IBM

IBM Pimpin Lomba Komputasi Kuantum

(Business Lounge – Tech) Komputasi kuantum telah lama disebut sebagai “perlombaan senjata” teknologi abad ke-21. Janjinya adalah melampaui batas kemampuan komputer klasik dengan memanfaatkan hukum fisika kuantum ewsuntuk melakukan perhitungan jauh lebih cepat dan kompleks. Di tengah persaingan ketat antara Google, Amazon, Microsoft, hingga berbagai startup spesialis, muncul satu nama yang barangkali mengejutkan banyak orang: International Business Machines, atau yang lebih dikenal dengan IBM.

IBM yang sering disebut sebagai raksasa tua teknologi kini justru muncul sebagai salah satu pemimpin dalam lomba meraih apa yang disebut quantum advantage—momen ketika komputer kuantum dapat secara nyata mengungguli komputer klasik dalam menyelesaikan perhitungan dunia nyata. Menurut laporan Financial Times dan Bloomberg, IBM bahkan menjadi perusahaan yang paling agresif dalam merilis peta jalan (roadmap) pengembangan kuantum yang terukur, lengkap dengan target tahun per tahun.

Bagi IBM, langkah ini lebih dari sekadar ajang mempertahankan relevansi. Selama dua dekade terakhir, perusahaan yang dulu identik dengan mainframe ini menghadapi berbagai tantangan dalam bisnis tradisionalnya. Di era cloud computing, mereka harus bersaing dengan Amazon Web Services, Microsoft Azure, dan Google Cloud. Namun, alih-alih mundur, IBM memilih untuk menggandakan taruhannya pada teknologi masa depan. Dengan komputasi kuantum, mereka berharap bisa mengukir kembali identitas sebagai pelopor inovasi.

Sejauh ini, hasilnya cukup menjanjikan. IBM telah merilis prosesor kuantum Eagle dengan 127 qubit pada 2021, disusul prosesor Osprey dengan 433 qubit pada 2022, dan rencana lebih ambisius untuk meluncurkan prosesor Condor dengan lebih dari 1.000 qubit. Selain itu, IBM memperkenalkan konsep Quantum System Two, sebuah arsitektur modular yang memungkinkan beberapa prosesor kuantum saling terhubung untuk memperluas kapasitas komputasi. Model ini dipandang sebagai jawaban realistis terhadap masalah skalabilitas yang selama ini membayangi pengembangan kuantum.

Namun, IBM tidak hanya mengandalkan perangkat keras. Perusahaan ini juga mengembangkan ekosistem perangkat lunak dan layanan cloud berbasis kuantum melalui IBM Quantum Experience. Layanan ini memungkinkan peneliti, akademisi, hingga perusahaan untuk mengakses komputer kuantum IBM dari jarak jauh, menguji algoritme, dan bereksperimen dengan berbagai aplikasi. Langkah ini memperluas basis pengguna, sekaligus mempercepat adopsi teknologi kuantum dalam dunia nyata.

Tidak heran, banyak perusahaan besar kini menjalin kerja sama dengan IBM. Sektor farmasi menggunakan komputasi kuantum untuk mempercepat penemuan obat, industri keuangan memanfaatkannya untuk optimasi portofolio dan manajemen risiko, sementara perusahaan energi tertarik untuk menerapkannya dalam simulasi molekul kompleks untuk pengembangan material baru. Dengan demikian, IBM menempatkan diri bukan hanya sebagai penyedia teknologi, melainkan juga sebagai mitra strategis lintas industri.

Meski begitu, jalan menuju quantum advantage masih panjang. Sejumlah tantangan teknis masih membayangi, termasuk masalah error correction. Qubit, unit dasar komputasi kuantum, sangat rapuh terhadap gangguan lingkungan seperti getaran dan suhu. Tanpa mekanisme koreksi kesalahan yang andal, komputer kuantum sulit diandalkan untuk perhitungan berskala besar. IBM sendiri mengakui bahwa pengembangan error-corrected qubits adalah langkah krusial berikutnya.

