(Business Lounge Journal – Human Resources)
Apakah suatu hari nanti kita bangun pagi tanpa rasa cemas tentang macet, laporan mingguan, atau target penjualan? Dalam sebuah pernyataan provokatif di U.S.–Saudi Investment Forum, Elon Musk kembali mengguncang percakapan global: “Work will be optional.” Menurutnya, dalam 10–20 tahun mendatang, bekerja akan menjadi pilihan—bukan kewajiban—karena AI dan robotika akan mengambil alih hampir seluruh fungsi produktif manusia.
Pernyataan ini disampaikan dalam sesi bersama Jensen Huang, CEO Nvidia, dua tokoh yang memang berada di jantung revolusi AI. Musk menggambarkan masa depan yang hampir utopis—di mana manusia bekerja hanya “untuk kesenangan”, serupa hobi berkebun atau bermain game. “Seperti membeli sayur di toko atau menanamnya sendiri. Lebih mudah beli, tetapi sebagian orang tetap menanam karena mereka menikmati prosesnya,” kata Musk.
Namun, di balik pernyataan yang terdengar puitis itu, muncul satu pertanyaan mendasar: kalau tidak bekerja, bagaimana orang membayar tagihan?
Ekonomi Tanpa Uang?
Musk melangkah lebih jauh: dalam era AI-robotics yang matang, uang akan menjadi konsep yang tidak relevan. Ia membayangkan dunia di mana produksi sepenuhnya otomatis, distribusi tidak lagi menjadi isu, dan kebutuhan dasar manusia tercukupi oleh sistem berbasis kecerdasan buatan.
Ini bukan sekadar opini. Musk punya kepentingan bisnis yang jelas:
- Tesla sedang mengembangkan robot humanoid Optimus.
- xAI miliknya diperkirakan akan mencapai valuasi hingga US$200 miliar, dua kali lipat dari valuasi sebelumnya.
Dengan kata lain, Musk sedang membicarakan masa depan yang juga ia ciptakan.
Antara Visi Besar dan Rekam Jejak Prediksi yang Meleset
Namun, publik tentu tidak lupa bahwa Musk juga memiliki reputasi sebagai “visionary over-promiser.”
Beberapa prediksi terkenalnya yang meleset:
- Robotaxi otonom yang dijanjikan hadir luas pada 2019.
- Misi manusia ke Mars pada 2024.
- Ini belum termasuk timeline ambisius proyek Neuralink dan Hyperloop.
Karena itu, pernyataan bahwa “bekerja akan menjadi pilihan” dalam 20 tahun ke depan perlu dilihat dengan kacamata kritis: apakah ini roadmap realistis atau sekadar retorika futuristik?
Apa Implikasinya bagi Dunia Kerja—Termasuk Indonesia?
Dari perspektif bisnis dan kebijakan publik, prediksi Musk punya dampak besar:
1. Transformasi besar pada pasar tenaga kerja
Jika sebagian fungsi kerja benar-benar digantikan AI dan robot, perusahaan harus:
- mendesain ulang struktur organisasi,
- mengalihkan skill pekerja ke ranah kreatif, strategis, dan berbasis human insight,
- memperkuat kemampuan adaptasi teknologi.
2. Diskusi tentang Universal Basic Income (UBI) akan kembali menguat
Jika “uang menjadi tidak relevan”, apa sistem transisi yang mungkin?
Beberapa negara telah menguji UBI dalam skala kecil, dan hasilnya menunjukkan peningkatan kesejahteraan mental dan stabilitas finansial.
3. Peluang besar bagi negara berkembang seperti Indonesia
Dengan populasi muda dan adopsi teknologi yang cepat, Indonesia dapat:
- memanfaatkan AI untuk meningkatkan produktivitas,
- mengembangkan startup berbasis automasi,
- membangun regulasi yang pro-inovasi tetapi tetap responsif terhadap dampak sosial.
4. Risiko ketimpangan digital
Jika automasi dikuasai hanya oleh kelompok tertentu, ketimpangan ekonomi dapat meningkat drastis. Ini membutuhkan respons kebijakan yang kuat—dari pendidikan teknologi hingga perlindungan sosial.
Antara Fiksi Ilmiah dan Agenda Strategis
Apakah bekerja akan benar-benar menjadi “opsional” pada 2045? Realitasnya, prediksi Musk sering kali lebih cepat dari kemampuannya sendiri untuk mengeksekusi. Namun, pernyataan ini tetap penting bukan karena tingkat akurasinya, tetapi karena ia mendorong diskusi global tentang masa depan kerja dan ekonomi.
Yang jelas, dunia sedang bergerak menuju automasi tingkat tinggi. Dan apakah kita siap atau tidak, transformasi tersebut akan mengubah cara bisnis, pemerintahan, dan masyarakat memaknai pekerjaan dan nilai ekonominya.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “apakah AI akan menggantikan pekerjaan?” tetapi:
“Bagaimana kita mendesain masa depan di mana manusia tetap memiliki peran dan tujuan—meskipun tidak lagi diwajibkan bekerja?”

