konsultan

Ledakan AI Tinggalkan Konsultan dalam Bayang Janji

(Business Lounge – Entrepreneurship) Ledakan kecerdasan buatan (AI) sedang mendefinisikan ulang dunia bisnis dengan kecepatan yang jarang terlihat sebelumnya. Perusahaan di berbagai sektor, mulai dari keuangan, kesehatan, hingga manufaktur, berlomba mengadopsi teknologi generatif dan analitik berbasis AI untuk meningkatkan produktivitas dan menemukan aliran pendapatan baru. Namun, di tengah euforia ini, ada satu kelompok yang justru tampak tertinggal, perusahaan konsultan.

Menurut laporan Wall Street Journal, klien besar mulai mengeluhkan bahwa banyak firma konsultan manajemen dan teknologi yang terlalu cepat menjual janji besar seputar AI, namun gagal memberikan hasil yang sesuai. Beberapa perusahaan mengaku sudah membayar biaya jutaan dolar untuk proyek uji coba AI yang akhirnya tidak pernah beroperasi secara penuh. Keluhan ini mengguncang reputasi konsultan, yang selama ini dikenal sebagai mitra strategis dalam setiap gelombang transformasi bisnis.

Fenomena ini ironis, karena secara teori, konsultan seharusnya menjadi pihak yang paling diuntungkan dari revolusi AI. Mereka memiliki akses langsung ke eksekutif puncak, pengalaman dalam mengelola perubahan, serta kemampuan menjembatani kesenjangan antara teknologi baru dan kebutuhan bisnis. Namun, sebagaimana dicatat oleh Financial Times, masalah utamanya terletak pada ekspektasi yang tidak seimbang. AI generatif memang menawarkan potensi besar, tetapi implementasinya membutuhkan eksperimen, data berkualitas tinggi, dan integrasi menyeluruh yang sering kali memakan waktu lebih lama dari yang diproyeksikan.

Sebagian analis menilai kegagalan awal konsultan mencerminkan pelajaran yang sama seperti dalam era dot-com dua dekade lalu. Kala itu, banyak perusahaan tergoda dengan jargon internet tanpa strategi jelas, sementara konsultan ikut memperkuat hype. Kini, pola serupa terlihat dengan AI. Menurut Bloomberg, banyak firma konsultan tergoda untuk segera menjual proyek AI sebagai “kunci masa depan,” padahal mereka sendiri masih membangun keahlian internal.

Beberapa klien mulai beralih langsung ke penyedia teknologi. Perusahaan besar seperti Microsoft, Google, dan OpenAI menyediakan platform yang semakin ramah pengguna dan dilengkapi tim pendukung teknis. Akibatnya, eksekutif menilai mereka tidak selalu membutuhkan perantara konsultan untuk memulai. New York Times melaporkan bahwa sejumlah perusahaan farmasi dan bank multinasional kini langsung bermitra dengan penyedia AI untuk proyek-proyek kritis, memangkas biaya jasa konsultasi tradisional.

Namun, tidak semua berita buruk bagi dunia konsultan. Masih ada ruang besar untuk peran mereka, terutama dalam skala implementasi. Teknologi AI generatif bisa dibuat prototipe dalam hitungan minggu, tetapi mengintegrasikannya ke sistem warisan (legacy systems), melatih tenaga kerja, serta menyusun tata kelola data membutuhkan waktu bertahun-tahun. Di sinilah konsultan tetap relevan. Reuters menyoroti bagaimana Accenture, misalnya, berinvestasi miliaran dolar untuk melatih puluhan ribu konsultan dengan keterampilan AI dan membangun pusat inovasi global. Upaya ini bertujuan menjawab kritik klien dengan solusi nyata, bukan sekadar presentasi indah.

Tantangan lain yang dihadapi konsultan adalah diferensiasi. Selama bertahun-tahun, banyak firma mengandalkan metodologi serupa, dengan bahasa yang cenderung generik. Di era AI, pendekatan itu tidak lagi memadai. Klien menuntut pemahaman mendalam tentang alur data, kepatuhan regulasi, dan bahkan etika penggunaan AI. Firma konsultan yang tidak mampu membangun keahlian teknis khusus berisiko dianggap tidak relevan. Seperti dikemukakan dalam Harvard Business Review, masa depan konsultan terletak pada kemampuan untuk berperan sebagai arsitek ekosistem data, bukan hanya penasihat strategi di atas kertas.

