(Business Lounge Journal – News and Insight)
Di arena National Speed Skating Oval Beijing—tempat Olimpiade Musim Dingin 2022 berlangsung—baru saja digelar ajang unik: World Humanoid Robot Games, yang oleh media disebut sebagai “Olimpiade Robot”. Alih-alih atlet manusia, panggung kali ini dipenuhi humanoid berbahan baja yang menari hip-hop, beraksi dengan seni bela diri, hingga memainkan gitar. Namun, tontonan spektakuler itu juga penuh insiden: robot roboh di lintasan lari, terhuyung di lapangan sepak bola, atau membeku hingga harus diselamatkan teknisi.
Bagi sebagian orang, ini adalah komedi sains. Tetapi bagi pemerintah Tiongkok, ajang ini jauh lebih serius: sebuah teater kebijakan industri yang memperlihatkan ambisi besar mereka untuk menguasai industri humanoid dan kecerdasan buatan (AI) global.
Panggung Ambisi Tiongkok
Lebih dari 500 robot dari 16 negara berkompetisi dalam 26 kategori. Ada lomba lari 400 meter dan 1.500 meter, pertandingan sepak bola, tinju, hingga lomba membersihkan kamar hotel.
Hasilnya masih jauh dari kata sempurna: robot pelari tercepat mencatat waktu 6 menit 34 detik di 1.500 meter—dua kali lipat lebih lambat dibanding rekor manusia. Pertandingan sepak bola lebih sering berakhir dengan robot saling menumpuk daripada mencetak gol. Namun, di balik semua kegagalan itu, ada momen-momen kecil yang menunjukkan kemajuan:
- Robot Unitree mampu bangkit sendiri setelah jatuh.
- Tim UniX AI berhasil memenangkan lomba membersihkan kamar hotel dalam waktu di bawah 9 menit.
- Beberapa robot mampu melakukan operan sederhana dalam sepak bola.
Tiongkok menggunakan ajang ini bukan hanya untuk memamerkan teknologi, tetapi juga untuk mengumpulkan data. Setiap jatuh, setiap tabrakan, setiap kegagalan—semuanya dicatat sebagai dataset yang akan menyempurnakan embodied AI. Dalam logika Beijing, kesalahan bukan kelemahan, melainkan “bahan bakar” kemajuan.
Tak heran, pemerintah Tiongkok sudah mengucurkan puluhan miliar dolar subsidi dan berencana membentuk dana khusus senilai 1 triliun yuan (USD 137 miliar) untuk mendorong startup AI dan robotika. Pesannya jelas: humanoid bukan sekadar hiburan, melainkan masa depan tenaga kerja, layanan kesehatan, dan kehidupan sehari-hari.
Amerika Serikat: Jalan Berbeda
Sementara Tiongkok mengandalkan kebijakan negara, Amerika Serikat menempuh jalur berbasis kapitalisme pasar.
- Tesla lewat proyek Optimus menargetkan produksi terbatas pada 2025. Elon Musk bahkan berani menyebut humanoid ini bisa lebih penting daripada bisnis mobil Tesla di masa depan. Demo publik menunjukkan Optimus bisa melipat pakaian, menyiram tanaman, hingga menggoreng telur. Namun para kritikus menilai banyak demo tersebut tampak “terkoreografi” atau bahkan dikendalikan jarak jauh.
- Amazon bergerak lebih pragmatis dengan menguji humanoid Digit dari Agility Robotics di gudang-gudangnya. Robot ini sudah mampu membawa bin, menumpuk kotak, hingga menurunkan barang dari van pengiriman. Namun, semua itu dilakukan dalam lingkungan terkontrol.
- Figure AI, startup asal California, sukses menggaet investasi miliaran dolar dari Microsoft, Nvidia, dan OpenAI. Janjinya: humanoid serba guna yang bisa bekerja di gudang hari ini, lalu masuk ke rumah tangga besok.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan seperti Boston Dynamics dan 1X Technologies juga berlomba menciptakan humanoid dengan kemampuan lebih adaptif. Namun, sebagaimana Tesla dengan “mobil otonom” yang hingga kini masih jauh dari sempurna, janji-janji humanoid AS juga rawan terjebak dalam siklus “hype versus realitas”.
Mengulang Pola Mobil Otonom
Kisah humanoid hari ini mirip dengan perjalanan mobil otonom dua dekade lalu. Pada 2004, ajang DARPA Grand Challenge hanya menghasilkan mobil yang gagal menempuh rute sejauh 142 mil di gurun Mojave. Banyak yang menertawakan, tetapi dalam 10 tahun, Google sudah memiliki armada mobil otonom uji coba di jalanan California.
