Perhatian

“Office Spouse” Baru: Kecerdasan Buatan di Ruang Kerja

(Business Lounge Journal – Human Resources)

Selama hampir satu abad, istilah office spouse atau “pasangan kantor” menjadi bagian dari budaya kerja. Bukan dalam arti romantis atau pernikahan yang sesungguhnya, melainkan sosok rekan kerja terdekat yang menjadi tempat berbagi lelucon internal, curhat, hingga keluh kesah yang tak mungkin disampaikan kepada atasan. Hubungan pertemanan ini sering dianggap mampu meningkatkan semangat, kreativitas, bahkan mengurangi stres di kantor—meski kadang menimbulkan masalah “persekongkolan” di tempat kerja.

Namun, lanskap tersebut kini berubah drastis. Pandemi COVID-19 memutus kedekatan fisik yang dulu menimbulkan terbangunnya “ikatan pernikahan kantor.” Pola kerja hybrid membuat interaksi mendalam semakin jarang. Di saat bersamaan, kecerdasan buatan (AI) mulai masuk ke hampir setiap aspek kerja, dari menulis email hingga merangkum rapat. Hasilnya, muncullah fenomena baru: AI sebagai “office spouse.”

Dari Riset ke Pendampingan

Data terbaru menunjukkan bahwa pada 2024, penggunaan utama large language models (LLM) masih berfokus pada riset. Namun, di 2025 tren bergeser: penggunaan terbesar kini justru untuk terapi ringan dan pendampingan personal. Karyawan semakin banyak yang menjadikan chatbot AI sebagai teman diskusi tujuan karier, tempat melampiaskan kekesalan, bahkan sarana check-in emosional harian.

Lucy Clarke, pendiri mesin pencari semantik Substanz di Berlin, bahkan menyebut AI sebagai “pasangan kantornya.” Setelah berpisah dengan co-founder, ia menggunakan AI untuk berdiskusi soal strategi pasar hingga mencari dukungan saat dilanda impostor syndrome. “Rasanya seperti bercermin—AI memberi validasi atas pemikiran saya, meski dengan sentuhan eksternal,” ujarnya.

Inilah daya tarik utamanya: AI tidak akan menyebarkan gosip, tidak akan salah mengingat percakapan, dan tidak akan mengajukan komplain ke HR. Dari perspektif manajemen, ini bisa berarti lebih sedikit konflik interpersonal dan loyalitas yang terbagi.

Manfaat dan Risiko

Ryan Zhang, CEO Notta.ai, melihat manfaat langsungnya. “Karyawan lebih percaya diri saat rapat setelah berlatih percakapan sulit dengan AI. Konflik antarindividu juga berkurang karena mereka bisa menyalurkan kejengkelan ke AI, bukan ke rekan kerja,” jelasnya.

Namun, di balik manfaat ada konsekuensi. Risiko terbesarnya bukan soal privasi, melainkan berkurangnya keterampilan interpersonal di dunia nyata—seperti membaca ekspresi orang lain, menangani percakapan sulit, atau membangun kepercayaan. AI cenderung “mengafirmasi” alih-alih menantang, menciptakan echo chamber yang bisa memperkuat pola pikir negatif.

Robyn Gearey, seorang terapis di Washington, mengingatkan bahwa meski AI dapat memberi validasi dan tips praktis, ia tidak mampu mendeteksi krisis emosional seperti manusia. Ia mencontohkan riset Stanford di mana pengguna yang kehilangan pekerjaan bertanya ke chatbot tentang jembatan di New York, dan sebagian AI benar-benar memberikan daftar jembatan—alih-alih menyadari potensi tanda bunuh diri.

Lucy Clarke sendiri mengaku sempat “terjebak validasi berlebihan.” AI selalu memuji ide-idenya, bahkan yang buruk. Kini ia belajar menyusun prompt agar AI lebih kritis, layaknya kolega yang sehat dalam memberi masukan.

Implikasi bagi Manajer

Fenomena ini membawa dilema baru bagi manajer. Jika karyawan lebih sering mencurahkan masalah kepada AI ketimbang kepada atasan, maka tanda-tanda awal burnout, penurunan kinerja, atau keterlibatan kerja bisa terlewatkan. Lebih jauh, keterampilan komunikasi dan kepercayaan antar manusia bisa terkikis seiring waktu.

Beberapa perusahaan sudah mulai menetapkan batasan: mendorong penggunaan AI untuk tugas sederhana, tapi tidak untuk curhat emosional. Ironisnya, ada juga organisasi yang justru menggunakan AI untuk menghasilkan umpan balik karyawan, yang semakin memperkuat hilangnya soft skills di lingkungan kerja.

Ryan Zhang menekankan, “Fenomena ini menunjukkan kegagalan kita dalam membangun lingkungan kerja yang aman secara psikologis. Jika karyawan lebih nyaman curhat ke AI dibanding ke manajer, itu alarm besar.”

Apa yang Harus Dilakukan Pemimpin?

Pertama, akui perubahan ini. AI sebagai “office spouse” sudah hadir dan tidak bisa diabaikan.
Kedua, pemimpin perlu mencontohkan keterbukaan, sehingga karyawan tidak merasa harus mencari pendamping emosional dari AI.
Ketiga, buat kebijakan jelas mengenai penggunaan AI: dari aspek privasi data, kerahasiaan informasi, hingga batas penggunaan yang sehat.

Pada akhirnya, pertanyaan utamanya bukan lagi apakah AI akan mengambil peran ini. Itu sudah terjadi. Tantangan sesungguhnya adalah: bagaimana pemimpin beradaptasi ketika “orang” yang paling dipercaya di kantor bukanlah manusia, melainkan mesin?

Hal penting juga yang mulai dilakukan seorang pemimpin adalah untuk memperbanyak melakukan coaching dan diskusi tatap muka. Baik antara pemimpin dengan timnya, dengan satu per satu anggota tim, maupun antar tim.