Sementara itu, ledakan AI juga menciptakan paradoks. Di satu sisi, otomatisasi yang dihasilkan AI berpotensi mengurangi kebutuhan perusahaan akan tenaga konsultan dalam jumlah besar, karena banyak analisis dasar dapat digantikan oleh algoritme. Namun di sisi lain, AI membuka lapangan kerja baru bagi konsultan yang mampu berperan sebagai penerjemah antara teknologi dan strategi bisnis. Beberapa pakar menyebut peran ini sebagai “AI whisperer,” individu yang memahami keterbatasan teknologi sekaligus bisa menjelaskan nilai tambahnya dalam bahasa yang dimengerti CEO.

Persaingan antar firma juga semakin intens. CNBC melaporkan bahwa McKinsey, Bain, dan BCG semuanya mengumumkan inisiatif AI generatif khusus dalam setahun terakhir. Mereka menjanjikan klien solusi berbasis data, dari rantai pasok hingga pemasaran. Namun, sejumlah klien menilai bahwa diferensiasi nyata di antara mereka masih minim. Hal ini memunculkan risiko perang harga, yang bisa menekan margin keuntungan.

Jika ditarik ke gambaran besar, persoalan konsultan dalam menghadapi AI sebenarnya mencerminkan tantangan yang lebih luas: ketidakseimbangan antara hype dan kenyataan. Teknologi AI memang bertransformasi cepat, tetapi budaya organisasi, regulasi, dan kesiapan data bergerak lebih lambat. Konsultan berada di tengah-tengah dua kecepatan ini, dan sering kali terjebak dalam tekanan untuk menjanjikan hasil instan yang tidak realistis.

Meski demikian, masa depan belum tertutup. Sejumlah pakar percaya bahwa perusahaan konsultan yang bisa memposisikan diri secara tepat masih memiliki peluang besar. Misalnya, dalam bidang regulasi dan tata kelola. Pemerintah di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Asia sedang menyusun aturan ketat terkait privasi, keamanan data, dan bias algoritmik. Bagi perusahaan global, memahami lanskap regulasi lintas negara adalah tantangan besar. Konsultan dapat berperan penting membantu navigasi kompleksitas ini.

Selain itu, ada kebutuhan mendesak akan integrasi lintas industri. Perusahaan asuransi mungkin perlu memanfaatkan AI kesehatan, sementara bank perlu menggabungkan data ritel untuk analisis risiko. Konsultan yang mampu membangun jembatan antar industri bisa menciptakan nilai tambah unik yang sulit ditiru oleh penyedia teknologi murni. Financial Times menekankan bahwa justru di titik pertemuan lintas sektor inilah konsultan bisa mengklaim kembali relevansinya.

Bagi klien, pelajaran utamanya adalah bersikap realistis. AI bukan tongkat sihir yang langsung mengubah bisnis, melainkan alat yang membutuhkan strategi, investasi, dan kesabaran. Bagi konsultan, pelajaran utamanya adalah rendah hati. Menjual janji terlalu besar tanpa kapasitas nyata hanya akan mempercepat erosi kepercayaan.

Pada akhirnya, pertanyaan yang dihadapi dunia konsultan adalah apakah mereka mampu bertransformasi secepat teknologi yang mereka coba jual. Jika iya, mereka masih bisa menjadi pilar penting dalam revolusi AI, membantu perusahaan mengubah janji menjadi kenyataan. Jika tidak, mereka berisiko hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah salah satu transformasi teknologi paling besar abad ini.

Dalam ledakan AI, tampaknya pemenang sejati bukanlah pihak yang paling cepat berteriak soal masa depan, melainkan yang mampu menyeimbangkan antara ambisi dan implementasi. Konsultan kini berada di persimpangan jalan: memilih beradaptasi dengan rendah hati dan membangun kapasitas nyata, atau perlahan ditinggalkan oleh klien yang sudah terlalu sering kecewa.