Unilever

Unilever Menunda Pemisahan Bisnis Es Krim Globalnya

(Business Lounge – Global News) Rencana besar Unilever untuk memisahkan divisi es krimnya, termasuk merek legendaris seperti Ben & Jerry’s, Magnum, dan Cornetto, harus tertunda. Perusahaan konsumer raksasa asal Inggris-Belanda itu mengumumkan penundaan spin-off senilai miliaran dolar tersebut karena belum memperoleh persetujuan regulasi dari otoritas Amerika Serikat akibat penghentian sebagian kegiatan pemerintahan federal. Keputusan ini menandai titik balik dalam restrukturisasi Unilever yang telah lama ditunggu investor dan menunjukkan tantangan geopolitik serta birokrasi yang dihadapi korporasi global dalam menjalankan transformasi strategis.

Menurut laporan Bloomberg, Unilever awalnya berencana untuk menyelesaikan pemisahan unit es krimnya pada paruh pertama tahun 2025. Langkah itu merupakan bagian dari strategi Chief Executive Hein Schumacher untuk menyederhanakan portofolio bisnis, mengurangi kompleksitas organisasi, dan meningkatkan fokus pada kategori produk dengan margin tinggi seperti kecantikan, kebersihan rumah tangga, dan nutrisi. Namun, dengan adanya penutupan sebagian kegiatan pemerintah Amerika Serikat yang menghambat proses persetujuan dari otoritas perdagangan dan keuangan, jadwal spin-off harus ditunda tanpa batas waktu.

Laporan Financial Times menjelaskan bahwa divisi es krim Unilever menghasilkan pendapatan tahunan sekitar 8 miliar euro, dengan pangsa pasar global lebih dari 20%. Unit ini mengelola lebih dari 30 merek, termasuk Wall’s, Klondike, Breyers, dan Popsicle, serta menjadi salah satu bisnis tertua dalam portofolio Unilever. Namun, meskipun populer, bisnis es krim memiliki margin laba yang lebih rendah dibandingkan dengan lini produk lain karena biaya bahan baku susu, distribusi rantai dingin, dan fluktuasi permintaan musiman. Dalam beberapa tahun terakhir, margin operasi divisi ini bahkan menurun hingga di bawah 10%, sementara divisi kecantikan dan kebersihan rumah tangga mencatat margin lebih dari 18%.

Keputusan untuk menunda pemisahan ini muncul di tengah tekanan investor yang meningkat. Menurut The Wall Street Journal, sejumlah pemegang saham besar seperti Trian Fund Management yang dipimpin Nelson Peltz telah mendesak manajemen Unilever untuk mempercepat restrukturisasi dan fokus pada profitabilitas. Peltz, yang duduk di dewan direksi Unilever sejak 2022, dikenal sebagai investor aktivis yang berperan penting dalam restrukturisasi Procter & Gamble beberapa tahun lalu. Bagi para investor seperti Peltz, spin-off divisi es krim dianggap sebagai langkah kunci untuk membebaskan nilai pasar yang tersembunyi dan mengembalikan fokus pada segmen dengan potensi pertumbuhan jangka panjang.

Namun situasi makroekonomi dan politik global justru memperumit langkah itu. Laporan Reuters mencatat bahwa penutupan sementara pemerintahan Amerika Serikat telah memperlambat proses perizinan dan peninjauan transaksi lintas batas, termasuk demerger perusahaan multinasional. Otoritas seperti Securities and Exchange Commission (SEC) dan Federal Trade Commission (FTC) belum dapat memberikan persetujuan akhir bagi rencana Unilever untuk mendaftarkan unit es krim sebagai entitas independen yang akan melantai di bursa saham London dan New York. Akibatnya, jadwal yang semula direncanakan pada kuartal kedua tahun depan harus ditinjau kembali.

Bagi Unilever, penundaan ini bukan hanya soal waktu, tetapi juga soal momentum. Seperti dijelaskan Bloomberg Intelligence, pasar modal saat ini sedang menunjukkan ketidakpastian tinggi akibat naiknya suku bunga global dan volatilitas mata uang. Dalam kondisi seperti itu, spin-off dengan valuasi miliaran dolar menghadapi risiko harga saham yang tidak mencerminkan nilai fundamental. Penundaan memungkinkan Unilever untuk menunggu waktu yang lebih stabil sekaligus meninjau ulang struktur kepemilikan dan tata kelola perusahaan baru.

