(Business Lounge – Human Resources) Merancang pengalaman belajar bukanlah kegiatan satu langkah. Ia merupakan proses berulang — sebuah siklus yang terus bergerak seiring perubahan kebutuhan, konteks, dan pemahaman peserta. Tidak ada desain pembelajaran yang langsung sempurna. Setiap desain harus diuji, diamati, disesuaikan, dan diperbaiki. Inilah inti dari siklus merancang pengalaman belajar: proses berkelanjutan yang mengikuti cara manusia benar-benar belajar.
Siklus ini dimulai dari pemahaman tentang orang yang belajar. Tidak mungkin merancang pengalaman yang efektif tanpa mengetahui siapa pesertanya, apa yang mereka perlukan, dan masalah apa yang sedang mereka hadapi. Banyak program belajar gagal karena dirancang dari asumsi, bukan observasi. Kita sering menyangka tahu apa yang dibutuhkan peserta, padahal kebutuhan mereka bisa sangat berbeda dari bayangan kita. Karena itu, langkah pertama dalam siklus ini adalah mendengarkan.
Mendengarkan berarti mengumpulkan informasi melalui percakapan, observasi, atau refleksi bersama. Saat kita mendengar cerita peserta, kita mulai memahami apa yang penting bagi mereka. Kita belajar tentang apa yang membuat mereka frustrasi, apa yang ingin mereka capai, dan apa yang menghalangi mereka. Pemahaman ini bukan hanya tentang data, tetapi tentang konteks hidup mereka. Tanpa konteks, desain pembelajaran hanya menebak-nebak.
Setelah memahami peserta, langkah berikutnya adalah menentukan hasil yang ingin dicapai. Hasil ini harus jelas dan spesifik. Tujuan seperti “meningkatkan keterampilan komunikasi” terlalu umum. Tujuan yang efektif menjawab pertanyaan, Apa yang peserta akan bisa lakukan dengan cara yang berbeda setelah mengikuti pengalaman ini Dengan jawaban yang jelas, desain pembelajaran memiliki arah yang konkret.
Langkah selanjutnya adalah merancang pengalaman itu sendiri. Ini berarti memilih pendekatan, aktivitas, dan materi yang paling sesuai untuk mencapai hasil tadi. Dalam tahap ini, perancang harus selalu kembali ke kebutuhan peserta. Tidak semua teknik harus digunakan. Tidak semua metode efektif untuk semua orang. Yang penting adalah menciptakan pengalaman yang membuat peserta aktif, terlibat, dan merasakan relevansi materi dengan kehidupan mereka.
Sering kali, kesalahan terbesar dalam desain terjadi ketika fokus bergeser dari peserta ke konten. Pembuat materi menjadi sibuk membuat slide, menulis modul, atau menyiapkan daftar panjang apa yang ingin disampaikan. Hasilnya, peserta kewalahan dengan informasi yang tidak membentuk pemahaman. Merancang pengalaman belajar bukan soal memberi informasi yang banyak, tetapi memberi pengalaman yang tepat.
Setelah desain dibuat, langkah berikutnya adalah mengujinya. Pengujian tidak harus berskala besar. Sering kali cukup dengan mencoba desain pada sekelompok kecil peserta atau bahkan satu orang. Melalui pengujian, kita bisa melihat apakah pengalaman itu bekerja sebagaimana yang dibayangkan. Kita bisa melihat bagian mana yang membingungkan, bagian mana yang terlalu cepat, atau bagian mana yang tidak relevan. Tanpa pengujian, kita hanya mengandalkan asumsi.
Pengujian memberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan. Tidak ada desain yang langsung sempurna, dan itu bukan kegagalan. Itu bagian alami dari siklus. Ketika peserta memberikan umpan balik, baik secara eksplisit atau melalui perilaku mereka, kita mendapat data penting untuk memperbaiki pengalaman. Mungkin aktivitas tertentu tidak menarik perhatian, mungkin instruksi terlalu rumit, atau mungkin contoh yang diberikan tidak sesuai konteks. Semua itu adalah bagian dari proses belajar.
