Warren Buffett dan Fan Economy: Buffett sebagai Influencer Sebelum Zamannya

(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)

Warren Buffett, yang baru saja merayakan ulang tahunnya ke-95 sekaligus bersiap menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan Berkshire Hathaway di akhir tahun ini, bukan hanya dikenal sebagai investor ulung. Di balik reputasinya sebagai “Oracle of Omaha”, Buffett juga tanpa sadar telah menjadi pionir dari apa yang kini disebut ekonomi penggemar (fan economy) — sebuah konsep yang hari ini menopang influencer, kreator konten, hingga brand lifestyle global.

Sejak 1977, Buffett rutin menulis surat tahunan kepada para pemegang saham. Namun surat itu bukan sekadar laporan keuangan. Gaya komunikasinya yang jujur, personal, bahkan berani mengakui kesalahan, menciptakan kedekatan emosional yang langka. Dalam surat tahun 2025, ia menulis bahwa tujuan komunikasinya adalah berbicara seolah-olah posisi dibalik: investor sebagai pemegang kendali, dan ia yang menitipkan tabungan keluarga.

“Tujuan kami adalah berkomunikasi dengan cara yang kami harapkan jika posisi dibalik — jika Anda adalah CEO Berkshire sementara saya dan keluarga saya hanyalah investor yang mempercayakan tabungan kami kepada Anda.”

Puluhan tahun sebelum media sosial hadir, Buffett sudah menguasai seni membangun hubungan autentik dengan audiens—sesuatu yang kini dikejar para kreator digital dengan biaya besar. Di era modern, keaslian (authenticity) menjadi mata uang penting. Buffett membangunnya jauh sebelum metrik likes, views, dan subscribers dikenal.

Pelajaran yang sama terlihat dari akuisisi See’s Candies pada 1972. Dengan investasi awal USD 25 juta, Buffett menemukan bahwa loyalitas emosional pelanggan memungkinkan perusahaan menaikkan harga secara konsisten melampaui inflasi. Bagi konsumen, membeli cokelat See’s bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang nostalgia dan tradisi. Seperti diungkapkan Charlie Munger, begitu sebuah brand menemukan jalan masuk ke hati pelanggan, rasanya seperti menemukan uang di jalan. Hasilnya, dari investasi kecil itu,

Charlie Munger, partner Buffett, pernah berkata:

“Begitu Anda sadar bahwa ada orang yang mau membayar lebih karena keterikatan emosional, rasanya seperti menemukan uang di jalan.”

Berkshire meraup lebih dari USD 1 miliar keuntungan kumulatif. See’s Candies pun menjadi sebuah studi kasus loyalitas dan premium pricing. Inilah logika brand loyalty yang hari ini dimanfaatkan oleh perusahaan dari Apple hingga Starbucks: menjual emosi, bukan sekadar produk.

Strategi ini kemudian berkembang menjadi fenomena tahunan: Rapat Umum Pemegang Saham Berkshire Hathaway yang dikenal sebagai “Woodstock for Capitalists”. Ini dapat dikatakan sebagai “Fan Convention ala Buffett”. Setiap Mei, puluhan ribu orang berbondong-bondong ke Omaha, bukan hanya untuk mendengar laporan keuangan, tetapi juga untuk menjadi bagian dari sebuah ritual komunitas. Penjualan See’s Candies dalam satu hari bisa mencatat penjualan USD 317.000, sepatu Brooks mencatat rekor, dan bahkan sebuah sendok Dairy Queen yang ditandatangani Buffett pernah dilelang seharga USD 4.500. Sama seperti konser musik atau fan meeting, pengalaman—bukan sekadar produknya—yang dijual Buffett.

Bagi banyak orang, acara ini disebut sebagai “rock concert of capitalism” — sebuah ritual komunitas yang memadukan eksklusivitas, kelangkaan, dan pengalaman emosional.

Lebih jauh lagi, Buffett menjadikan para pemegang saham bukan hanya investor, tetapi juga pelanggan setia portofolio perusahaannya. Dari asuransi GEICO hingga Dairy Queen, para pemegang saham menjadi duta merek alami yang mempromosikan bisnis Berkshire secara sukarela. Inilah bentuk cross-selling yang sulit ditiru, karena didasarkan pada komunitas yang benar-benar percaya dan terikat secara emosional. Menjadi sebuah model cross-selling yang menyerupai ekosistem bisnis modern, di mana satu brand mengalirkan konsumen ke brand lainnya.

Jika diperhatikan, strategi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan para kreator dan influencer masa kini: membangun merek personal, menawarkan konten eksklusif, menciptakan acara live yang menjadi ajang komunitas, lalu memonetisasi melalui penjualan produk dan cross-branding. Bedanya, Buffett melakukannya selama enam dekade dengan dampak miliaran dolar.

Pelajaran yang bisa ditarik jelas. Komunikasi yang autentik lebih kuat daripada strategi pemasaran canggih sekalipun. Jangan hanya menjual produk, tapi ciptakan cerita dan pengalaman. Produk yang menyentuh emosi lebih bernilai daripada sekadar kualitas fungsional. Dan yang paling penting, pelanggan yang berubah menjadi penggemar mampu menopang pertumbuhan bisnis lintas generasi. Loyalitas penggemar memungkinkan strategi premium pricing. Buffett membuktikan bahwa di atas semua analisis keuangan dan strategi investasi, parit ekonomi paling kokoh sebenarnya adalah cinta dan loyalitas. Ekosistem bisnis yang saling menguatkan bisa menjadi kunci pertumbuhan jangka panjang.

Seperti halnya konser musik atau komunitas digital, bisnis yang mampu mengubah pelanggan menjadi penggemar akan bertahan lebih lama — bahkan lintas generasi.