Sejarah mencatat bahwa Unilever telah berulang kali melakukan restrukturisasi besar untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pasar. Pada awal 2000-an, perusahaan melepas sejumlah merek makanan seperti Bertolli, Flora, dan Slim-Fast, untuk memperkuat fokus pada kategori dengan pertumbuhan tinggi. Namun, seperti dilaporkan oleh Financial Times, divisi es krim selalu dipertahankan karena nilai warisan dan kekuatan mereknya di pasar global. Keputusan memisahkan divisi ini dianggap langkah paling berani dalam dua dekade terakhir, bahkan lebih signifikan daripada reorganisasi struktural yang dilakukan pada 2022 ketika Unilever menghapus model holding ganda di Inggris dan Belanda.

Dalam pernyataan resmi yang dikutip CNBC, CEO Hein Schumacher mengatakan bahwa keputusan menunda spin-off tidak mengubah arah strategis perusahaan. “Kami tetap berkomitmen untuk memisahkan bisnis es krim agar kedua entitas dapat tumbuh secara mandiri dan lebih fokus pada pasar mereka masing-masing. Namun, kondisi eksternal saat ini membuat kami perlu menyesuaikan waktu pelaksanaan,” ujarnya. Schumacher menambahkan bahwa Unilever akan terus mempersiapkan segala aspek operasional dan hukum sehingga proses spin-off dapat dilanjutkan segera setelah kondisi memungkinkan.

Bagi banyak analis, keterlambatan ini justru memberi Unilever ruang untuk memperbaiki struktur bisnis es krim yang selama ini dinilai kurang efisien. Reuters mencatat bahwa rantai pasok es krim Unilever sangat kompleks karena melibatkan produksi di lebih dari 40 negara dan distribusi lintas musim. Dengan adanya waktu tambahan, manajemen baru dapat melakukan konsolidasi fasilitas produksi, meningkatkan otomatisasi, dan memperluas kolaborasi dengan pengecer lokal. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan margin operasional sebelum entitas baru dipisahkan.

Meski demikian, penundaan juga membawa konsekuensi bagi kinerja jangka pendek. Menurut Bloomberg, saham Unilever turun sekitar 2% setelah pengumuman penundaan tersebut, mencerminkan kekecewaan investor yang berharap restrukturisasi dapat segera terealisasi. Beberapa analis menilai bahwa investor sudah memasukkan ekspektasi keberhasilan spin-off ke dalam valuasi saham. Oleh karena itu, keterlambatan berarti nilai tambah yang diharapkan dari restrukturisasi belum bisa tercermin dalam waktu dekat.

Dari sisi operasional, Unilever menghadapi tekanan yang meningkat di pasar utama seperti Eropa dan Amerika Utara. Inflasi bahan baku dan energi membuat biaya produksi melonjak, sementara konsumen mulai beralih ke merek lebih murah. Dalam laporan triwulanan terbaru yang dikutip oleh The Wall Street Journal, Unilever mencatat pertumbuhan penjualan organik sebesar 2,8%, tetapi sebagian besar berasal dari kenaikan harga, bukan volume penjualan. Penundaan spin-off berarti perusahaan harus terus mengelola portofolio besar yang membutuhkan perhatian dan sumber daya signifikan, di saat yang sama harus mempertahankan pertumbuhan di tengah kondisi ekonomi global yang lemah.

Unilever juga menghadapi tekanan reputasi dari merek es krim paling terkenal miliknya, Ben & Jerry’s. Merek asal Vermont itu sering kali menimbulkan kontroversi karena sikap politik dan sosialnya yang vokal, termasuk komentar mengenai kebijakan luar negeri AS dan isu lingkungan. Laporan The Guardian menyebutkan bahwa Unilever sempat mempertimbangkan untuk menjual sebagian kepemilikan Ben & Jerry’s atau memberikan otonomi yang lebih besar kepada tim manajemen merek tersebut setelah spin-off. Penundaan ini berarti keputusan-keputusan sensitif seperti itu juga ikut tertunda, menambah ketidakpastian di dalam organisasi.

