Delta Air Lines

Delta Digugat Soal Penggunaan AI dalam Penentuan Tarif

(Business Lounge – Global News) Delta Air Lines, maskapai besar asal Amerika Serikat, tengah menghadapi gelombang kritik menyusul penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam sistem penetapan tarif penerbangannya. Isu ini memicu kekhawatiran serius dari anggota parlemen AS, kelompok advokasi konsumen, dan sebagian pelanggannya sendiri, yang menilai praktik tersebut bisa mengarah pada diskriminasi harga, pelanggaran privasi, dan penyalahgunaan data pribadi.

Dalam pernyataan yang disampaikan kepada The Wall Street Journal, Delta membela kebijakan teknologi barunya dan menegaskan bahwa penggunaan AI tidak melibatkan data identitas pribadi pelanggan. Maskapai itu mengatakan sistem AI yang mereka gunakan bertujuan untuk mengoptimalkan harga berdasarkan permintaan pasar, tren perjalanan, waktu pemesanan, dan variabel umum lainnya. Namun klarifikasi itu belum mampu meredam kekhawatiran publik dan regulator yang mempertanyakan transparansi serta keadilan dari proses algoritmik tersebut.

Kritik terhadap Delta mulai mencuat setelah sekelompok anggota Kongres AS mengirim surat terbuka kepada pimpinan maskapai, menuntut penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana AI digunakan dalam menentukan harga tiket dan apakah sistem tersebut memiliki potensi untuk melakukan diskriminasi berdasarkan data demografis, lokasi, atau profil digital pelanggan. Dalam surat yang dikutip oleh Reuters, para legislator menyatakan bahwa “ketika algoritma dipakai untuk membuat keputusan harga, keadilan dan transparansi menjadi semakin penting.”

Bloomberg melaporkan bahwa Delta tidak sendirian dalam mengadopsi AI untuk sistem penetapan tarif. Banyak maskapai besar dunia telah menggunakan model pembelajaran mesin untuk menganalisis data perjalanan dan merespons fluktuasi permintaan dengan kecepatan dan presisi yang mustahil dicapai secara manual. Namun, Delta menjadi sorotan karena dianggap berada di garis depan transformasi tersebut dan belum cukup memberikan kejelasan mengenai cara kerja sistemnya.

Dalam industri penerbangan, sistem yang disebut dynamic pricing sebenarnya telah digunakan selama bertahun-tahun, bahkan sebelum era AI. Namun dengan masuknya teknologi baru seperti deep learning dan prediksi perilaku konsumen, muncul potensi bahwa harga bisa disesuaikan lebih personal — sebuah kemungkinan yang mengarah ke praktik price steering atau bahkan price discrimination. Masalahnya, konsumen nyaris tidak pernah tahu bagaimana harga tiket yang mereka lihat ditentukan.

Menurut laporan Financial Times, kekhawatiran terhadap penggunaan AI dalam bisnis konsumen kini meningkat secara global. Beberapa perusahaan teknologi besar telah dikritik karena menyesuaikan harga berdasarkan jenis perangkat yang digunakan pelanggan (misalnya pengguna iPhone dikenai harga lebih tinggi), atau berdasarkan histori penelusuran. Kekhawatiran itu kini menjalar ke sektor penerbangan yang menyentuh kehidupan masyarakat luas.

Delta secara resmi menyatakan bahwa sistem AI-nya tidak menggunakan informasi seperti lokasi IP pelanggan, riwayat pemesanan individu, atau preferensi digital pribadi dalam menetapkan tarif. “Tidak ada segmentasi personal dalam penetapan harga kami. Semua dilakukan berdasarkan data pasar agregat dan pola permintaan rute,” ujar juru bicara perusahaan dalam wawancara dengan CNBC. Namun, tekanan dari Kongres mendorong permintaan audit dan kemungkinan aturan baru tentang penggunaan AI di sektor layanan publik.

Di balik kontroversi ini, terdapat pergeseran besar dalam cara maskapai mengelola operasinya. Kecerdasan buatan semakin menjadi komponen sentral dalam strategi efisiensi, mulai dari pengaturan kursi, rotasi kru, pemeliharaan pesawat, hingga penjadwalan rute. Dalam konteks tarif, AI memungkinkan maskapai menyesuaikan harga secara real-time dengan mempertimbangkan ribuan variabel — mulai dari kompetitor, peristiwa musiman, hingga tingkat keterisian kabin beberapa jam sebelum keberangkatan.

