(Business Lounge – Global News) Sebuah studi mempelajari bagaimana sebuah perusahaan yang sedang melaksanakan IPO (Initial Public Offering) atau biasa dikenal dengan go public, maka penampilan CEO-nya sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap harga sahamnya. Itulah sebabnya banyak pendapat mengatakan bahwa Wall Street hampir seperti sebuah kontes kecantikan.
Semakin si CEO menunjukkan gestures dan perilaku yang memancarkan kompetensi selama sesi promosi investor, atau si CEO dipandang atraktif atau dapat dipercaya, maka semakin besar juga kemungkinan baginya untuk memiliki IPO dengan harga lebih tinggi, demikian menurut penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Blankespoor dari Stanford University Graduate School of Business, Bradley Hendricks dari Kenan-Flagler Business School di University of North Carolina di Chapel Hill, dan Gregory Miller dari Stephen M. Ross School of Business di University of Michigan.
Temuan ini mungkin tidak mengejutkan bagi siapa saja yang bekerja pada sektor penjualan. Namun di ranah keuangan, investor sering kali terpengaruh dengan hal-hal yang sebenarnya dapat dikatakan sesuatu yang dangkal. Seharusnya lebih banyak peserta yang menjadi percaya oleh karena mereka terpengaruh dengan proyeksi pendapatan yang mengesankan, silsilah manajemen, atau perkiraan pangsa pasar.
“Anda memiliki informasi yang sudah ada dalam prospektus. Anda memiliki informasi tentang latar belakang CEO,” demikian dikatakan Blankespoor seperti dilansir oleh WSJ. “Hal apa yang penting saat bertemu dengan mereka?”
Untuk menjawab pertanyaan itu, Blankespoor, Hendricks, dan Miller beralih ke bidang psikologi. Mereka menggunakan konsep “thin-slicing” atau bagaimana otak manusia dapat menggunakan tayangan singkat untuk membuat keputusan. Psikolog telah menemukan bahwa orang mempelajari porsi yang mengejutkan tentang seseorang dengan mengamati gerakan ekspresif mereka.
Para profesor menggunakan kesan dari 900 orang secara acak, melalui Mechanical Turk service milik Amazon.com Inc. yang secara kelompok menyaksikan 224 orang CEO. Para peserta tidak diberitahu apa-apa tentang CEO atau perusahaannya. (Sangat jarang peserta ternyata mengenali si CEO, dan andaikata pun ada maka respon mereka dkeluarkan dari hasil survei ini.)
Setiap peserta diminta untuk melihat video presentasi yang berdurasi 30 detik dengan mengaburkan apa yang dikatakan oleh orang tersebut, untuk memastikan para peserta tidak terpengaruh oleh area yang dijelaskannya dan kemudian peserta diminta untuk menilai CEO pada tiga kriteria: daya Tarik, kompetensi, dan kepercayaan.
Mereka menemukan bahwa persepsi atas CEO adalah prediktor kuat dari harga IPO ini. Studi ini menemukan bahwa untuk CEO dengan nilai rata-rata, dengan peringkat 5% lebih tinggi pada persepsi, berkorelasi dengan harga IPO sekitar 11% lebih tinggi dari harga yang diharapkan berdasarkan fundamental saja.
Para peneliti menyesuaikan dengan faktor lain, termasuk jenis kelamin CEO atau latar belakang pendidikan, atau apakah perusahaan yang lebih menguntungkan cenderung memiliki CEO yang tampak lebih mengesankan. Sebuah rating tinggi pada kompetensi CEO adalah prediktor terbaik dari harga IPO yang lebih tinggi, diikuti oleh daya tarik. Sedangkan kepercayaan sebagai faktor yang terakhir dianggap penting, meskipun masih terbilang penting.
Hasilnya memberikan penjelasan mengapa investor mempertimbangkan roadshow adalah sebuah hal yang penting, demikian dikatakan Blankespoor. “Bagian dari pekerjaan CEO adalah untuk dapat hadir dan menyampaikan kisah perusahaan,” demikian dikatakannya.
Khususnya, perusahaan yang dijalankan oleh CEO dengan skor impresif yang lebih tinggi masih memiliki saham yang baik dengan kinerja yang juga baik pada satu tahun setelah IPO. Hal ini menunjukkan bahwa investor tidak hanya ditipu oleh si pembicara secara halus, tapi mungkin akan membuat keputusan yang rasional bahwa CEO yang mengesankan menjadi pertanda baik bagi kinerja di masa depan perusahaan, demikian ditambahkan Blankespoor. “CEO akan membuat kesan pertama lagi dan lagi,” demikian dikatakannya.
citra/VMN/BL/Journalist
Editor: Ruth Berliana
Image : pixabay