(Business Lounge – Global News) Ketika raksasa minuman ringan dunia The Coca-Cola Company mengumumkan kesepakatan untuk menjual 75% sahamnya di Coca-Cola Beverages Africa (CCBA) senilai sekitar 2,6 miliar dolar AS, banyak pengamat pasar menilai langkah itu bukan sekadar transaksi biasa. Penjualan saham kepada konsorsium yang dipimpin oleh perusahaan investasi Gutsche Family Investments (GFI) menandai babak baru dalam strategi restrukturisasi global Coca-Cola, terutama di kawasan yang selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan jangka panjang.
Menurut laporan Bloomberg, Coca-Cola bersama GFI — yang merupakan mitra lamanya di Afrika Selatan — sepakat untuk melepas mayoritas saham di CCBA, sebuah langkah yang mengubah struktur kepemilikan perusahaan pembotolan terbesar di benua tersebut. CCBA sebelumnya dimiliki 65% oleh Coca-Cola dan 35% oleh GFI. Setelah transaksi ini, Coca-Cola akan mempertahankan sekitar 25% saham dan menyerahkan kendali operasional kepada investor lokal. Kesepakatan itu mencerminkan keinginan Coca-Cola untuk kembali fokus pada bisnis inti — pengembangan merek dan pemasaran produk — sementara aktivitas pembotolan dan distribusi diserahkan kepada mitra strategis.
Seperti dijelaskan dalam laporan Reuters, Coca-Cola telah lama menjalankan model kemitraan semacam ini di berbagai wilayah. Di Amerika Serikat, Asia, dan Eropa, Coca-Cola telah mendivestasikan sebagian besar unit pembotolannya dan menjualnya kepada mitra lokal untuk meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas operasional. Langkah tersebut terbukti menurunkan beban biaya, mempercepat inovasi, serta memperkuat hubungan dengan pasar setempat. Di Afrika, strategi serupa dianggap relevan karena kompleksitas logistik, perbedaan pasar antarnegara, serta tantangan ekonomi dan politik yang khas di wilayah itu.
CCBA sendiri dibentuk pada tahun 2016 melalui penggabungan antara Coca-Cola Sabco, Coca-Cola South Africa, dan beberapa entitas bottler lain di Afrika Selatan, Namibia, Kenya, Uganda, Tanzania, Ethiopia, Mozambique, dan Botswana. Menurut Financial Times, pembentukan CCBA dimaksudkan untuk menciptakan entitas pembotolan besar yang mampu menangani pertumbuhan cepat konsumsi minuman non-alkohol di Afrika, yang populasinya diproyeksikan mencapai 2,5 miliar jiwa pada tahun 2050.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, dinamika makroekonomi di Afrika menimbulkan tekanan. Inflasi pangan, fluktuasi mata uang, dan biaya logistik yang tinggi menekan margin keuntungan produsen barang konsumsi, termasuk Coca-Cola. Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, analis pasar minuman dari Sanford C. Bernstein mengatakan bahwa meskipun Afrika menawarkan potensi jangka panjang yang besar, pasar ini juga memerlukan adaptasi yang lebih dalam terhadap karakteristik lokal dan kemampuan mitra lokal dalam mengelola rantai pasok. “Menjual sebagian besar saham kepada mitra Afrika berarti Coca-Cola memberi kepercayaan lebih besar pada kemampuan lokal untuk mengembangkan bisnis secara berkelanjutan,” ujarnya.
Keputusan ini juga memperlihatkan konsistensi dengan strategi jangka panjang Coca-Cola yang disebut “asset-light model”, yakni pengurangan aset fisik seperti pabrik dan infrastruktur pembotolan untuk meningkatkan return on invested capital (ROIC). Strategi serupa sebelumnya diterapkan dalam penjualan unit pembotolan di Eropa kepada Coca-Cola Europacific Partners dan di Jepang kepada Coca-Cola Bottlers Japan Holdings. Dengan demikian, Coca-Cola dapat lebih fokus pada inovasi produk, pemasaran global, serta kemitraan teknologi untuk meningkatkan efisiensi distribusi.
Dalam siaran pers yang dikutip oleh CNBC, James Quincey, CEO Coca-Cola, mengatakan bahwa penjualan saham di Afrika merupakan bagian dari perjalanan transformasi yang lebih besar. “Kami telah memodernisasi portofolio kami, memperluas kategori di luar minuman ringan, dan memastikan kemitraan kami di setiap wilayah memiliki daya saing tinggi. Afrika tetap menjadi prioritas strategis, tetapi kepemilikan langsung bukan satu-satunya cara untuk tumbuh,” ujarnya.
Dari sisi keuangan, penjualan 75% saham CCBA diestimasi akan menambah kas perusahaan sekitar 2,6 miliar dolar AS, dana yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi neraca, mengakselerasi investasi digital, dan memperluas portofolio minuman kesehatan serta energi. Menurut laporan Bloomberg Intelligence, Coca-Cola kemungkinan akan mengalokasikan sebagian dari hasil penjualan ini untuk mendanai akuisisi kecil di segmen minuman tanpa gula dan air berkarbonasi rendah kalori yang tengah tumbuh cepat.
Afrika telah lama dipandang sebagai “frontier market” bagi perusahaan minuman global. Seperti dijelaskan oleh The Economist, pertumbuhan kelas menengah di Afrika dan urbanisasi yang pesat telah meningkatkan konsumsi produk bermerek. Namun, pasar minuman non-alkohol di benua itu masih sangat terfragmentasi. Merek lokal seperti Big Boss Cola di Nigeria atau MoFaya Energy di Afrika Selatan telah menunjukkan daya saing yang tinggi. Oleh karena itu, kemampuan mitra lokal seperti GFI dalam memahami pasar domestik menjadi faktor kunci dalam menjaga momentum pertumbuhan CCBA setelah restrukturisasi kepemilikan ini.