Namun seperti disampaikan oleh pengamat industri penerbangan Henry Harteveldt dalam wawancaranya di The Washington Post, “Perbedaan antara optimalisasi pendapatan dan eksploitasi konsumen bisa sangat tipis. Ketika teknologi menjadi terlalu cerdas, perusahaan bisa kehilangan kendali etis.” Ia menambahkan bahwa AI, jika tidak diawasi, bisa memperkuat bias yang tersembunyi dalam data historis atau algoritma.

Laporan dari MIT Technology Review menunjukkan bahwa algoritma penetapan harga bisa saja menyerap pola-pola diskriminatif dari data masa lalu. Misalnya, jika konsumen dari wilayah tertentu cenderung membeli tiket lebih lambat, sistem bisa menaikkan harga lebih awal di wilayah itu, meskipun tidak ada dasar rasional selain pola perilaku historis. Dalam konteks ini, AI tidak melakukan diskriminasi secara langsung, tetapi menciptakan dampak yang serupa melalui pola data.

Masalah ini menjadi lebih sensitif karena transportasi udara adalah layanan yang sangat publik, dan banyak konsumen tidak punya alternatif selain terbang untuk keperluan bisnis, keluarga, atau kesehatan. Jika harga tiket ditentukan secara otomatis dan tidak transparan, hal ini bisa melukai rasa keadilan sosial, terutama di negara seperti AS yang memiliki banyak komunitas dengan keterbatasan mobilitas.

Beberapa aktivis teknologi menyerukan agar pemerintah federal memberlakukan aturan baru yang mengatur penggunaan AI dalam layanan konsumen, termasuk sektor transportasi. Mereka mengusulkan sistem algorithmic audit, yaitu proses pengawasan independen terhadap algoritma perusahaan untuk memastikan tidak ada bias, diskriminasi, atau eksploitasi tersembunyi. “Teknologi tidak boleh menjadi kedok untuk tindakan yang tidak bisa diterima secara etis,” ujar seorang juru bicara dari kelompok pengawas digital di Washington DC.

Sejauh ini, Departemen Transportasi AS belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai kebijakan Delta, tetapi beberapa staf internal mengatakan kepada NPR bahwa kemungkinan akan ada pembahasan lintas lembaga terkait tata kelola algoritma di sektor jasa publik. Jika hal ini berkembang menjadi isu politik nasional, bisa saja muncul legislasi baru seperti yang terjadi pada sektor keuangan dan iklan digital dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara itu, dari sisi konsumen, ketidakpastian ini semakin memperkuat kesan bahwa harga tiket pesawat saat ini tidak lagi dapat diprediksi atau dipahami. Banyak pengguna media sosial mengeluhkan naik-turunnya harga tiket dalam hitungan menit tanpa penjelasan. Dalam beberapa kasus, dua penumpang yang memesan kursi di pesawat yang sama dan waktu yang sama bisa membayar harga yang berbeda jauh, meskipun perbedaannya tidak dijelaskan oleh sistem pemesanan.

Delta bukan satu-satunya maskapai yang menghadapi tekanan akibat adopsi teknologi AI. United Airlines dan American Airlines juga dilaporkan tengah mengevaluasi kembali algoritma mereka setelah mendapat keluhan dari pelanggan. Beberapa maskapai di Eropa, seperti Lufthansa dan Air France, juga menghadapi regulasi baru dari Uni Eropa yang mengharuskan keterbukaan dalam proses penetapan harga yang melibatkan sistem otomatis.

Dalam konteks global yang lebih luas, perdebatan ini menyentuh isu inti tentang bagaimana AI akan digunakan untuk membentuk perilaku pasar di masa depan. Apakah AI akan menjadi alat untuk menciptakan efisiensi dan kenyamanan? Atau justru menjadi instrumen untuk menciptakan sistem harga yang semakin kompleks, eksklusif, dan tak terjangkau?

Bagi Delta, krisis ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana transformasi digital harus berjalan seiring dengan komunikasi publik yang jelas, serta kebijakan etis yang dapat diaudit. Seiring dunia bergerak semakin cepat menuju otomatisasi dan prediksi berbasis data, kepercayaan pelanggan akan menjadi mata uang yang paling bernilai.