(Business Lounge Journal – General Management) Semakin canggih suatu teknologi, mestinya ia semakin rumit, kompleks dan susah dipahami. Begitukah? Rasanya hanya orang keblinger yang punya anggapan semacam itu.
Mestinya sebaliknya. Semakin canggih, mestinya semakin simpel dan mudah dipahami. Simak saja ungkapan pakar fisika Albert Einstein. Cara dia menilai apakah gagasan kita simpel atau rumit justru sangat sederhana. Begini caranya, “Kalau Anda tidak bisa menjelaskan gagasan Anda kepada anak yang berusia enam tahun, itu artinya Anda sendiri tidak mengerti apa sesungguhnya yang menjadi isi gagasan Anda.”
Simpel bukan! Kecuali Anda meragukan kepintaran Einstein dan punya pandangan yang lain, silakan saja.
Di dunia banyak produsen atau pengusaha yang terobsesi dengan kesederhanaan. Maksudnya, kalau bisa mereka ingin membuat produk yang sesederhana mungkin atau bisnis dan prosesnya didesain sesimpel mungkin. Masalah yang rumit pun kalau bisa dibuat menjadi sederhana. Meski kenyataannya tidak mudah, tapi banyak yang berhasil melakukannya.
Contohnya ada di mana-mana. Bicara produk, misalnya, Anda tahu Swiss Army? Ini boleh dibilang alat yang serba guna. Di dalam satu alat tersebut ada beragam fungsi, ada pisau, ada obeng, gunting, bahkan alat pembuka botol juga tersedia. Betul-betul perangkat yang serba guna. Anda tahu apakah yang menjadi kekuatan Swiss Army sehingga disukai oleh begitu banyak orang? Bukan karena kompleksitasnya, melainkan karena kesederhanaannya.
Sederhananya begini, jika kita ingin memakainya sebagai gunting, cukup keluarkan bagian guntingnya saja dan bagian yang lain tetap tersimpan di dalam. Atau, jika kita ingin menggunakannya sebagai obeng, cukup keluarkan bagian obeng, lainnya dapat kita biarkan tetap tersimpan di dalam. Betul-betul simpel.
Ide Swiss Army ini sangat sejalan dengan gagasan Leonardo da Vinci. Katanya, “Simplicity is the ultimate sophistication.” Canggih itu mestinya sederhana, bukan njlimet.
Ide inilah yang ditiru oleh produsen banyak peranti, termasuk perangkat canggih sekali pun. Contohnya produk-produk buatan Apple. Steve Jobs, pendiri Apple, dalam merancang produknya selalu berpegang pada prinsip sederhana. Maksudnya, buatlah produk yang bisa digunakan oleh kalangan apa saja.
Prinsip ini kemudian tercermin pada gadget-gadget buatan Apple. Misalnya iPod, cobalah cek iPod ternyata hanya memiliki lima tombol. Begitu juga dengan iPad atau iPhone. Hanya fitur-fitur yang ingin dipakai saja yang muncul. Lainnya tetap tersimpan. Mirip bukan dengan prinsip Swiss Army?
Kita tahu, berkat kesederhanaannya, produk-produk Apple justru mampu menguasai pasar. Sayangnya pengguna Apple kerap kurang menyadari hal ini, sehingga sebagian dari mereka malah dengan sombongnya berucap, “Di dunia hanya ada dua kelompok pengguna komputer, yakni mereka yang memakai Apple dan mereka yang ingin memakai Apple.”
Fenomena serupa juga bisa dijumpai pada berbagai gadget yang kita pakai sekarang ini. Dulu ponsel kita memiliki begitu banyak tombol. Lihat saja keyboard-nya yang bahkan bisa memenuhi area bagian depan ponsel, sehingga tampilan layarnya malah menjadi terbatas.
Sekarang cobalah Anda bandingkan ponsel masa lalu dengan smartphone alias ponsel pintar. Produsen smartphone justru membuatnya menjadi lebih simpel dengan mengurangi banyak tombol. Bahkan itu pun masih disederhanakan lagi dengan penerapan teknologi touchscreen atau layar sentuh. Dengan teknologi itu, hanya fitur-fitur yang ingin kita pergunakan saja yang muncul. Fitur-fitur lainnya tetap tersembunyi. Lagi, persis seperti Swiss Army.
Bisnis dan dunia pendidikan kita, mestinya seperti itu. Guru atau dosen sebaiknya jangan menjejali mahasiswa dengan begitu banyak pelajaran—yang sebagian besar di antaranya mungkin tidak akan dipakai dalam dunia kerja. Sayangnya yang terjadi kerap sebaliknya, banyak guru atau dosen yang menganggap semua pelajaran penting. Padahal, kalau Anda menganggap semuanya penting, itu sama saja artinya dengan semuanya tidak penting. Jadi, tetaplah sederhana!
JB Soesetiyo/VMN/BL/Podomoro University
Editor: Fanya Jodie
Image : Business Lounge Journal

