(Business Lounge Journal – General Management)
Ketika Elliot Hill mengambil alih posisi CEO Nike pada 14 Oktober 2024, ia sudah mengetahui bahwa perusahaan sedang menghadapi tantangan besar. Namun, ada satu momen yang membuatnya menyadari betapa parahnya situasi yang dihadapi perusahaan raksasa olahraga ini.
Peristiwa itu terjadi pada Desember 2024, di Stadion AT&T di Dallas. Nike nyaris kehilangan salah satu kontrak paling pentingnya: perpanjangan kerja sama dengan NFL untuk menyediakan seragam tim. Dengan susah payah, Nike berhasil mengamankan kontrak tersebut, namun nyaris kehilangan kesepakatan itu menjadi peringatan besar bagi Hill tentang kondisi perusahaan.
“Roger adalah orang pertama yang saya hubungi setelah saya menjabat,” ujar Hill kepada Fortune, merujuk pada Roger Goodell, Komisaris NFL.
Meskipun berhasil mempertahankan kontrak, hampir kehilangan kerja sama tersebut menggambarkan krisis besar yang melanda Nike. Perusahaan ini menghadapi tahun terburuknya dalam beberapa dekade. Penjualan global menurun drastis, dan saham Nike jatuh hingga 60% dari puncaknya pada 2021. Masalah yang dihadapi Nike bukan hanya keuangan, tetapi juga meliputi tantangan budaya dan strategi bisnis.
Transformasi Digital yang Berbalik Arah
Di bawah kepemimpinan CEO sebelumnya, John Donahoe, Nike mengalami kemunduran dalam upaya transformasi digital. Donahoe sangat mendorong transisi ke e-commerce, namun langkah tersebut justru membawa dampak buruk. Transformasi digital yang dilakukan Nike di bawah kepemimpinan John Donahoe memang menuai banyak kontroversi. Meskipun niatnya baik untuk membawa Nike ke era digital, namun eksekusinya yang terburu-buru dan kurang matang justru berdampak negatif.
Sebagai bagian dari strategi digitalisasi, Nike memutus hubungan dengan sejumlah peritel besar seperti Macy’s, DSW, dan Foot Locker. Keputusan ini diambil untuk fokus pada penjualan daring melalui platform internal Nike. Namun, keputusan itu membuat hubungan dengan mitra bisnis utama menjadi rusak. Selain itu, Nike harus memberhentikan ratusan karyawan, termasuk eksekutif senior, demi merampingkan operasionalnya.
Pada April 2024, ia menyatakan frustrasi terhadap tren kerja jarak jauh, mengklaim bahwa “sepatu yang benar-benar inovatif tidak dapat diciptakan melalui Zoom.”
Memang, e-commerce adalah masa depan retail, namun Nike dianggap terlalu cepat meninggalkan mitra ritel tradisional. Hubungan yang sudah terjalin lama dengan peritel besar seperti Macy’s dan Foot Locker sangat berharga. Mereka memiliki jaringan toko fisik yang luas dan basis pelanggan yang loyal. Dengan memutus hubungan ini, Nike kehilangan akses ke pasar yang besar dan juga merusak kepercayaan mitra bisnis.
Nike sepertinya terlalu fokus pada membangun platform e-commerce yang kuat tanpa mempertimbangkan pengalaman pelanggan secara keseluruhan. Pengalaman berbelanja online dan offline harus saling melengkapi. Pelanggan ingin memiliki fleksibilitas untuk mencoba produk secara fisik di toko sebelum membelinya secara online, atau sebaliknya.
Pemutusan hubungan kerja terhadap ratusan karyawan, termasuk eksekutif senior, tentu saja berdampak negatif pada moral karyawan yang tersisa. Keahlian dan pengalaman yang hilang akibat PHK ini sulit untuk digantikan dalam waktu singkat.
Pernyataan Donahoe tentang “sepatu inovatif tidak bisa diciptakan melalui Zoom” menunjukkan bagaimana Donahoe belum melihat secara detil potensi teknologi dalam proses kreatif. Banyak perusahaan telah berhasil memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kolaborasi dan inovasi, bahkan dalam industri kreatif seperti desain sepatu.
Krisis yang Dialami Nike

Jika kita mengamati permasalahan yang dialami oleh Nike berdasarkan The Crisis Management Cycle, maka krisis yang dihadapi Nike dapat dianalisis melalui tiga tahapan:
- Tahap Pra-Krisis (Pre-Crisis Stage)
Pada tahap ini, perusahaan gagal mengenali tanda-tanda peringatan awal:
- Kesalahan Strategis: Pemutusan hubungan dengan mitra ritel besar melemahkan jaringan distribusi.
