pekerja

Innovation Without Empathy Has No Soul

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Paula Abdon-Vautrot adalah seorang profesional HR dan startup health-tech. Dalam sebuah interview yang dipublikasikan di sebuah media, Paula menjelaskan bagaimana dalam posisinya, ia dan mereka yang seprofesi dengan dia akan selalu mengikuti perkembangan bidang AI, kesehatan digital, dan manajemen sumber daya manusia. Saat ini Paula Paula Abdon-Vautrot menjabat sebagai HR Lead di Mesh Bio, sebuah perusahaan healthtech berbasis di Singapura yang mengembangkan Human Digital Twin—teknologi predictive AI yang menciptakan replika digital tubuh manusia untuk mendeteksi penyakit lebih dini, memprediksi progresi klinis, dan membantu intervensi medis sebelum terlambat. Mesh Bio bekerja sama dengan rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan di Asia Tenggara untuk mendorong sistem kesehatan yang lebih proaktif dan preventif.

Bekerja di Mesh Bio, menjadi titik balik bagi Paula. Setelah bertahun-tahun berpindah industri, ia akhirnya menemukan persinggungan yang selaras antara kompetensi, value, dan purpose.

Memasuki usia 40 tahun, Paula mulai mencari makna yang lebih besar. “Yang saya kejar sekarang adalah purpose dan memberi dampak,” ujarnya. Teknologi kesehatan yang mampu menyelamatkan nyawa menjadi jawaban yang ia cari. Teknologi Human Digital Twin—replica virtual berbasis data biologis pasien—membuka peluang diagnosis dan intervensi dini. Bagi Paula, bekerja dengan teknologi yang menyentuh hidup manusia seperti ini mengubah standar kariernya.

Ia membawa pelajaran kepemimpinan dari industri sebelumnya: fleksibilitas, perpaduan EQ–IQ–CQ, dan kemampuan membaca keragaman manusia. Namun Mesh Bio memberikan sesuatu yang berbeda—keselarasan nilai antara dirinya dan para pendiri. “Visi Dr. Andrew Wu dan Arsen Batagov menginspirasi saya. Mereka rendah hati, dan percaya digital innovation bisa mentransformasi layanan kesehatan,” kata Paula. “Nilai-nilai perusahaan—Respect, Responsibility, Humility, Honesty, Service, dan Stewardship—selaras dengan prinsip hidup saya.”

Teknologi yang Melayani Manusia—Termasuk di Dalam Perusahaan

Mesh Bio dikenal dengan misi besarnya: menggunakan AI untuk mendeteksi penyakit lebih cepat. Namun apakah prinsip human-centered ini juga berlaku di dalam organisasi? Paula memastikan hal itu bukan jargon. “Filosofinya sederhana: teknologi harus memperkuat pengalaman manusia—baik bagi pasien maupun tim internal.”

Ia bersama CEO mengembangkan pendekatan berbasis data yang tetap berakar pada empati. Tools digunakan untuk identifikasi peluang belajar, kolaborasi, dan kesejahteraan, tetapi tidak menggantikan sentuhan manusia. “Inovasi harus dipandu oleh objective empathy,” tegasnya.

Empati di Tengah Hustle

Lingkungan yang tumbuh cepat sering membuat kecepatan dan empati tampak saling bertentangan. Bagi Paula, keduanya bisa berjalan bersama—dengan intensionalitas.

Ia rutin melakukan random check-in, mengalokasikan waktu khusus untuk percakapan terbuka, dan menguatkan budaya komunikasi lintas wilayah. “Koneksi tidak bisa mengandalkan kebetulan. Harus dijadwalkan,” katanya.

Nasihat dari para mentor terus melekat padanya: innovation without objective empathy has no soul. Bukan sekadar kalimat manis—ini peringatan bahwa teknologi mudah kehilangan arah jika tidak dikaitkan dengan realitas manusia.

Ketika Presisi Bertemu Psychological Safety

Di dunia teknologi kesehatan, kesalahan kecil bisa berdampak besar. Namun menurut Paula, tekanan presisi justru memperkuat urgensi untuk menciptakan psychological safety. “Presisi menyelamatkan nyawa. Tapi kesejahteraan menjaga performa,” ujarnya. Tim yang lelah membuat lebih banyak kesalahan—sementara tim yang aman untuk berbicara justru menangkap masalah lebih cepat.

Mesh Bio menyeimbangkan keduanya: fleksibilitas, target realistis, budaya speak-up, dan kepemimpinan yang terbuka terhadap umpan balik. CEO dan COO memegang peran penting dalam memastikan keseimbangan ini nyata, bukan deklaratif.

Tiga Kualitas HR Leader Masa Depan

Berdasarkan perjalanan karier dan bimbingan para mentornya, Paula menyimpulkan tiga kualitas yang wajib dimiliki HR leader di era teknologi:

1. Intellectual humility & openness
Rasa ingin tahu untuk memahami teknologi dan kesediaan “unlearn to learn”. Banyak pemimpin gagal bukan karena kurang skill, tapi karena terlalu terikat pada cara lama.

2. Courage & balanced decision-making
Keberanian mengambil keputusan berdasarkan data sekaligus empati. Serta keberanian untuk gagal dan belajar.

3. Compassion & authenticity
Memimpin dengan ketulusan di dunia yang semakin digital-first. Teknologi boleh berkembang, tapi manusia tetap pusatnya.

Sukses sebagai Warisan Kolektif

Bagi Paula, kesuksesan bukan soal pencapaian individu. “Sukses itu kolektif,” katanya. “Tentang apa yang kita capai bersama, dan bagaimana pekerjaan kita memberi kehidupan tambahan bagi orang lain.”

Meski berpindah industri, ia tetap menjalin hubungan dengan para mentee dan mantan rekan kerja yang masih menghubunginya untuk meminta arahan. Pertumbuhan orang lain menjadi kepuasan tersendiri. “Saya ingin Mesh Bio dikenang sebagai perusahaan yang teknologi dan budayanya sama-sama memuliakan manusia,” ujarnya. “Jika itu terjadi—itulah warisan yang ingin saya tinggalkan.”