Di era modernitas tersedianya teknologi yang semakin maju, peran radio semakin langka. Bukan hanya tergusur oleh kehadiran internet dan perangkat digital lainnya, terkecuali televisi yang telah menjamah hingga ke pelosok dunia dan lebih menarik dari pada radio.
Adalah James Maxwell, seorang professor dari Cambridge yang menemukan gelombang-gelombang radio pertama kali di tahun 1864 setelah sekian berabad-abad sistem komunikasi berpindah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Penemuan tersebut diramalkan memiliki kecepatan gelombang bisa sampai 300.000 kilometer per detik. Setelah zaman penemuan gelombang tersebut, maka muncullah kemudian perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan penemuan itu, dengan memproduksi pesawat radio yang berfungsi sebagai penerima siaran radio.
Perkembangan zaman telah melahirkan perubahan radio dari waktu ke waktu. Mulai dari berbagai macam bentuk dan warna radio tabung yang diproduksi oleh negara-negara maju saat itu, seperti Inggris, Belanda, Italia, Perancis, Jerman, Rusia, Amerika, Jepang dan lainnya.
Sebagai bentuk kecintaan para komunitas audio Yogyakarta Padmaditya dan beberapa kolektor radio dari Magelang dan Semarang, terbentuklah pameran radio lama yang kedua kalinya dan bertajuk ‘Layang Swara’ setelah 15 tahun lamanya melewati pameran pertama kalinya dengan tema ‘Sekali di Udara Tetep di Udara’. Pameran ini telah dibuka kemarin, Kamis (24/4) yang bertempat di Bentara Budaya Jakarta, dan berlangsung hingga 3 Mei 2014. Kesempatan melihat pameran radio lama ini memberikan kesan tersendiri ketika membandingkan radio era kini yang telah memasuki era digital.
Sonang Elyas/Journalist/VM/BL
Editor: Iin Caratri
Foto: Sonang Elyas