(Business Lounge – Automotive) Exxon Mobil memberikan sinyal kuat bahwa peluang akuisisi besar masih terbuka lebar, meskipun laba para raksasa minyak AS melemah akibat tekanan harga dan peningkatan produksi dari negara-negara OPEC. Dalam laporan keuangannya yang dirilis baru-baru ini, Exxon mencatat penurunan laba kuartalan yang mencerminkan tekanan global terhadap harga minyak, namun tetap mempertahankan kekuatan neraca dan optimisme terhadap strategi jangka panjang.
Menurut laporan dari The Wall Street Journal dan Reuters, Exxon mencetak laba sekitar $7,4 miliar untuk kuartal kedua 2025, turun signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai lebih dari $10 miliar. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh harga minyak mentah yang lesu karena meningkatnya pasokan global, terutama dari OPEC+, yang terus membanjiri pasar untuk mempertahankan pangsa pasar di tengah tren energi transisi.
Meski demikian, CEO Exxon Darren Woods justru menegaskan bahwa momentum seperti ini bisa menjadi peluang strategis. Dengan kondisi keuangan yang masih kuat dan arus kas yang sehat, Exxon siap mempertimbangkan langkah-langkah merger dan akuisisi (M&A), khususnya terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang kini tengah tertekan secara finansial. Dalam pernyataan resminya, Woods menyatakan bahwa “lingkungan saat ini membuka banyak kemungkinan,” dan Exxon “selalu mengkaji peluang yang sesuai secara strategis dan finansial.”
Sikap ini mencerminkan ambisi jangka panjang Exxon untuk mempertahankan dominasinya di sektor energi konvensional, bahkan di tengah meningkatnya tekanan menuju dekarbonisasi dan energi bersih. Dalam beberapa tahun terakhir, Exxon telah mengakuisisi beberapa aset shale dan memperluas posisi hulu mereka di Amerika Serikat, Guyana, dan Brasil. Para analis dari Bloomberg mencatat bahwa Exxon masih memiliki ruang finansial untuk melakukan ekspansi anorganik, bahkan setelah pembelian besar senilai $60 miliar atas Pioneer Natural Resources pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, pesaing utama Exxon, Chevron, juga mencatatkan penurunan laba yang serupa. Perusahaan tersebut melaporkan laba sekitar $5,2 miliar untuk kuartal yang sama, menurun tajam dari angka tahun lalu. Analis pasar mencermati bahwa tren ini menunjukkan perlambatan dalam sektor migas akibat harga yang melemah dan margin penyulingan yang lebih sempit.
Meskipun tekanan harga menjadi perhatian utama, banyak pelaku industri masih melihat potensi jangka panjang yang besar dari sektor ini, khususnya dalam gas alam dan ekspansi pasar Asia. Exxon sendiri terus memperkuat proyek-proyek LNG di Mozambik dan Papua Nugini, yang dipandang sebagai landasan penting untuk ekspor energi dalam dekade mendatang. Dalam kondisi di mana harga spot LNG di Asia masih fluktuatif namun berpotensi pulih, investasi jangka panjang semacam ini dinilai vital untuk mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan.
Namun tekanan terhadap raksasa minyak bukan hanya berasal dari sisi harga. Di AS dan Eropa, tekanan politik dan sosial terhadap perusahaan bahan bakar fosil semakin meningkat. Beberapa investor institusional besar, termasuk pemilik dana pensiun dari Eropa, telah meningkatkan tuntutan terhadap transparansi iklim dan pengurangan emisi. Exxon telah berupaya menjawab tekanan ini dengan mengembangkan portofolio penangkapan karbon dan investasi dalam hidrogen biru, meskipun proporsinya masih kecil dibandingkan operasi minyak dan gas utamanya.
Analis dari Financial Times menyebut bahwa langkah M&A pada masa laba menurun adalah strategi klasik untuk menyatukan kekuatan, memangkas biaya operasional, dan memperkuat posisi aset. Dalam iklim kompetitif yang ketat, langkah seperti ini bisa menjadi cara paling efisien untuk mempertahankan skala dan pangsa pasar, apalagi saat valuasi perusahaan-perusahaan kecil tengah turun akibat tekanan pasar.
Sementara pasar menyerap berita ini, saham Exxon hanya sedikit bergerak, menandakan bahwa investor belum sepenuhnya menanggapi potensi perubahan strategis. Namun sebagian pelaku pasar percaya bahwa bila Exxon merealisasikan akuisisi besar lainnya, hal ini dapat menjadi sinyal penting bahwa perusahaan siap memimpin konsolidasi sektor energi konvensional global.
Di sisi lain, pergeseran struktural dalam permintaan energi global tetap menjadi tantangan. Permintaan dari Tiongkok, yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan energi global, tampaknya melambat seiring pelemahan sektor industri dan meningkatnya adopsi kendaraan listrik. Walaupun permintaan jangka pendek masih bergantung pada bahan bakar fosil, tren jangka panjang menunjukkan arah yang berbeda. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah akuisisi saat ini akan memberi nilai tambah atau justru membebani perusahaan di masa depan yang penuh ketidakpastian energi?
Kondisi saat ini menciptakan paradoks strategis bagi Exxon dan para pesaingnya. Di satu sisi, ada peluang untuk memperluas pangsa pasar dan memperkuat aset saat valuasi rendah. Di sisi lain, tekanan dekarbonisasi dan ketidakpastian geopolitik bisa menjadikan akuisisi ini sebagai beban dalam jangka panjang. Namun bagi Exxon, dengan sejarah panjang dalam mengelola siklus industri dan sikap agresif terhadap ekspansi, masa seperti ini bukanlah alasan untuk mundur, melainkan momentum untuk maju lebih jauh.