Namun kini, meski miliaran dolar telah diinvestasikan, mobil tanpa sopir masih jauh dari adopsi massal. Mereka ada, tetapi terbatas di zona uji coba tertentu. Janji “mobil otonom untuk semua” yang dicanangkan awal 2010-an masih belum terwujud hingga hari ini.
Apakah humanoid akan mengalami jalan serupa? Sangat mungkin. Saat ini, humanoid masih jatuh bangun. Namun, sama seperti mobil otonom, “kegagalan spektakuler” justru bisa menjadi langkah awal menuju kemajuan besar.
Tantangan yang Tak Bisa Diabaikan
- Privasi dan Keamanan Data
Humanoid rumah berarti kamera berjalan dengan kaki, merekam aktivitas, memetakan rumah, dan mengakses benda pribadi. Jika tidak diatur dengan baik, risiko privasi sangat besar. - Liabilitas dan Asuransi
Apa yang terjadi jika robot menabrak meja kaca atau mencederai hewan peliharaan? Sistem hukum dan industri asuransi belum siap mengakomodasi skenario ini. - Dampak Ketenagakerjaan
Alih-alih menghapus pekerjaan, banyak humanoid saat ini justru masih bergantung pada teleoperasi manusia. Artinya, pekerjaan hanya dipindahkan, bukan dihapus. Model ini lebih tepat disebut “pekerjaan jarak jauh berbasis joystick” ketimbang otomatisasi penuh. - Biaya dan Efisiensi
Robot seperti Isaac dari Weave Robotics dibanderol lebih dari USD 10.000, hanya untuk melipat pakaian dan merapikan mainan—pekerjaan yang lebih cepat dan lebih murah dilakukan manusia.
Relevansi bagi Indonesia
Pertanyaan penting: apa kaitannya dengan Indonesia?
1. Indonesia sebagai Pasar Konsumen
Dengan 275 juta penduduk dan kelas menengah yang terus tumbuh, Indonesia adalah pasar potensial bagi teknologi rumah tangga masa depan. Robot layanan publik di bandara, rumah sakit, atau mal bisa menjadi pintu masuk sebelum masuk ke rumah tangga.
2. Peluang Startup Lokal
- Integrasi software AI lokal: voice assistant berbahasa Indonesia, navigasi sesuai konteks lokal, hingga personalisasi layanan rumah tangga.
- Robot-as-a-Service (RaaS): model sewa humanoid untuk hotel, pusat perbelanjaan, atau kantor.
- Ekosistem data – mengembangkan dataset perilaku dan budaya lokal yang sangat dibutuhkan oleh humanoid global.
3. Industri Manufaktur
Sebagai basis manufaktur otomotif dan elektronik, Indonesia berpotensi masuk ke rantai pasok global humanoid—baik dalam komponen elektronik, sensor, hingga perakitan.
4. Regulasi dan Kebijakan
Indonesia bisa belajar dari Tiongkok (intervensi negara) dan AS (dorongan pasar). Model hibrida mungkin lebih sesuai: dukungan insentif fiskal dan pendidikan teknis, sambil tetap membuka ruang inovasi startup.
Masa Depan: Realita atau Ilusi?
Apakah humanoid akan segera hadir di rumah kita? Jawabannya, tidak dalam waktu dekat. Bahkan Elon Musk mengakui Optimus akan digunakan di pabrik terlebih dahulu sebelum masuk ke rumah tangga. Amazon masih membatasi uji coba Digit di gudang. Sementara Isaac, meskipun bisa melipat baju, tetap sering macet dan membutuhkan bantuan manusia.
Namun, satu hal jelas: humanoid kini telah melewati fase demo tertutup dan mulai diuji di ruang publik. Setiap jatuh di lintasan Olimpiade Robot adalah data berharga. Setiap video viral robot tersungkur adalah bukti nyata bahwa teknologi ini sedang berkembang—meski masih kikuk dan jauh dari sempurna.
Bagi Indonesia, ini bukan soal apakah kita akan membeli humanoid dalam satu atau dua tahun ke depan. Pertanyaannya adalah:
- Apakah kita siap sebagai pasar konsumen awal?
- Apakah startup lokal siap mengisi celah inovasi software dan layanan?
- Apakah pemerintah siap dengan regulasi dan kebijakan untuk memastikan kita tidak hanya jadi penonton?
Humanoid masih berada pada fase “remaja teknologi”: canggung, rapuh, tapi penuh potensi. Jika Indonesia bersiap sejak sekarang, kita bisa menjadi bagian dari ekosistem global—bukan sekadar pengguna, tapi juga produsen dan pengembang nilai tambah.
Pada akhirnya, Olimpiade Robot Beijing bukan hanya tentang robot yang jatuh bangun di lapangan, melainkan tentang bagaimana dunia—dan Indonesia—bersiap menghadapi masa depan yang semakin diwarnai oleh kecerdasan buatan dan humanoid.