Langkah berikutnya adalah memperbaiki desain berdasarkan apa yang ditemukan. Dalam tahap ini, perancang harus bersedia melepaskan bagian-bagian yang tidak bekerja dan menambahkan pendekatan yang lebih efektif. Perbaikan mungkin membutuhkan penyesuaian besar atau kecil. Yang penting adalah sikap fleksibel dan keinginan untuk mencari cara yang lebih baik. Desain pembelajaran yang baik bukan yang paling rumit, tetapi yang paling responsif terhadap kebutuhan nyata peserta.
Siklus ini tidak berhenti setelah satu perbaikan. Ia terus berulang. Setelah perbaikan dilakukan, desain diuji ulang, diamati lagi, dan disempurnakan lagi. Setiap putaran siklus membuat desain semakin matang dan selaras dengan cara peserta belajar. Semakin sering siklus dilakukan, semakin kuat pengalaman belajar yang tercipta.
Dalam proses ini, perancang tidak boleh mengabaikan aspek manusiawi dari pengalaman belajar. Peserta tidak hanya membutuhkan informasi, tetapi juga rasa aman, kesempatan untuk mencoba, dan ruang untuk gagal tanpa takut dihakimi. Mereka perlu melihat bahwa pengalaman belajar dirancang untuk membantu, bukan menguji. Ketika peserta merasa pengalaman tersebut relevan dan mendukung, mereka lebih terbuka untuk belajar.
Siklus merancang pengalaman belajar juga menuntut kesadaran akan batas perhatian manusia. Desain harus mempertimbangkan ritme belajar. Tidak mungkin peserta fokus tanpa jeda. Tidak mungkin mereka mencerna informasi bertumpuk tanpa kesempatan untuk mempraktikkan. Jeda, variasi, dan umpan balik harus menjadi bagian dari desain, bukan tambahan belakangan.
Selain memperhatikan ritme, perancang harus memastikan bahwa pengalaman belajar memberikan kesempatan bagi peserta untuk membangun makna. Memberikan informasi saja tidak cukup. Peserta perlu menghubungkan informasi itu dengan pengalaman mereka sendiri — melalui diskusi, refleksi, atau aplikasi langsung. Tanpa langkah ini, belajar menjadi dangkal. Dengan langkah ini, belajar menjadi relevan.
Dalam konteks organisasi, siklus desain pengalaman belajar juga harus mencerminkan realitas kerja. Pembelajaran tidak boleh terpisah dari kehidupan nyata. Jika pembelajaran tidak bisa diaplikasikan langsung, ia kehilangan nilai. Karena itu, desain perlu mempertimbangkan lingkungan peserta: tantangan pekerjaan, budaya organisasi, dan dukungan yang tersedia. Pengalaman belajar yang tidak mempertimbangkan konteks ini akan mudah dilupakan.
Setiap putaran dalam siklus membawa pemahaman baru. Kita belajar bahwa asumsi awal mungkin salah. Kita belajar bahwa peserta memiliki cara berbeda untuk memahami sesuatu. Kita belajar bahwa pengalaman yang efektif sering kali sederhana, bukan rumit. Dan kita belajar bahwa desain pembelajaran yang baik dibangun bukan dari keyakinan kita sendiri, tetapi dari ketepatan merespons orang lain.
Siklus merancang pengalaman belajar adalah proses yang suka atau tidak suka akan selalu berulang. Tidak ada tahap “selesai”. Dunia berubah, kebutuhan peserta berubah, pemahaman baru muncul, dan desain harus selalu menyesuaikan. Siklus ini menuntut kesabaran dan kerendahan hati — pengakuan bahwa pembelajaran adalah perjalanan sepanjang hayat, tidak hanya bagi peserta, tetapi juga bagi perancangnya.
Yang membuat siklus ini bermakna adalah kenyataan bahwa setiap perbaikan dalam desain dapat membantu seseorang memahami sesuatu yang sebelumnya membingungkan, atau membuat seseorang menemukan cara baru untuk menghadapi tantangan. Setiap iterasi dalam siklus berpotensi mengubah cara seseorang melihat dunia atau menjalankan pekerjaannya.
Dan mungkin di situlah nilai terbesar dari siklus ini: ia mengingatkan kita bahwa belajar adalah proses adaptasi terus-menerus. Bukan hanya bagi peserta, tetapi juga bagi orang yang merancang pengalaman mereka. Siklus merancang pengalaman belajar adalah cerminan dari cara manusia berkembang — perlahan, melalui percobaan, koreksi, dan pemahaman yang semakin matang.

