Anthropic

Fair Use Antarkan Anthropic ke Jalur Legal AI

(Business Lounge – Global News) Keputusan pengadilan federal Amerika Serikat pada akhir Juni 2025 menandai titik balik penting dalam perdebatan global tentang legalitas penggunaan konten berhak cipta untuk pelatihan model kecerdasan buatan. Dalam sebuah putusan yang berpotensi membentuk preseden hukum jangka panjang, Hakim Distrik William Alsup menyatakan bahwa penggunaan buku fisik yang dibeli secara sah untuk melatih model AI oleh perusahaan rintisan Anthropic tergolong sah dan masuk dalam ranah fair use berdasarkan hukum hak cipta AS.

Anthropic, perusahaan di balik model bahasa besar Claude, sebelumnya digugat oleh sejumlah penulis dan organisasi penerbitan karena menggunakan ribuan buku berhak cipta dalam proses pelatihan model mereka. Gugatan tersebut menuduh bahwa perusahaan telah melanggar hak eksklusif penulis atas distribusi dan reproduksi karyanya. Namun pengadilan menyatakan bahwa tindakan tersebut bersifat transformatif, tidak menggantikan pasar buku, dan ditujukan untuk menciptakan teknologi baru, bukan untuk menyebarluaskan ulang isi buku tersebut secara utuh.

Hakim Alsup menekankan bahwa proses pelatihan AI adalah kegiatan yang bersifat transformatif karena mengubah data teks menjadi parameter statistik yang tidak dapat dibalikkan ke bentuk aslinya. Dalam pertimbangannya, ia mengacu pada logika hukum yang pernah digunakan dalam perkara Google Books pada 2015, di mana Mahkamah Banding memutuskan bahwa pemindaian dan indeksasi buku untuk pencarian daring termasuk dalam kategori fair use. Dengan mengakui bahwa pelatihan model bahasa besar beroperasi dengan prinsip serupa, pengadilan memperkuat argumen bahwa kegiatan semacam itu tidak serta-merta melanggar hak cipta.

Namun demikian, kemenangan Anthropic bukan tanpa batas. Dalam bagian lain dari putusan tersebut, pengadilan menemukan bahwa perusahaan memang telah mengunduh materi dari situs bajakan digital seperti Library Genesis sebelum kemudian membeli salinan legalnya untuk keperluan dokumentasi. Hakim menyatakan bahwa tindakan awal tersebut—yakni memperoleh materi secara tidak sah—tidak dilindungi oleh prinsip fair use dan harus diadili lebih lanjut dalam persidangan terpisah yang dijadwalkan pada Desember 2025.

Bagian ini membuat posisi hukum Anthropic menjadi setengah menang, setengah rentan. Meski mereka mendapatkan keabsahan atas praktik pelatihan AI berbasis materi legal, mereka tetap harus menghadapi konsekuensi hukum atas langkah-langkah tidak sah di awal pengumpulan data. Ini berarti bahwa vonis final tentang kerugian dan kompensasi masih menunggu proses lanjutan.

Implikasi dari putusan ini sangat besar, bukan hanya bagi Anthropic, tetapi juga bagi seluruh industri teknologi yang saat ini tengah berada di tengah gelombang gugatan hukum serupa. Perusahaan-perusahaan seperti OpenAI, Meta, dan Google juga menghadapi tuntutan hukum atas penggunaan data berhak cipta dalam pelatihan AI mereka. Putusan dalam perkara Anthropic membuka pintu bagi pendekatan legal berbasis fair use, selama konten diperoleh secara sah dan tidak digunakan secara eksplisit untuk menggantikan karya asli.

Bagi para pendukung pengembangan teknologi AI terbuka, putusan ini menjadi angin segar. Mereka melihat keputusan tersebut sebagai validasi atas argumen bahwa pelatihan model AI merupakan bentuk inovasi yang pantas dilindungi, dan bahwa pembatasan berlebihan atas sumber data justru akan menghambat kemajuan teknologi. Di sisi lain, kelompok penulis dan penerbit menyatakan keprihatinan bahwa putusan ini bisa membuka celah eksploitasi, di mana karya sastra dan ilmiah dijadikan bahan bakar untuk kecerdasan buatan tanpa kompensasi yang adil kepada penciptanya.

Debat ini menyentuh inti persoalan: apakah sistem hukum saat ini mampu melindungi hak pencipta sekaligus memberi ruang bagi inovasi teknologi. Dalam konteks pelatihan AI, data bukan hanya bahan baku, tetapi juga fondasi dari kecanggihan dan akurasi model. Perusahaan seperti Anthropic mengklaim bahwa tanpa akses ke teks berkualitas tinggi, mereka tidak akan mampu menciptakan sistem yang benar-benar bisa memahami bahasa dan berpikir secara kontekstual.

Namun, banyak pakar hukum mengingatkan bahwa fair use bukanlah lisensi tanpa batas. Ia bersifat kontekstual dan kasus per kasus. Artinya, perusahaan tetap perlu menimbang dengan cermat bagaimana mereka memperoleh, menyimpan, dan menggunakan materi berhak cipta. Dalam kasus Anthropic, penggunaan buku yang dibeli secara sah mendapat pembenaran hukum, tetapi tindakan awal berupa pengunduhan dari situs ilegal tetap dianggap bermasalah.

Proses pengadilan yang akan digelar pada akhir tahun nanti akan fokus pada besaran ganti rugi yang mungkin harus dibayarkan Anthropic atas penggunaan materi bajakan. Jika pengadilan memutuskan bahwa ada kerugian yang signifikan, ini bisa menjadi pelajaran penting bahwa proses akuisisi data sama pentingnya dengan penggunaan akhirnya. Perusahaan tidak bisa berharap mendapatkan perlindungan hukum hanya karena niat akhirnya sah, jika cara mereka memperoleh data bertentangan dengan hukum.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa industri AI kini memasuki fase kedewasaan hukum, di mana pengembangan teknologi tidak lagi cukup hanya mengandalkan kecepatan dan inovasi, tetapi juga membutuhkan kepatuhan terhadap norma hukum dan etika. Bagi Anthropic, kemenangan ini mungkin membuka jalan untuk melanjutkan riset dan pengembangan tanpa ancaman langsung terhadap metode pelatihannya. Namun mereka juga harus melakukan introspeksi atas praktik data masa lalu mereka.

Dalam konteks yang lebih luas, keputusan ini bisa mempengaruhi legislasi masa depan mengenai data, hak cipta, dan penggunaan AI. Jika lebih banyak pengadilan mengakui pelatihan AI berbasis konten legal sebagai fair use, maka perusahaan teknologi mungkin akan lebih terdorong untuk membangun repositori data resmi yang transparan, bermitra dengan penerbit, atau menciptakan lisensi baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman digital.

Namun jika putusan ini nantinya dibatalkan di tingkat banding, atau jika pengadilan lain menolak pendekatan yang sama, maka lanskap hukum seputar AI akan tetap tidak pasti. Dalam dunia yang makin digerakkan oleh data, kepastian hukum adalah bahan bakar utama bagi inovasi yang bertanggung jawab.

Bagi industri teknologi, keputusan ini adalah peta arah. Bagi dunia hukum, ini adalah preseden. Dan bagi pencipta konten, ini adalah pengingat bahwa perlindungan atas karya mereka kini sedang ditafsirkan ulang oleh pengadilan yang berusaha menyeimbangkan antara hak pencipta dan hak inovator.