General Mills

General Mills Hitung Ulang Strategi Pasar Global

(Business Lounge – Global News) Perusahaan raksasa makanan asal Amerika Serikat, General Mills, mengumumkan rencana besar untuk merombak struktur organisasinya dalam beberapa tahun ke depan, yang akan membawa dampak keuangan mencapai $130 juta. Angka ini bukan hanya sekadar catatan akuntansi, melainkan sinyal kuat bahwa lanskap industri makanan kemasan sedang berada di tengah guncangan besar, di mana preferensi konsumen berubah cepat, tekanan dari produk private label meningkat, dan ketidakpastian makroekonomi semakin terasa.

Menurut laporan yang disampaikan oleh Reuters, General Mills akan mencatat beban sekitar $70 juta pada kuartal saat ini sebagai bagian awal dari serangkaian biaya transformasi yang diproyeksikan akan berlangsung hingga akhir tahun fiskal 2028. Meski perusahaan belum merinci langkah-langkah konkret yang akan diambil dalam transformasi ini, indikasi awal menunjukkan bahwa sebagian besar dari biaya tersebut berkaitan dengan pengeluaran pesangon, sinyal bahwa reorganisasi personel dan efisiensi tenaga kerja menjadi inti dari strategi ini.

Sebagai pembuat merek-merek ikonik seperti Lucky Charms, Bisquick, Cheerios, dan makanan hewan peliharaan Blue Buffalo, General Mills berada di jantung dapur masyarakat Amerika selama lebih dari satu abad. Namun daya tahan merek tidak serta merta menjamin kelangsungan bisnis dalam dunia konsumer yang makin dinamis. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan menghadapi kenyataan bahwa pertumbuhan organik tidak lagi dapat ditopang semata-mata oleh warisan merek, melainkan harus ditunjang dengan inovasi yang agresif dan struktur biaya yang lebih ramping.

Food Business News mengutip manajemen General Mills yang menyebut langkah ini sebagai bagian dari dorongan untuk “mengatur ulang” operasi perusahaan secara menyeluruh. Dalam pernyataannya, General Mills menekankan bahwa langkah ini bukan sekadar pemangkasan, melainkan reposisi strategis untuk menghadapi tekanan dari berbagai sisi pasar, terutama di wilayah Amerika Utara. Di wilayah ini, General Mills mencatatkan pelemahan permintaan yang cukup signifikan untuk makanan ringan asin dan makanan hewan peliharaan, dua kategori yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan mereka.

Laporan keuangan sebelumnya juga mengindikasikan bahwa konsumen mulai mengalihkan preferensi mereka ke produk label pribadi yang lebih murah, terutama di tengah inflasi tinggi yang masih menggigit daya beli rumah tangga. Ketika masyarakat dipaksa lebih selektif dalam berbelanja, merek-merek ternama seperti General Mills harus berhadapan dengan pesaing yang tidak hanya lebih murah, tetapi juga semakin membaik dalam kualitas dan inovasi.

Dalam konteks ini, biaya restrukturisasi sebesar $130 juta bukanlah sekadar angka, melainkan refleksi dari kesediaan manajemen untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Meski tidak dijelaskan secara terperinci, besar kemungkinan biaya ini mencakup penutupan pabrik tertentu, penggabungan divisi, serta penghapusan posisi-posisi yang dinilai tidak lagi relevan dalam struktur bisnis baru. Langkah-langkah semacam ini memang membawa implikasi sosial dan emosional, terutama bagi karyawan, namun juga menunjukkan tekad perusahaan untuk bergerak lebih lincah dan responsif terhadap perubahan pasar.

Transformasi ini tidak datang tiba-tiba. Sejak pandemi COVID-19, General Mills telah mengamati pergeseran tajam dalam kebiasaan belanja konsumen. Jika di awal pandemi konsumen memborong produk makanan kemasan karena keterbatasan akses ke restoran, maka kini kecenderungannya justru berbalik: konsumen kembali ke preferensi makanan segar dan sehat, bahkan kembali makan di luar rumah dengan frekuensi yang lebih tinggi. Ini membuat produk-produk seperti sereal sarapan dan makanan beku kehilangan momentum, dan General Mills harus cepat membaca arah angin.

Di tengah proses ini, perusahaan juga mengumumkan target penghematan biaya tambahan sebesar setidaknya $100 juta pada tahun fiskal 2026. Ini di luar dari target efisiensi sebesar $600 juta dari program Holistic Margin Management (HMM) yang sudah berjalan sebelumnya. Seperti dilaporkan oleh Food Business News, manajemen menyatakan bahwa efisiensi biaya ini tidak hanya bertujuan memangkas beban operasional, tetapi juga membuka ruang untuk reinvestasi dalam inovasi produk dan ekspansi pasar.

Inovasi menjadi salah satu pilar yang terus digaungkan oleh General Mills, terutama dalam menghadapi generasi baru konsumen yang lebih sadar kesehatan, lebih terbuka terhadap alternatif nabati, dan lebih menuntut transparansi dalam rantai pasok makanan mereka. Ini menuntut tidak hanya reformulasi produk, tetapi juga reposisi merek agar tetap relevan dalam budaya konsumsi yang terus berubah.

