(Business Lounge – Technology) Ketika Todd Weaver pertama kali memulai proyek ponsel pintar buatan Amerika Serikat, ia tahu bahwa yang akan ia lawan bukan hanya Apple dan Samsung, tetapi juga seluruh struktur industri global. Di tengah atmosfer politik yang mendorong kemandirian ekonomi dan nasionalisme industri, ia mendirikan perusahaan teknologi kecil bernama Purism dan meluncurkan Liberty Phone, sebuah perangkat mobile dengan harga $1.999 yang dibangun di atas prinsip privasi, keamanan, dan integritas rantai pasok domestik. Namun di balik semangat idealisme itu, terdapat kenyataan pahit bahwa membuat sebuah smartphone di Amerika Serikat adalah sebuah proyek nyaris mustahil.
Liberty Phone, menurut klaim Purism, dirakit dan diuji sepenuhnya di AS, dengan sebagian besar perangkat lunak dikembangkan secara internal. Papan sirkuit utamanya dirancang dan diproduksi secara domestik, dan tim produksi beroperasi dari pabrik di Carlsbad, California. Namun ketika melihat lebih dalam, setengah lebih dari komponen vital seperti layar, baterai, kamera, dan modem masih harus diimpor dari Asia, sebagian besar dari China dan Korea Selatan. Upaya mendekatkan rantai pasok ke tanah Amerika masih terbentur tembok logistik dan biaya yang sangat tinggi, sesuatu yang sudah dipahami betul oleh pelaku industri besar, tetapi sering luput dari narasi politik.
Meskipun spesifikasi teknis Liberty Phone jauh dari mengesankan—chipset NXP yang biasa digunakan di sektor otomotif, RAM kecil, layar resolusi menengah, dan sistem operasi yang sangat terbatas—ponsel ini justru menonjolkan fitur-fitur yang tidak tersedia di pasar umum. Perangkat ini memiliki tiga saklar fisik untuk mematikan kamera, mikrofon, dan konektivitas secara langsung. Sistem operasinya dibuat berdasarkan prinsip open-source dengan fokus ekstrem pada privasi, tanpa pelacakan data pengguna, tanpa iklan tersembunyi, dan tanpa keterikatan terhadap ekosistem Big Tech mana pun. Target pasarnya bukan konsumen biasa, tetapi kalangan tertentu yang sangat menghargai keamanan digital, termasuk kontraktor pemerintah, jurnalis investigatif, aktivis, dan organisasi yang bekerja di sektor sensitif.
Harga jualnya yang mencapai hampir dua ribu dolar menjadi titik diskusi utama. Menurut Weaver, biaya produksi per unit Liberty Phone berada di kisaran $650, jauh lebih tinggi dibanding ponsel serupa yang dibuat di China. Namun harga jualnya tidak hanya mencerminkan biaya perangkat keras, tetapi juga nilai dari rantai pasok yang transparan, tenaga kerja lokal, serta audit keamanan yang dilakukan secara berkala. Weaver menyebutkan bahwa jika kebijakan tarif impor benar-benar diterapkan seperti yang diusulkan Donald Trump dalam kampanyenya, maka harga antara ponsel buatan luar negeri dan buatan dalam negeri bisa lebih bersaing. Namun untuk saat ini, selisih harga itu tetap mencolok dan hanya dapat diterima oleh segmen pasar yang sangat kecil dan spesifik.
Upaya Weaver menjadi semakin menarik ketika dibandingkan dengan peluncuran ponsel Trump Mobile T1 oleh Trump Organization. Ponsel ini juga dipromosikan sebagai buatan Amerika, dengan harga jauh lebih terjangkau, yakni $499. Namun investigasi Financial Times menunjukkan bahwa perangkat tersebut sebenarnya dirakit oleh perusahaan pihak ketiga di Florida dengan komponen impor dari China dan hanya menjalani tahap akhir perakitan di AS. Sementara Liberty Phone benar-benar melakukan desain sirkuit, pengujian firmware, dan proses akhir secara domestik, Trump Mobile tampaknya lebih mengandalkan label pemasaran “Made in USA” tanpa fondasi manufaktur yang kuat.
Perbedaan pendekatan ini menyoroti dilema mendasar dalam usaha memproduksi perangkat keras di Amerika. Bagi Purism, membangun ponsel di AS adalah keputusan yang mahal dan penuh risiko. Infrastruktur manufaktur komponen seperti chipset, layar OLED, atau modul radio tidak tersedia secara lokal dalam jumlah besar, dan membangunnya dari nol akan membutuhkan waktu bertahun-tahun serta miliaran dolar investasi. Ini juga memerlukan keahlian teknik, rantai pasok logistik, hingga regulasi yang stabil dan mendukung. Tanpa dukungan yang terkoordinasi dari pemerintah federal, industri manufaktur dalam negeri sulit tumbuh secara organik.
Weaver menyebutkan bahwa satu hal yang membuat proyek ini tetap berjalan adalah loyalitas dari segmen pengguna yang sadar akan pentingnya kedaulatan digital. Namun ia juga mengakui bahwa untuk menjangkau pasar lebih luas, diperlukan model bisnis yang lebih murah dan lebih terintegrasi. Liberty Phone saat ini bukanlah alat komunikasi massal, melainkan alat khusus yang mengisi celah antara kebutuhan keamanan dan kemampuan produksi lokal. Meski demikian, ia tetap percaya bahwa permintaan terhadap perangkat “bersih secara geopolitik” akan terus tumbuh, terutama di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan China dalam hal teknologi.
Pengamat industri seperti Jeff Fieldhack dari Counterpoint Research berpendapat bahwa ponsel seperti Liberty Phone adalah langkah awal penting dalam membangun kembali industri perangkat keras Amerika, tetapi perjalanan yang harus ditempuh masih sangat panjang. Ia menyebut bahwa bahkan raksasa seperti Apple yang memiliki margin besar dan kendali penuh atas desain produk pun masih tergantung pada pabrik Foxconn di China, India, dan Vietnam. Jika Apple pun tidak sanggup membawa semua produksinya kembali ke AS, maka startup seperti Purism tentu menghadapi tantangan berkali-kali lipat.
Kritik juga datang dari sisi pengalaman pengguna. Banyak ulasan menyebut bahwa perangkat ini terasa seperti ponsel keluaran satu dekade lalu, lambat, tidak kompatibel dengan aplikasi populer, dan memiliki sistem operasi yang belum stabil. Sebagian menyebut bahwa idealisme perangkat ini tidak didukung oleh performa yang memadai. Weaver tidak membantah hal itu, tetapi menekankan bahwa keamanan dan kendali atas data pribadi adalah tujuan utama, bukan kecepatan atau fitur hiburan. Dalam pengertian itu, Liberty Phone memang tidak bersaing secara langsung dengan iPhone atau Samsung Galaxy, melainkan dengan sistem komunikasi aman yang biasa digunakan di lingkungan militer atau diplomatik.
Liberty Phone muncul di tengah diskusi yang semakin riuh tentang perlunya kedaulatan teknologi. Pemerintahan Biden dan sebelumnya Trump telah mendorong investasi besar-besaran dalam manufaktur semikonduktor domestik. Namun untuk sektor produk jadi seperti smartphone, kemajuan masih lambat. Upaya seperti yang dilakukan Purism menjadi eksperimen penting, meskipun kecil, dalam memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk menciptakan produk teknologi strategis yang benar-benar dibuat di dalam negeri.