AI Mengubah Cara Startup Melakukan Rekrutmen

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Lebih dari 70% pendiri startup kini meningkatkan pengeluaran mereka untuk kecerdasan buatan (AI). Fenomena ini menandai perubahan besar dalam cara perusahaan rintisan beroperasi—dan lebih jauh lagi, dalam cara mereka merekrut dan mengembangkan tim.

Menurut John Dearie, Presiden Center for American Entrepreneurship—lembaga nirlaba yang berfokus pada advokasi bagi para pendiri usaha—AI kini menjadi kekuatan ekonomi baru yang membentuk masa depan ketenagakerjaan. “Jika inovasi sebagian besar datang dari startup, maka mereka memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan perluasan kesempatan,” ujarnya.

Dalam survei terhadap 1.500 pendiri tahap awal oleh perusahaan fintech Mercury pada Agustus lalu, lebih dari 70% responden mengaku akan terus menambah anggaran AI dan otomasi. Dearie, yang secara rutin mengadakan diskusi dengan pengusaha di seluruh AS, menyoroti bagaimana strategi rekrutmen mereka kini berubah mengikuti arah teknologi ini.

Otomatisasi Mengubah Dinamika Pekerjaan

Pendiri startup kini memanfaatkan AI untuk mengotomatisasi tugas-tugas padat energi dan waktu—mulai dari pemasaran, penjualan, hingga operasional. Carolyn Pitt, pendiri sekaligus CEO Productions.com, mengakui bahwa sebagian besar aspek inti perusahaannya kini difasilitasi oleh AI. “Teknologi ini memungkinkan kami memperluas kapasitas tim kecil kami,” ujarnya.

Namun, otomatisasi juga membawa konsekuensi bagi tenaga kerja muda. Banyak startup, kata Dearie, harus efisien dalam penggunaan modal, dan dalam beberapa kasus, AI menjadi pilihan dibanding mempekerjakan pekerja pemula atau magang. Pitt bahkan menyebut perusahaannya kini tidak lagi memiliki intern karena sebagian pekerjaan mereka telah diambil alih oleh AI—meskipun bukan untuk jangka panjang.

Sebaliknya, beberapa pengamat melihat sisi positif dari tren ini. Para pekerja muda dianggap lebih adaptif dan menjadi sumber keahlian baru, terutama karena mereka tumbuh dalam ekosistem digital yang akrab dengan AI. “Startup kini mencari talenta yang menggunakan AI seperti naluri kedua,” ujar Dearie.

Menariknya, survei Mercury juga menunjukkan bahwa startup yang menggunakan AI justru lebih banyak merekrut dibanding yang tidak—yakni 70% dibanding hanya 13%. Hal ini terjadi karena adopsi AI membantu perusahaan menemukan kebutuhan pelanggan baru, yang justru membuka peluang kerja tambahan.

Pekerja Ideal di Era AI

Bagi banyak pendiri startup, karyawan ideal bukan lagi sekadar mereka yang mahir teknologi, tetapi mereka yang mampu memadukan pengalaman, pemikiran kritis, dan pemahaman mendalam tentang AI. “Mereka lebih memilih menarik pekerja senior yang tahu cara mengelola AI untuk membawa bisnis ke level berikutnya,” jelas Dearie.

Pitt menambahkan, meskipun AI dapat meniru banyak hal, “kapasitas manusia seperti empati, pemikiran, dan kreativitas tidak akan pernah sepenuhnya tergantikan.” AI, menurutnya, justru meningkatkan nilai pekerja berpengalaman yang dapat memanfaatkan teknologi secara strategis.

Meningkatnya Peran Pekerja Kontrak

Karena perkembangan AI yang sangat cepat—berubah setiap 18 hingga 24 bulan—banyak pendiri memilih strategi fleksibel dengan mempekerjakan pekerja kontrak. Langkah ini dianggap sebagai cara untuk “mengurangi risiko” terhadap perubahan keterampilan yang cepat usang.

Dalam survei yang sama, perusahaan yang telah mengadopsi AI secara intensif dilaporkan empat kali lebih bergantung pada pekerja kontrak dibandingkan dengan mereka yang belum menggunakan AI.

“AI berkembang begitu cepat hingga sulit merencanakan strategi jangka panjang,” kata Dearie. “Tetapi justru di sanalah letak daya dorong utamanya—AI mempercepat munculnya ekonomi gig dan memperluas definisi tenaga kerja modern.”