Di sisi lain, persaingan kian memanas. Google sempat membuat gebrakan pada 2019 dengan klaim mencapai “supremasi kuantum” setelah prosesor kuantumnya berhasil menyelesaikan perhitungan yang tak mungkin dilakukan komputer klasik dalam waktu singkat. Microsoft mengambil pendekatan berbeda dengan berfokus pada qubit topologi, sementara Amazon membangun ekosistem kuantum melalui platform cloud Braket. Startup seperti Rigetti, IonQ, dan PsiQuantum juga menantang dengan pendekatan unik masing-masing.

Namun, ada yang membedakan IBM: konsistensi dan transparansi dalam melaporkan kemajuan. Alih-alih hanya membuat klaim spektakuler, IBM mempublikasikan roadmap kuantum jangka panjang yang menunjukkan langkah-langkah realistis dari tahun ke tahun. Hal ini memberi keyakinan kepada investor dan mitra industri bahwa perusahaan tidak hanya mengejar publisitas, tetapi benar-benar membangun fondasi teknologi yang berkelanjutan.

Dari perspektif bisnis, strategi kuantum IBM juga memiliki dampak reputasional yang penting. Dengan kembali menjadi sorotan sebagai inovator, IBM berhasil memposisikan dirinya bukan sekadar pemain masa lalu, melainkan bagian dari masa depan. Analis dari Bloomberg Intelligence menyebutkan bahwa posisi IBM dalam komputasi kuantum bisa menjadi katalis bagi valuasi perusahaan di pasar modal, terutama jika teknologi ini mulai memasuki fase komersial pada dekade mendatang.

Bagi dunia, implikasi keberhasilan IBM dalam perlombaan kuantum akan sangat besar. Di bidang kesehatan, simulasi molekul kompleks yang saat ini butuh waktu bertahun-tahun bisa dipangkas menjadi hitungan hari, mempercepat penemuan obat baru. Di sektor keuangan, analisis risiko pasar global dapat dilakukan dengan presisi lebih tinggi. Bahkan, dalam isu iklim, komputer kuantum bisa membantu merancang material baterai baru atau katalis untuk mengurangi emisi karbon.

Namun, tidak semua pihak optimistis. Ada yang mengingatkan bahwa hype berlebihan bisa memicu kekecewaan jika hasil nyata tak kunjung hadir. Sejumlah peneliti memperkirakan butuh waktu lebih dari satu dekade sebelum komputer kuantum benar-benar menggantikan atau melengkapi sistem komputasi klasik dalam skala luas. Dalam konteks ini, langkah IBM yang membagi pencapaiannya ke dalam target tahunan dianggap sebagai strategi untuk menjaga momentum sambil menurunkan risiko ekspektasi berlebihan.

Di Indonesia, isu komputasi kuantum memang masih terdengar futuristis. Namun, sejumlah universitas mulai melakukan riset awal, dan pemerintah memasukkan sains frontier seperti ini ke dalam peta jalan riset nasional. Jika pemain global seperti IBM membuka akses yang lebih luas melalui platform cloud, akademisi dan startup Indonesia berpotensi ikut terlibat lebih dini, sehingga tidak tertinggal ketika teknologi ini benar-benar matang.

Perlombaan kuantum bukan hanya tentang siapa yang pertama mencapai keunggulan teknis, tetapi juga siapa yang bisa membangun ekosistem, menciptakan aplikasi nyata, dan menjaga keberlanjutan bisnisnya. IBM, dengan segala pengalamannya sebagai pionir teknologi sejak era mainframe, kini menunjukkan bahwa “perusahaan tua” pun masih bisa memimpin ketika berani mengambil taruhan besar.

Ketika banyak orang beranggapan bahwa masa keemasan IBM telah lewat, perusahaan ini justru kembali ke panggung utama melalui komputasi kuantum. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah IBM bisa bertahan di era baru, melainkan sejauh mana ia mampu memimpin dunia memasuki babak revolusi komputasi berikutnya.