(Business Lounge – Global News) Selama lebih dari seabad, De Beers berhasil mengukir narasi romantis dan komersial tentang berlian sebagai simbol cinta abadi, kemewahan, dan prestise. Kampanye A Diamond Is Forever yang diluncurkan pada 1947 menjadi salah satu iklan paling berpengaruh sepanjang masa. Namun, pada 2025, narasi itu tampaknya tidak lagi memiliki daya magis yang sama. Harga berlian alami telah anjlok, dan yang membuat keadaan makin kompleks, bukan karena ketersediaan berlebih, melainkan karena ledakan popularitas berlian hasil laboratorium yang kini jauh lebih murah, tampak nyaris serupa, dan tersedia luas di pasar global.
De Beers, perusahaan berlian terbesar di dunia, kini berada dalam krisis identitas. CEO mereka, Al Cook, secara terang-terangan menyebut maraknya batu sintetik yang diklaim sebagai berlian sebagai “sebuah penipuan besar”. Ia menegaskan bahwa batu-batu laboratorium tidak bisa menggantikan makna emosional dan nilai alami dari berlian yang ditambang dari bumi. Namun pernyataan itu datang di tengah realitas pahit: para pembeli, terutama dari generasi muda, tidak lagi terlalu peduli pada asal-usul batu. Yang penting bagi mereka adalah penampilan, ukuran, dan harga.
Harga berlian buatan laboratorium telah jatuh hingga lebih dari 80% dalam lima tahun terakhir, dari sekitar $4.000 per karat menjadi hanya $500–800 per karat. Penurunan harga ini dipicu oleh meningkatnya produksi dari China dan India, dua negara yang mendominasi sektor manufaktur batu sintetik. Sementara itu, harga berlian alami juga tertekan. Meskipun turunnya tidak sedrastis batu sintetik, harga berlian alami telah merosot sekitar 30% sejak puncaknya di tahun 2022, menurut data dari Rapaport dan Bloomberg.
De Beers sendiri mengalami kelebihan pasokan senilai hampir US$2 miliar di gudang mereka. Perusahaan telah memangkas produksi dan menurunkan harga lelang berlian mentah hingga 22%. Namun langkah ini belum cukup mengembalikan momentum pasar. Konsumen ritel di Amerika Serikat, yang selama ini menjadi pasar utama cincin pertunangan berbatu berlian, kini lebih banyak memilih berlian buatan karena ukurannya yang lebih besar dan harganya yang lebih murah.
Batu buatan laboratorium kini diperkirakan menyumbang sekitar 45% dari total pasar cincin pertunangan di AS. Di toko-toko ritel seperti Pandora dan Brilliant Earth, penjualan LGD atau lab-grown diamond meningkat tajam. Bahkan perusahaan seperti Signet Jewelers telah mengalokasikan sebagian besar etalase mereka untuk menjajakan batu buatan. Fenomena ini menjadi simbol pergeseran nilai: bagi banyak pembeli muda, ukuran dan kesempurnaan batu lebih penting daripada sejarah geologisnya.
De Beers awalnya mencoba memasuki pasar LGD dengan merek Lightbox, yang memasarkan batu buatan untuk perhiasan kasual dengan harga tetap. Namun strategi ini gagal menarik pasar luas dan justru membingungkan konsumen mengenai posisi perusahaan terhadap produk sintetis. Akhirnya, De Beers mengumumkan akan menghentikan aktivitas ritel Lightbox dan mengembalikan fokus pada penggunaan berlian sintetik hanya untuk keperluan industri dan teknologi. Keputusan ini merupakan sinyal bahwa perusahaan berupaya melindungi eksklusivitas dan narasi berlian alami.
Untuk menahan arus pergeseran konsumen, De Beers meluncurkan kampanye baru bertajuk “Worth the Wait”, yang menekankan bahwa berlian alami layak ditunggu karena keunikannya tidak bisa direplikasi. Kampanye ini menyasar konsumen muda dan pasangan baru yang mencari makna dalam simbol pernikahan mereka. De Beers juga memperluas program pelabelan dan verifikasi keaslian batu, bekerja sama dengan toko-toko perhiasan besar agar setiap konsumen bisa mengetahui asal-usul batu yang mereka beli.
Namun, tantangan terbesar De Beers bukan hanya dari batu sintetik. Ada pergeseran fundamental dalam cara konsumen melihat kemewahan. Menurut analisis dari The Wall Street Journal dan The Guardian, banyak pembeli milenial dan Gen Z yang lebih peduli pada keberlanjutan lingkungan, transparansi rantai pasok, dan nilai etis dari produk yang mereka beli. Berlian alami, yang sering diasosiasikan dengan eksploitasi buruh tambang dan konflik di Afrika, semakin sulit dipertahankan sebagai simbol murni cinta dan prestise.
Di sisi lain, ada pasar-pasar tertentu di mana batu alami tetap memiliki daya tarik kuat. Di India, misalnya, permintaan berlian alami masih tinggi karena nilai tradisional dan kepercayaan terhadap makna spiritual batu yang berasal dari alam. CEO Al Cook menyatakan bahwa dengan harga satu berlian alami sekarat, konsumen di India bisa membeli hingga 20 batu buatan, namun tetap memilih batu alami karena nilai simboliknya yang tidak bisa ditukar. Di pasar Timur Tengah dan Tiongkok, permintaan untuk batu bersertifikat juga masih cukup stabil, walau mengalami tekanan harga.
Fenomena ini menciptakan apa yang oleh para analis disebut pasar dua jalur: di satu sisi, berlian alami bergerak ke arah produk ultra-premium, eksklusif, dan langka—mirip dengan strategi rumah mode mewah seperti Hermès dan Rolex—sementara di sisi lain, batu sintetik melayani pasar massal yang menginginkan nilai tinggi dengan harga rendah. Tantangan bagi De Beers adalah bagaimana tetap mengendalikan narasi, menjaga margin, dan mempertahankan loyalitas konsumen kelas atas di tengah gempuran batu buatan.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa masa depan berlian alami bukan lagi pada pasar menengah, melainkan di segmen super-mewah yang lebih kecil namun lebih menguntungkan. Seperti yang terjadi di pasar jam tangan Swiss, konsumen yang mencari nilai simbolik dan warisan akan tetap membayar mahal untuk keaslian dan kerajinan tangan. Namun bagi pasar yang lebih luas, logika ekonomi akan menang.

