(Business Lounge – Human Resources) Selama puluhan tahun, budaya kantor mengikuti pola yang begitu kaku sehingga bisa dipetakan seperti jarum jam. Karyawan berangkat kerja pada jam yang sama, meja-meja sudah penuh pada pukul sembilan pagi, mesin kopi menjadi jangkar tengah hari, dan kepulangan terjadi bersama-sama sekitar pukul 17.30 atau 18.00. Ritme itu, yang dulu begitu melekat, kini diam-diam berubah setelah pandemi. Data terbaru dari sensor gedung perkantoran, pencatatan akses kartu, dan analitik pergerakan orang menunjukkan pergeseran halus namun signifikan: para pekerja tetap datang tepat waktu, tetapi pulang lebih awal dari sebelumnya.
Sekilas, angka-angka ini tampak kontradiktif. Tingkat hunian kantor di kota-kota besar menunjukkan adanya disiplin dalam arus pagi, dengan waktu kedatangan yang konsisten dengan era sebelum 2020. Lift masih penuh sesak antara pukul 08.30 hingga 09.15, dan kedai kopi di dekat gedung perkantoran melaporkan jam sibuk mereka tidak berubah. Namun, data pintu putar gedung menunjukkan adanya arus keluar sejak pukul 15.30, yang meningkat stabil hingga 16.30. Pada pukul 17.15, beberapa lantai kantor yang tadinya ramai berubah seperti kota mati.
Mengapa kita masih datang di awal hari tetapi memangkas beberapa jam terakhir? Jawabannya berada di persimpangan antara norma kerja yang bergeser, kebijakan hibrida, dan jejak psikologis pandemi.
Pandemi menormalkan fleksibilitas, mengaburkan batas antara rumah dan kantor. Saat kantor dibuka kembali, banyak perusahaan tetap mewajibkan kehadiran fisik, setidaknya beberapa hari dalam seminggu. Karyawan mematuhinya, tetapi dengan cara mereka sendiri. Datang lebih awal tetap menjadi sinyal komitmen, ketepatan waktu, dan partisipasi tim. Hal itu memenuhi ekspektasi budaya sekaligus pandangan manajerial. Pulang lebih cepat, sebaliknya, menjadi keuntungan tak tertulis yang diam-diam diklaim pekerja, dengan alasan bahwa sebagian besar pekerjaan di penghujung hari dapat dilakukan sama efektifnya dari rumah.
Ini bukan semata-mata soal kemalasan. Lebih tepatnya, ini mencerminkan efisiensi dan penyesuaian ulang. Studi produktivitas kerja telah lama menunjukkan bahwa jam antara pukul 15.00 hingga 18.00 merupakan periode paling kurang produktif dalam sehari, terutama di industri yang mengandalkan fokus mendalam atau kolaborasi. Banyak karyawan, setelah merasakan efisiensi bekerja dari rumah, kini enggan menghabiskan waktu di kantor hanya demi “dilihat.”
Sebuah perusahaan manajemen gedung yang melacak penggunaan kantor di Amerika Utara mencatat bahwa, dibandingkan dengan 2019, jam pulang dari gedung bergeser lebih awal rata-rata 45 menit. Di beberapa pusat teknologi, perbedaannya lebih tajam, dengan puncak kepulangan terjadi antara pukul 16.00 hingga 16.30. Namun, arus masuk pagi tetap sama seperti sebelumnya. Dualitas ini menunjukkan tempat kerja yang telah berevolusi, tetapi tidak sepenuhnya terlepas dari pola lama.
Sinyal budaya yang tertanam dalam waktu kedatangan dan kepulangan sangatlah menarik. Datang terlambat berisiko dipersepsikan sebagai bentuk ketidakpedulian. Pulang lebih cepat, sebaliknya, membawa konotasi yang lebih lunak, terutama jika seseorang masih bisa melanjutkan pekerjaan dari rumah. Pandemi memberi legitimasi pada gagasan bahwa produktivitas tidak terikat lokasi. Selama tenggat waktu terpenuhi, di mana jam-jam terakhir dihabiskan menjadi kurang penting.
Pola perjalanan juga berperan. Banyak pekerja kini menyesuaikan jadwal dengan lalu lintas, pengasuhan anak, atau kesejahteraan pribadi. Jika kereta terakhir sebelum jam sibuk berangkat pukul 16.45, karyawan mungkin memilih naik itu. Yang lain menyesuaikan harinya untuk menjemput anak atau berolahraga, aktivitas yang makin dianggap penting sejak pandemi. Pekerjaan tidak kehilangan prioritas, tetapi kini terintegrasi dalam pola hidup yang lebih utuh.