Bagi Unilever, pemisahan divisi es krim bukan hanya soal strategi keuangan, melainkan juga soal identitas perusahaan. Dalam wawancara dengan Financial Times, Hein Schumacher mengakui bahwa Unilever terlalu tersebar di terlalu banyak kategori. “Kami harus menjadi lebih tajam dan fokus. Menjalankan bisnis kecantikan dan es krim dalam satu organisasi besar tidak lagi efisien,” katanya. Pernyataan itu menggambarkan arah baru Unilever yang ingin meniru kesuksesan pesaingnya seperti Nestlé, yang telah memfokuskan diri pada nutrisi, kesehatan, dan produk premium bernilai tinggi.

Sementara itu, para analis dari Morgan Stanley memperkirakan bahwa spin-off es krim dapat menciptakan nilai tambah signifikan bagi pemegang saham, dengan valuasi potensial mencapai antara 15 hingga 20 miliar dolar AS. Namun penundaan ini dapat menurunkan daya tarik awal, terutama jika kondisi pasar modal global tetap volatil sepanjang 2025. Beberapa analis menilai Unilever mungkin akan mempertimbangkan opsi lain seperti penjualan sebagian saham kepada investor strategis atau membentuk kemitraan regional untuk mempercepat restrukturisasi.

Langkah Unilever juga menjadi sinyal bagi industri barang konsumsi global yang tengah menghadapi perubahan besar. Menurut analisis Bloomberg Intelligence, banyak perusahaan multinasional kini meninjau ulang portofolio mereka untuk menghadapi perlambatan ekonomi dan perubahan perilaku konsumen. Pemisahan, penggabungan, dan restrukturisasi dianggap sebagai cara untuk mengembalikan fokus dan efisiensi. Dalam konteks itu, keputusan Unilever — meski tertunda — tetap menjadi salah satu manuver paling signifikan di sektor FMCG dalam beberapa tahun terakhir.

Unilever berencana untuk terus menjalankan operasi divisi es krim seperti biasa sambil menunggu kepastian regulasi. Perusahaan menegaskan tidak ada dampak terhadap tenaga kerja, rantai pasok, maupun hubungan dengan mitra distribusi. Namun sumber yang dikutip oleh Reuters menyebutkan bahwa dewan direksi sedang meninjau kemungkinan memperpanjang masa transisi hingga akhir 2025 untuk memastikan spin-off berjalan mulus begitu disetujui.

Meski investor kecewa, sebagian analis menilai langkah hati-hati ini bisa bermanfaat dalam jangka panjang. Dengan menunggu kondisi pasar yang lebih kondusif, Unilever dapat memaksimalkan valuasi entitas baru sekaligus memperkuat daya saingnya. “Kadang strategi terbaik adalah tidak terburu-buru,” kata seorang analis pasar konsumen kepada Bloomberg. “Pemisahan ini terlalu penting untuk dilakukan di bawah tekanan waktu.”

Dalam lanskap industri yang berubah cepat, di mana perusahaan konsumen raksasa dituntut untuk lebih ramping, cepat, dan inovatif, penundaan spin-off Unilever menunjukkan dilema klasik antara strategi dan eksekusi. Rencana besar sudah ada, tapi realitas birokrasi dan geopolitik global membuktikan bahwa bahkan perusahaan sebesar Unilever pun tidak kebal terhadap hambatan administratif. Namun, seperti diungkapkan Hein Schumacher kepada Financial Times, “Kami tidak menunda arah kami, hanya waktunya. Kami tahu apa yang harus dilakukan — dan kami akan tetap melakukannya.”

Ketika Unilever menunggu lampu hijau dari regulator AS, dunia bisnis akan mengamati bagaimana perusahaan ini menavigasi masa transisi yang penuh tantangan. Pemisahan divisi es krim yang tertunda bukanlah akhir dari ambisi Unilever untuk bertransformasi, melainkan jeda dalam perjalanan panjang menuju organisasi yang lebih ramping, fokus, dan siap menghadapi generasi konsumen berikutnya.