- Ketergantungan pada inovasi tunggal: Fokus berlebihan pada e-commerce menciptakan risiko operasional tinggi.
- Pengabaian pada stakeholder: Kepercayaan mitra bisnis dan karyawan tergerus karena keputusan strategis yang terburu-buru.
- Tahap Krisis (Crisis Stage)
Dampak krisis terlihat melalui berbagai aspek:
- Keuangan: Penjualan global menurun tajam dan saham jatuh.
- Strategi: Hampir kehilangan kontrak NFL menunjukkan lemahnya daya saing Nike.
- Budaya dan Organisasi: PHK massal dan kritik terhadap kerja jarak jauh mencerminkan tantangan internal yang signifikan.
- Reputasi: Hubungan yang rusak dengan mitra ritel memperburuk citra perusahaan.
- Tahap Pascakrisis (Post-Crisis Stage)
Dengan Elliot Hill sebagai CEO, Nike memasuki fase pemulihan:
- Pemulihan hubungan stakeholder: Hill bekerja untuk membangun kembali hubungan dengan mitra ritel.
- Fokus kembali pada nilai inti: Strategi difokuskan pada olahraga dan performa.
- Pendekatan jangka panjang: Memperbaiki stabilitas perusahaan menjadi prioritas utama.
- Inovasi strategis: Alih-alih bereksperimen, Nike memanfaatkan produk-produk nostalgia untuk memperkuat posisinya.
Kepemimpinan Baru, Harapan Baru
Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di Nike, Elliot Hill langsung mengambil langkah untuk mengatasi berbagai masalah mendesak. Pada sesi laporan keuangan Desember, Hill mengumumkan rencana strategis yang mengedepankan fokus pada inti bisnis Nike: olahraga dan performa. Ia juga menekankan pentingnya memperbaiki hubungan dengan para peritel yang selama ini terabaikan.
Meskipun proses pemulihan ini tidak akan berjalan cepat, Hill menekankan bahwa fokus utama adalah pada strategi jangka panjang. Pendekatan ini, meski terasa menyakitkan dalam jangka pendek, dianggap penting untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan Nike ke depan.
Strategi Perubahan
Saat ini, Nike melakukan penyesuaian besar-besaran. Perusahaan mulai mengurangi kegiatan pemasaran melalui tim tren di 12 kota besar dunia. Sebaliknya, Nike mengandalkan nostalgia terhadap produk legendarisnya, seperti Air Jordan dan Dunk, untuk mempertahankan loyalitas konsumen.
Terobosan baru dalam inovasi sepatu—yang sebelumnya menjadi pilar pertumbuhan Nike—sementara ini dikesampingkan, menurut laporan Fortune. Selain itu, rencana untuk memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) masih menjadi tanda tanya, seperti halnya dampak tarif baru yang akan diberlakukan pada masa kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Fokus Masa Depan
Melihat ke depan, Nike berfokus pada personalisasi produk dan mencari cara baru untuk terhubung dengan konsumen, terutama di era media sosial. Pendekatan ini diharapkan dapat memperkuat hubungan merek dengan konsumennya, sekaligus membuka peluang baru di pasar yang terus berubah.
Namun, perjalanan ini tidak mudah. Elliot Hill menghadapi tantangan besar untuk mengembalikan kejayaan Nike, sambil menjaga stabilitas di tengah gejolak industri.
Pembelajaran dari Krisis Nike
Krisis yang dialami Nike menawarkan pelajaran berharga dalam manajemen krisis:
- Deteksi dini: Kemampuan untuk mengenali tanda-tanda awal krisis harus diperkuat.
- Komunikasi efektif: Hubungan transparan dengan stakeholder penting untuk membangun kepercayaan.
- Fleksibilitas strategi: Nike harus lebih responsif dalam menyesuaikan pendekatan bisnis.
- Fokus pada nilai inti: Mengembalikan fokus pada identitas merek adalah kunci pemulihan.
Dengan menerapkan langkah strategis yang berfokus pada manajemen krisis, Nike berpotensi bangkit dari keterpurukan. Namun, keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk belajar dari kesalahan masa lalu dan beradaptasi dengan perubahan di industri olahraga global.