Namun pasar tampaknya masih skeptis terhadap efektivitas strategi ini. Sepanjang tahun 2025, saham General Mills telah melemah lebih dari 15%, mencerminkan kekhawatiran investor terhadap daya saing jangka panjang perusahaan. Sejumlah analis pasar menilai bahwa transformasi besar ini, meski diperlukan, mungkin datang agak terlambat, terutama jika dibandingkan dengan rival-rival mereka yang lebih cepat beradaptasi dengan tren makanan sehat dan digitalisasi rantai distribusi.

Data terbaru dari Nasdaq menunjukkan bahwa saham General Mills (kode GIS) saat ini diperdagangkan pada kisaran $53,37, turun dari level tertinggi intraday di $54,30. Ini menandai penurunan yang cukup stabil dalam beberapa bulan terakhir, sejalan dengan tekanan yang dialami sektor consumer staples secara keseluruhan, yang bergulat dengan biaya bahan baku yang masih tinggi dan ketatnya pengeluaran rumah tangga.

Namun, penting dicatat bahwa perusahaan masih memiliki basis pendapatan yang kuat dan portofolio merek yang sangat dikenal luas. Dalam kondisi seperti ini, tantangannya bukan semata bertahan, melainkan bagaimana menyesuaikan mesin pertumbuhan mereka agar lebih sesuai dengan realitas ekonomi baru. Salah satu pendekatan yang diantisipasi adalah restrukturisasi jalur distribusi, termasuk optimalisasi e-commerce dan kemitraan ritel langsung.

General Mills juga diyakini sedang mempertimbangkan penyesuaian harga produk yang lebih sensitif terhadap pasar. Dalam konteks tekanan inflasi, strategi harga menjadi sangat penting. Jika terlalu agresif menaikkan harga, perusahaan berisiko kehilangan pelanggan ke produk pesaing. Namun jika terlalu lamban, margin keuntungan mereka bisa tergerus habis. Ini menuntut analisis granular dan kemampuan adaptasi yang sangat cepat dalam menetapkan harga berdasarkan kategori produk, lokasi geografis, dan tren konsumsi lokal.

Dari sisi global, General Mills juga tampaknya mulai mengalihkan sebagian fokusnya ke pasar internasional yang pertumbuhannya masih relatif sehat, seperti Amerika Latin dan Asia. Kawasan ini menawarkan dinamika demografis yang menguntungkan, di mana kelas menengah terus tumbuh dan permintaan terhadap makanan kemasan modern meningkat. Namun pasar ini juga memerlukan penyesuaian besar dalam formula produk dan strategi pemasaran agar dapat menembus budaya lokal yang sangat berbeda dengan pasar domestik di AS.

Langkah reorganisasi yang tengah diambil oleh General Mills sejalan dengan tren global di industri makanan, di mana banyak perusahaan besar melakukan “peremajaan strategis” untuk mempertahankan relevansi. Misalnya, pesaing seperti Kellogg’s telah memisahkan bisnis sereal dari bisnis makanan ringan menjadi dua entitas terpisah. Demikian pula Mondelez telah melakukan akuisisi agresif terhadap merek makanan ringan lokal di berbagai negara berkembang. Dalam konteks ini, langkah General Mills untuk merevitalisasi struktur dan portofolio mereka patut dilihat sebagai upaya bertahan sekaligus berkembang di tengah badai industri.

Tentu saja, perjalanan menuju restrukturisasi yang berhasil bukanlah hal yang sederhana. Selain aspek finansial dan operasional, General Mills juga harus menghadapi tantangan budaya organisasi. Memotong biaya dan merombak struktur tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perubahan mindset dalam organisasi. Budaya inovasi, keberanian mengambil risiko, dan ketahanan dalam menghadapi volatilitas pasar menjadi kunci dalam membangun fondasi baru perusahaan.

Sementara itu, pandangan analis ke depan masih terbagi. Sebagian melihat bahwa langkah ini dapat memperkuat posisi jangka panjang perusahaan jika dilakukan dengan disiplin dan eksekusi yang tepat. Namun sebagian lainnya tetap khawatir bahwa efisiensi semata tidak cukup untuk mengatasi pelemahan struktural dalam permintaan terhadap kategori produk tradisional General Mills. Transformasi sejati, menurut para pengamat, hanya bisa dicapai jika perusahaan juga berani merombak portofolio produk mereka secara lebih radikal dan menyesuaikan diri dengan paradigma makanan sehat, berkelanjutan, dan berbasis lokal yang kini mendominasi preferensi konsumen global.

Dengan beban $130 juta sebagai awal, General Mills tampaknya telah mengakui bahwa era kejayaan bisnis makanan kemasan seperti dulu sudah berakhir. Yang tersisa sekarang adalah bagaimana perusahaan-perusahaan lama ini menulis babak baru mereka, di tengah dunia yang makan lebih sehat, lebih sadar lingkungan, dan lebih menuntut dari sebelumnya.