Perusahaan pun menghadapi ketegangan antara fleksibilitas dan kebersamaan. Beberapa perusahaan mendukung pergeseran ini, mendorong karyawan mengatur hari mereka selama hasil tetap baik. Yang lain diam-diam melawan, memberi sinyal bahwa kehadiran di sore hari masih dihargai. Namun, bahkan di industri yang biasanya kaku terhadap fleksibilitas—seperti keuangan, hukum, atau konsultasi—tarikan norma baru ini sudah terlihat.
Teknologi menjadi penguat tren ini. Dengan sistem berbasis cloud, platform percakapan, dan alat kolaborasi real-time, perbedaan antara bekerja di lantai 20 sebuah menara atau di meja dapur rumah sangat kecil untuk banyak tugas. Karyawan bisa menghadiri rapat sore lewat Zoom sambil sudah berada di rumah, atau menyelesaikan presentasi dalam ketenangan ruang kerja pribadi ketimbang di kantor terbuka yang mulai gaduh oleh rekan-rekan yang bersiap pulang.
Reset psikologis akibat pandemi juga sangat kuat. Setelah bertahun-tahun bekerja jarak jauh atau hibrida, pekerja memandang waktu mereka sebagai sumber daya yang harus dikelola dengan sengaja, bukan diserahkan sepenuhnya pada ritme kantor. Jadwal sembilan sampai enam tidak lagi punya otoritas moral. Sebagai gantinya, muncul konsensus diam-diam: hadir, tunjukkan komitmen, berkolaborasi di jam-jam inti kehadiran—tetapi ambil kembali ujung hari untuk diri sendiri.
Tentu, tidak semua orang memiliki akses yang sama pada fleksibilitas ini. Pekerja lini depan, staf layanan, dan peran dengan jadwal kaku tidak mendapatkan keuntungan dari penyesuaian budaya ini. Bahkan di dalam gedung perkantoran, karyawan junior mungkin merasa tertekan untuk tetap lebih lama, karena menganggap visibilitas masih bernilai. Pergeseran jam pulang lebih awal paling jelas terlihat di kalangan pekerja menengah dan senior yang memiliki otonomi lebih besar. Hal ini, pada gilirannya, berpotensi mengubah dinamika hierarki kantor secara halus.
Implikasi ekonominya pun meluas. Lembaga transportasi mencatat pola penumpang sore yang lebih landai. Kafe dan restoran yang dulu ramai oleh kerumunan setelah jam kerja kini mengalami penurunan lalu lintas. Pemilik gedung komersial, yang berusaha menghidupkan kembali ekosistem pusat kota, mendapati bahwa mengembalikan pekerja di pagi hari hanya setengah dari tantangan; mempertahankan mereka hingga malam menjadi cerita lain.
Apa arti semua ini bagi budaya kantor di masa depan? Hasil paling mungkin bukanlah kembali total ke pola lama, melainkan terciptanya keseimbangan baru. Hari kerja kantor mungkin akan menyempit menjadi jendela inti pukul 08.30 hingga 16.30, dengan jam-jam pinggiran diserahkan pada kerja jarak jauh. Perusahaan yang menyesuaikan diri dengan ritme ini mungkin justru menemukan peningkatan kepuasan karyawan tanpa mengurangi output. Mereka yang menolak bisa menghadapi risiko kehilangan talenta, terutama dari pekerja yang enggan mengorbankan otonomi.
Ironisnya, kita kini lebih hadir sekaligus kurang terikat daripada sebelumnya. Kita tetap datang tepat waktu, karena ketepatan dan kebersamaan itu penting. Tetapi kita pulang lebih awal, karena kita tahu pekerjaan bisa dibawa pulang, dan hidup kita pantas mendapatkan porsi hari yang lebih besar. Ini bukan pemberontakan terhadap kantor, melainkan negosiasi ulang atas syarat-syaratnya.
Seiring pergeseran ini mengeras menjadi kebiasaan, tantangan nyata bagi para manajer bukan lagi soal menegakkan jam kantor, melainkan membayangkan ulang kolaborasi, pendampingan, dan budaya dalam jendela waktu yang lebih ringkas. Kantor tidak lagi menjadi tempat di mana semua jam dihabiskan, melainkan tempat di mana jam-jam paling berharga diinvestasikan.
Dua tahun dari sekarang, kita mungkin akan melihat momen ini sebagai awal dari “hari kantor yang dipersingkat,” sebuah inovasi budaya yang lahir bukan dari ahli efisiensi atau mandat HR, melainkan dari penyesuaian diam-diam jutaan pekerja. Jika abad ke-20 identik dengan 9-to-5, maka abad ke-21 mungkin akan menetap pada pola 08.30 hingga 16.30. Dan barangkali, hal itu bukan hanya wajar, melainkan sudah saatnya.