memilih untuk membelinya di Eropa karena mereka yakin akan mendapat harga 30% lebih murah dibanding di negeri asalnya. Pemerintah Tiongkok baru-baru ini telah memotong tarif bea masuk impor dan produsen juga telah menurunkan harga agar warga Tiongkok tetap berbelanja di negeri asalnya. Namun tetap saja banyak pembeli mengatakan mereka lebih memilih berbelanja di Eropa.

Pembelanjaan yang dilakukan warga Tiongkok di  Inggris memang tidak setinggi dulu, namun Tiongkok tetap menjadi pembelanja terbesar di Inggris, menurut Global Blue, sebuah perusahaan pengembalian pajak belanja pariwisata yang berkantor pusat di Nyon, Swiss.

Pada tahun 2013, pembelanjaan warga Tiongkok menurun 34% dibanding dengan tahun sebelumnya. Di tahun 2014, menurun 6% dari tingkat pertumbuhan, perusahaan memperkirakan bahwa pembelanja Tiongkok menghabiskan setidaknya US$ 1,200 per transaksi di Inggris. Memang belum terlihat pengaruh yang significant, sebab WSJ melaporkan bagaimana wisatawan Hong Kong yang dan Tiongkok masih terlihat mengunjungi butik Dior di Paris.

Chintya Indah/VMN/BL/Contributor
Editor: Ruth Berliana

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x