Saham AB Foods Turun Usai Kinerja Mengecewakan

Associated British Foods (AB Foods), perusahaan induk dari jaringan ritel busana murah Primark, mengalami tekanan di pasar saham setelah melaporkan kinerja keuangan yang mengecewakan. Saham perusahaan turun signifikan usai manajemen menyampaikan bahwa pertumbuhan penjualan Primark di paruh kedua tahun fiskal 2025 diperkirakan hanya bersifat moderat. Meski divisi makanan dari AB Foods berjalan sesuai ekspektasi, investor menyoroti perlambatan di bisnis ritel yang menjadi motor utama pertumbuhan.

Menurut laporan Financial Times dan Bloomberg, pelemahan kinerja Primark sangat memengaruhi sentimen pasar. Primark selama ini dikenal sebagai salah satu jaringan ritel fashion dengan pertumbuhan paling agresif di Eropa, bahkan ekspansinya ke Amerika Serikat sempat dipuji sebagai langkah strategis. Namun, tren belanja konsumen global yang menurun akibat inflasi tinggi membuat strategi harga murah sekalipun tidak mampu mengangkat kinerja secara signifikan.

Primark memang mengandalkan model bisnis berbasis volume, dengan margin yang lebih tipis dibandingkan pesaing seperti Zara dari Inditex atau H&M. Namun, dalam kondisi konsumen semakin selektif, strategi ini menjadi bumerang. Penurunan frekuensi belanja di segmen fast fashion membuat toko-toko besar Primark tidak seramai dulu, meskipun harga produk relatif lebih rendah dibanding kompetitor.

Manajemen AB Foods berusaha meredam kekhawatiran dengan menekankan bahwa mereka masih melihat peluang pertumbuhan di pasar inti. Primark tetap mencatatkan pertumbuhan penjualan tahunan secara keseluruhan, meski lebih lambat dari perkiraan analis. Di sisi lain, bisnis makanan AB Foods, termasuk merek gula dan bahan baku roti, berjalan stabil sesuai target. Namun, investor tetap fokus pada kinerja Primark yang menjadi kontributor terbesar terhadap pendapatan.

Menurut Reuters, investor sempat berharap bahwa Primark bisa memanfaatkan tren “value shopping” atau belanja hemat di tengah inflasi. Namun, kenyataannya konsumen justru menunda pembelian pakaian baru, bahkan di segmen harga terjangkau. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran perilaku belanja, di mana konsumen lebih mengutamakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok dan rekreasi ketimbang busana.

Persaingan juga semakin sengit. Inditex, pemilik Zara, melaporkan pertumbuhan yang lebih baik berkat strategi omnichannel yang kuat, sementara H&M berfokus pada digitalisasi dan keberlanjutan. Primark, yang selama ini menghindari penjualan online, kini mulai bereksperimen dengan layanan e-commerce terbatas. Meski langkah ini penting, investor menilai perusahaan terlambat dalam merespons pergeseran perilaku belanja digital yang semakin dominan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan tentang masa depan strategi Primark. Selama bertahun-tahun, keunggulan biaya dan skala besar dianggap sebagai kelebihan utama. Namun, dalam lanskap ritel baru yang ditandai dengan personalisasi, belanja online, dan tren keberlanjutan, pendekatan berbasis toko fisik dengan harga murah saja tampaknya tidak cukup. Banyak analis menilai bahwa Primark perlu mempercepat integrasi digital dan memperkuat narasi keberlanjutan untuk menarik konsumen muda yang semakin sadar lingkungan.

Meski saham AB Foods melemah, perusahaan menegaskan bahwa mereka tetap optimistis. CEO George Weston mengatakan bahwa investasi besar masih akan diarahkan untuk memperluas jangkauan Primark, termasuk membuka toko baru di pasar internasional. Ekspansi di AS dianggap sebagai salah satu prioritas utama, meski perjalanan ini penuh tantangan karena pasar fashion Amerika sangat kompetitif.

Dari sisi keuangan, AB Foods masih dalam posisi relatif kuat. Perusahaan memiliki neraca yang sehat dan arus kas stabil dari divisi makanan, yang berfungsi sebagai bantalan saat Primark menghadapi tekanan. Namun, karena Primark adalah wajah publik dari AB Foods, sentimen negatif terhadap kinerja ritel berdampak langsung pada harga saham perusahaan.

Analis dari JP Morgan menekankan bahwa investor kini ingin melihat bukti nyata bahwa Primark bisa beradaptasi dengan cepat terhadap tren digital. Tanpa strategi online yang jelas, sulit bagi Primark untuk mengejar ketertinggalan dari pesaing. Bahkan dengan harga murah sekalipun, konsumen modern semakin terbiasa dengan kenyamanan belanja online, sebuah tren yang tidak bisa diabaikan.

Selain itu, isu keberlanjutan juga menjadi titik tekan. Fast fashion semakin mendapat sorotan negatif karena dianggap mendorong konsumsi berlebihan dan limbah tekstil. Inditex dan H&M sudah meluncurkan lini produk berkelanjutan untuk merespons tren ini. Jika Primark tidak segera menyesuaikan diri, ada risiko mereka kehilangan relevansi di kalangan konsumen muda yang lebih peduli pada lingkungan.

Meski demikian, masih ada peluang besar bagi Primark untuk memperbaiki kinerja. Skala global dan efisiensi biaya memberikan ruang bagi perusahaan untuk menurunkan harga lebih agresif jika diperlukan. Selain itu, kehadiran fisik di lokasi-lokasi strategis tetap menjadi keunggulan, terutama bagi konsumen yang masih mengandalkan pengalaman belanja offline. Jika Primark bisa menggabungkan keunggulan toko fisik dengan strategi digital yang tepat, potensi pertumbuhan tetap terbuka.

Bagi AB Foods diversifikasi bisnis tetap menjadi kelebihan. Saat Primark menghadapi tekanan, divisi makanan berperan sebagai penopang stabilitas. Namun, untuk memulihkan kepercayaan investor, perusahaan harus membuktikan bahwa Primark bisa kembali menjadi motor pertumbuhan, bukan justru menjadi beban.

Laporan kinerja AB Foods terbaru menunjukkan bahwa pasar ritel fashion tetap berada dalam kondisi menantang. Primark, yang selama ini menjadi bintang, kini menghadapi tekanan untuk beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan persaingan digital. Saham yang turun menjadi refleksi dari kegelisahan investor terhadap strategi perusahaan. Bagi Primark, masa depan akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat me